Mahasiswa Tolak Efisiensi Anggaran Pendidikan
DPRD Bali Janji Sampaikan ke Pemerintah Pusat
DENPASAR, NusaBali - Ratusan mahasiswa yang tergabung dalam ‘Aliansi Bali Tidak Diam’ menggelar aksi damai di depan Gedung DPRD Bali, Senin (17/2) pukul 11.30 Wita.
Mereka menyuarakan kekhawatirannya terhadap menolak kebijakan soal pemangkasan anggaran pendidikan yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran.
Aksi ini dipimpin Wakil Ketua Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Udayana (Unud) I Ketut Indra Adiyasa. ‘Aliansi Bali Tidak Diam’ merupakan gabungan dari 13 fakultas di Unud serta organisasi mahasiswa lain dari berbagai kampus di Bali. Setelah berorasi sekitar satu jam di depan kantor DPRD Bali, diterima Plt Sekwan DPRD Bali I Gusti Ngurah Wiryanata meminta para mahasiswa masuk ke Wantilan DPRD untuk berdialog bersama para anggota dewan. Dalam diskusi yang berlangsung selama 30 menit itu, para mahasiswa diterima Ketua DPRD Bali Dewa Made Mahayadnya alias Dewa Jack didampingi Wakil Ketua DPRD Bali I Komang Nova Sewi Putra, Ketua Komisi III Nyoman Suyasa, Ketua Komisi IV I Nyoman Suwirta, serta sejumlah anggota dewan lainnya.
Wakil Ketua BEM Unud Indra Adiyasa mengatakan aksi ini berfokus pada kebijakan pemangkasan anggaran pendidikan yang berpotensi berdampak pada berbagai sektor, termasuk pemotongan Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP-K), pengurangan dana perkuliahan di perguruan tinggi, serta pembatasan program kerja organisasi mahasiswa oleh rektorat. Dia menilai pendidikan dan kesehatan yang seharusnya menjadi prioritas utama justru ditempatkan sebagai sektor pendukung demi program lain.
Oleh karena itu, mahasiswa menuntut pemerintah mengkaji ulang kebijakan efisiensi anggaran ini dan memastikan bahwa pendidikan serta kesehatan tetap menjadi prioritas utama dalam kebijakan negara. “Jadi kalau kita membayangkan ke depannya bagaimana skemanya dari apa yang kita lihat datanya ada pemotongan anggaran di bagian KIP K terus di bagian dana perguruan tinggi, jadi itu yang menjadi fokus kami, jika Inpres ini disahkan dan diketok palu itu tentu akan langsung berdampak ke semuanya seperti apa yang kita perkirakan dan kaji dari awal,” katanya.
Dalam aksi tersebut, mahasiswa membawa lima tuntutan utama yang disampaikan langsung kepada DPRD Bali. Mereka mendesak pemerintah untuk mencabut Inpres Nomor 1 Tahun 2025 serta Surat Menteri Keuangan Nomor S-37/MK.02/2025 yang mengatur efisiensi anggaran kementerian dan lembaga. Mereka juga menuntut agar pemerintah segera mengkaji ulang program makan siang bergizi gratis dan menempatkan sektor pendidikan serta kesehatan sebagai prioritas utama dalam kebijakan anggaran negara. Selain itu, mereka mendesak pemerintah untuk segera membayarkan dan menganggarkan tunjangan kinerja dosen atau tukin yang belum dibayarkan sebagai bentuk tanggung jawab negara dalam memenuhi hak dosen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara serta Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Mahasiswa juga menolak keterlibatan perguruan tinggi dalam mengurus izin tambang sebagaimana diatur dalam pembaruan Undang-Undang Mineral dan Batu Bara (Minerba). Menurut mereka, perguruan tinggi seharusnya berfokus pada pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat, bukan pada urusan perizinan tambang yang dapat mengalihkan fungsi utama institusi pendidikan.
Salah satu peserta aksi, Firmansyah, dalam orasinya menyoroti mekanisme penyampaian aspirasi mahasiswa kepada DPRD Bali. Ia mempertanyakan bagaimana tindak lanjut dari aksi ini, agar aspirasi mereka tidak hanya menjadi momentum sesaat, tetapi benar-benar diperjuangkan oleh para wakil rakyat di tingkat provinsi.
Kata dia, berdasarkan konstitusi, negara wajib memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), sebagaimana diatur dalam Pasal 31 Ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945. Namun, dengan adanya kebijakan efisiensi ini, meskipun secara teknis alokasi anggaran tetap 20 persen, namun pemotongan dalam bentuk efisiensi anggaran dapat mengurangi pendanaan untuk sektor pendidikan. Ia menambahkan potensi dari kebijakan ini dapat berujung pada penghapusan beasiswa KIP-K serta kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT).
Menanggapi tuntutan mahasiswa, Ketua DPRD Bali Dewa Made Mahayadnya alias Dewa jack menegaskan pihaknya akan menindaklanjuti aspirasi mahasiswa terkait penolakan terhadap pemangkasan anggaran pendidikan yang diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran. Ia menegaskan DPRD Bali akan menyampaikan aspirasi ini dalam bentuk surat resmi kepada Presiden RI melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Menurutnya, saat ini APBD Provinsi Bali masih berada dalam tahap anggaran induk tahun 2025, yang telah disetujui melalui Sidang Paripurna DPRD Bali pada November 2024 lalu. Hingga pertengahan Februari 2025, belum ada pemotongan atau efisiensi anggaran yang diterapkan dalam APBD Bali.
“Tanggal 20 Februari ini Gubernur definitif akan dilantik, Tanggal 4 Maret kami akan Sidang Paripurna Istimewa mendengarkan pidato pertama Gubernur pilihan rakyat Bali. Setelah itu lah baru kami akan membahas isi Inpres itu. Mahasiswa datang di waktu yang tepat, saya mau perwakilan bersurat secara resmi agar kami sampaikan apa yang menjadi aspirasi atau keluhan mahasiswa ini,” terang Dewa Jack.
Wakil Ketua DPRD Bali, I Komang Nova Sewi Putra, juga menyatakan dukungannya terhadap tuntutan mahasiswa. Ia menegaskan anggaran pendidikan tidak boleh dikurangi dan menolak jika sektor pendidikan dijadikan sebagai alat politik. Sementara itu, Ketua Komisi III DPRD Bali, I Nyoman Suyasa, menjelaskan pemangkasan anggaran yang terjadi merupakan hasil dari rekonstruksi anggaran di Kementerian Pusat, termasuk Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi. Ia memaparkan anggaran yang semula Rp 57 triliun telah dipangkas jadi Rp 22,5 triliun, sementara anggaran di Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang awalnya Rp 33,5 triliun kini berkurang menjadi Rp 25,5 triliun.
Kata Suyasa, pemangkasan ini dilakukan berdasarkan evaluasi yang dilaporkan oleh berbagai kementerian kepada Menteri Keuangan, sebelum akhirnya ditetapkan dalam kebijakan efisiensi anggaran. “Jadi di sini saya kira saya punya keyakinan anggaran program-program yang tidak produktif yang tidak ada hubungannya dengan peningkatan SDM, peningkatan kualitas pendidikan lah yang saya kira itu yang akan dipangkas. Yang dipangkas itu seperti ATK, perjalanan dinas, pengadaan kantor, pengadaan kendaraan, jasa konsultan, yang tidak produktif yang tidak mempengaruhi pertumbuhan pendidikan, itu pasti dipangkas,” tuturnya.
Meski demikian, ia memahami bahwa kebijakan ini menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Ia juga menegaskan bahwa beasiswa KIP, KIP-K, Beasiswa Pendidikan Indonesia (BPI), serta beasiswa afirmasi dan dosen tidak akan dipangkas, meskipun kebijakan efisiensi ini tetap akan berjalan. “Kami pasti akan menampung, mengkaji dan meneruskan apa yang menjadi aspirasi para mahasiswa, jadi tidak usah khawatir tidak usah risau anggaran-anggaran yang berhubungan dengan peningkatan sdm, peningkatan pendidikan tidak akan dipangkas,” tegasnya. 7 t
Komentar