Patung Trenggiling Sunda Karya Seniman Bali di Singapura
Kesadaran Ekologis Melindungi Satwa Langka
Induk Trenggiling Sunda tampak meringkuk. Sementara seekor anak menyembul keluar dari badannya adalah metafora tentang naluri keibuan yang secara alamiah terhubung dengan kualitas nilai kehidupan.
DENPASAR, NusaBali
Perupa Bali I Ketut Putrayasa kembali mengguncang dunia seni setelah patung Trenggiling Sunda karyanya menarik perhatian pengunjung Mandai Wildlife Singapura. Patung berjudul ‘Mother and Child’ itu hadir untuk memantik kesadaran ekologis manusia dalam melindungi satwa langka.
Karya Putrayasa itu juga mengguncang hebat kesadaran Tatang Budi Suryapranata, perupa senior yang berbasis di Bali. Menurutnya, karya seni Putrayasa ini sesungguhnya diniatkan untuk mengabadikan sebuah pesan, yakni Trenggiling Sunda penting dijaga keberlangsungan eksistensinya di tengah ancaman kepunahan.
Tatang menyebutkan karya seni patung Mother and Child dengan diameter 5 meter dan tinggi 3 meter itu menjadi sebuah ‘commission art’ di tengah keindahan lanskap Mandai Wildlife Singapura. Patung terbuat dari kuningan dengan kerangka stainless. Patung ini dikerjakan sedemikian rupa hingga menghadirkan paduan antara kelenturan dan kekokohan. Sisik-sisik kokoh bertumpang-tindih mengikuti posisi tubuh yang melingkar melahirkan ‘rasa gerak’ elastis atau lentur. Hal yang lain, warna kuningan menghadirkan suasana hangat.
Induk Trenggiling Sunda tampak meringkuk. Sementara seekor anak menyembul keluar dari badannya adalah metafora tentang naluri keibuan yang secara alamiah terhubung dengan kualitas nilai kehidupan. Lebih luas lagi, tentu saja naluri itu juga berlaku bagi setiap orang yang respek pada upaya pelestarian mamalia bersisik yang terancam punah itu.
“Modernitas meminggirkan sesuatu yang dulu pernah ada di bumi. Tapi, seiring waktu modernitas pula yang merindukan kembali apa yang hilang,” ujar Tatang kepada NusaBali, Sabtu (15/2).
Nama Trenggiling berasal dari bahasa Melayu yang berarti 'sesuatu yang menggulung'. Hal ini menggambarkan kemampuan Trenggiling dalam menggulung tubuh seperti bola ketika datang ancaman predator. Tenggiling Sunda dengan nama ilmiah Manis javanica, penyebarannya meliputi wilayah Asia Tenggara, yakni Indonesia, Brunei, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapura, Thailand, dan Vietnam.
Trenggiling Sunda dipenuhi sisik besar, keras, kokoh dan kuat. Berbahan keratin berbentuk seperti lempengan, dengan berat 20 persen dari keseluruhan bobot tubuh. Tersusun menyerupai perisai berlapis sebagai alat pelindung. Saat terganggu, satwa ini akan mengibaskan ekor hingga sisiknya melukai predator.
“Itulah sebabnya, pada masa lampau sisik Trenggiling dijadikan sebagai bahan baju zirah atau baju perang bagi para prajurit,” ungkap Tatang yang pernah mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Udayana, Denpasar,ini.
Untuk diketahui baju pelindung perang jenis ini berada dalam koleksi bangsa Eropa. Salah satunya diperoleh dari seorang pengelana Perancis akhir abad ke-17 akhir, yang bahannya disinyalir dari Kalimantan. Koleksi itu sekarang dilestarikan di Musee du Quai Branly di Paris.
Saat ini keberadaan Trenggiling Sunda memang dalam ancaman kepunahan karena habitat yang terganggu. Deforestasi yang terjadi di beberapa kawasan Asia Tenggara menjadi penyebabnya. Jumlah trenggiling Sunda di alam liar menurun drastis.
Perdagangan satwa ilegal juga membayangi kepunahannya. Minat pasar internasional yang tinggi menyebabkan perburuan liar terjadi. Bahkan satwa ini paling banyak diperdagangkan secara gelap di dunia.
Sisik dan dagingnya diyakini memiliki khasiat penyembuh dalam pengobatan tradisional Tiongkok dan Vietnam.
Karena kelangkaannya, Trenggiling Sunda termasuk dalam kategori satwa yang dilindungi. Sejak tahun 2016 semua spesies trenggiling di seluruh dunia dilindungi dan dikategorikan oleh Daftar Merah Species Terancam IUCN (International Union for Conservation of Nature), sebagai spesies yang rentan, terancam punah.
Menurut Tatang, interaksi manusia dengan trenggiling yang menjadi topik utama dalam mempromosikan kesadaran ekologis, bisa dibuka kembali lewat khazanah kebudayaan yang menjadi ingatan kolektif berbagai suku atau masyarakat tradisi yang tersebar di belahan dunia.
Pada beberapa komunitas lokal, trenggiling dianggap sebagai mitos dan memiliki tempat unik dalam berbagai kebudayaan. Sejumlah suku di Afrika Selatan meyakini bahwa trenggiling datang dari langit pada saat badai petir dan membawa keberuntungan bagi orang-orang yang menjumpainya.
Di Zimunya, Zimbabwe Timur, trenggiling dianggap sebagai satwa sakral dan simbol keberuntungan.
“Mitos-mitos semacam itu berlangsung sedemikian hingga menempatkan trenggiling sebagai satwa dalam kedudukan sakral, yang membuat masyarakat lokal pantang memburunya,” ungkap Tatang.
Di luar Afrika, beberapa budaya Asia menempatkan mamalia bersisik ini pada makna spiritual. Dipandang sebagai simbol kemakmuran keberuntungan, dan kekuatan. Legenda Tiongkok, misalnya, terhubung dengan simbol misteri kekuatan: trenggiling keliling dunia lewat bawah tanah. Di Sri Lanka (juga di Malaysia), masyarakat lokal menganggap Trenggiling memiliki kekuatan supranatural. Mereka percaya, Trenggiling mampu membunuh seekor gajah dengan menggigit kedua kakinya, lalu melingkar pada belalai untuk mencekiknya.
Dalam cerita rakyat Melayu di Malaysia, Trenggiling dipercaya sebagai reinkarnasi plasenta seorang ibu. “Rahim ibu adalah sumber keberuntungan dan kemakmuran manusia semenjak janin, bukan?” kata Tatang.
Penggambaran Trenggiling dalam tradisi Afrika dan Asia mencerminkan status mamalia bersisik ini lebih dari sekedar hewan, tapi mengangkat derajatnya hingga ke ranah penghormatan dan mistik. Kearifan lokal semacam itu turut membantu dalam memromosikan sikap dan kebijakan yang diorientasikan pada pelestarian. Mitologi pada kepercayaan berbagai komunitas lokal menyarankan peran etis manusia dalam melindungi eksistensinya.
Menurut Tatang, Mandai Wildlife Singapura adalah sebuah proyek ambisius dengan visi ekologis, keseriusan sebuah negara modern dalam merawat kembali keanekaragaman hayati, termasuk tetumbuhan beserta satwa dalamnya.
Patung trenggiling Sunda Mother and Child berdiri kokoh sebagai ikon untuk mengabadikan visi tersebut.
“Dan, Singapura memahami soal itu. Pada saat yang bersamaan, ada sebuah negeri berkudung hutan-hutan sedang bernafsu membabat lebatnya, dengan dalih modernitas. Negeri yang salah menyangka itu bernama Indonesia,” tandas Tatang. 7adi
Komentar