Melihat Tradisi Cisuak di Kong Co Bio Tabanan saat Cap Go Meh, Menetralisir Kesialan di Tahun Ular Kayu
Cisuak
Kong Co Bio Tabanan
Vihara Dharma Cattra
Tahun Baru Imlek
Imlek
Ular Kayu
Shio
Feng Shui
Tionghoa
Kota Tabanan
Jenderal Wu Sui
TABANAN, NusaBali.com - Warga Tionghoa telah menyambut Tahun Baru Imlek pada 29 Januari 2025 lalu, dua pekan kemudian datang perayaan Cap Go Meh, Rabu (12/2/2025). Di Kelenteng Kong Co Bio Tabanan, purnama pertama di tahun 2576 Kongzili ini salah satunya disambut dengan tradisi cisuak.
Sejak pagi sekitar pukul 10.00 WITA, warga Tionghoa di Kota Tabanan dan sekitarnya sudah tampak ramai di kelenteng yang berada di dalam kompleks Vihara Dharma Cattra, Desa Delod Peken, Tabanan tersebut. Semerbak dupa tercium seiring khusyuknya umat Tri Dharma melakukan persembahyangan.
Kata Ketua Yayasan Kerta Yasa Tabanan yang menaungi Vihara Dharma Cattra/Kong Co Bio Tabanan, Liem Surya Adinata, perayaan Cap Go Meh dilakukan dengan tiga jenis persembahyangan. “Pertama sembahyang Gap Go (purnama), kemudian dilanjutkan sejit yaitu HUT Yang Mulia Kong Co yang kami puja di sini, dan ada sembahyang cisuak,” tuturnya.
Tradisi cisuak dilakukan warga Tionghoa untuk mengawali setiap Tahun Baru Imlek. Sebab, cisuak adalah rangkaian ritual untuk menetralisir hal-hal buruk yang mungkin menimpa. Nasib buruk ini berkaitan dengan ketidakcocokan shio masing-masing individu dan shio yang dibawa tahun yang baru.
“Bukan shio yang ciong (kesialan) saja yang melakukan cisuak tetapi semuanya. Namun, memang yang ciong tahun ini seperti shio ular, babi, monyet, dan macan sangat dianjurkan,” imbuh Liem Surya kepada NusaBali.com, ditemui kelenteng pada Rabu pagi.
Menurut Ketua Bidang Kerohanian Yayasan Kerta Yasa Tabanan, Romo Liem Shien Lie, cisuak merupakan istilah umum untuk ritual persembahyangan kepada Tai Sui yang berjumlah 60 dewa. Setiap tahunnya, Tai Sui yang bertugas berganti-ganti. Pada 2576 Kongzili ini, Tai Sui yang berkuasa atas nasib manusia adalah Jenderal Wu Sui.
“Perbuatan buruk kita akan tetap ada. Tapi, dengan perbuatan baik kita selama ini, semoga Tai Sui menetralisir. Ini seperti timbangan agar seimbang, juga seperti air garam yang rasanya akan tetap asin tapi asinnya berkurang kalau ditambahkan air,” jelas Romo Shien Lie kepada NusaBali.com.
Rangkaian cisuak dimulai dengan menulis pek jie, secarik kertas yang ditulisi nama, tanggal lahir, shio, dan alamat umat. Kemudian menyiapkan persembahan kepada Tai Sui yang berisi lima jenis palawija seperti kacang hijau, padi, jagung, kacang merah, dan kedelai.
Persembahan tersebut disertai kim cua (kertas emas) dan mie sua sebagai simbol panjang umur. Uniknya, terdapat pengaruh tradisi Hindu Bali di dalam komponen persembahan ini yakni adanya komponen menyerupai canang sari.
Persembahyangan Tai Sui atau cisuak ini dilakukan di altar pada bangunan terpisah dari kelenteng. Di mana, Tai Sui yang berkuasa pada tahun itu diundang berstana di altar tersebut dalam kurun waktu tertentu untuk menerima doa dan persembahan dari umat selama sembahyang cisuak.
Romo Shien Lie yang juga seorang pendeta Vihara Dharma Cattra menuntun umat Tri Dharma melaksanakan sembahyang cisuak. “Pek jie tadi itu berfungsi sebagai ‘KTP.’ Saat sembahyang, nama dan lain-lain itu disebutkan lagi,” bebernya.
Persembahyangan diawali dengan menghaturkan persembahan. Kemudian, dilanjutkan sembahyang dengan sarana dupa sembari memegang pek jie. Di dalam pek jie tersebut juga tersurat tuntunan doa yang diucapkan yakni permohonan penetralisiran nasib buruk.
Setelah persembahyangan di altar Tai Sui rampung, umat dipercikkan tirta untuk diminum dan mencuci wajah. Umat juga diberikan bija untuk diletakkan pada kening layaknya umat Hindu Bali usai sembahyang. Bija ini jadi penanda bahwa warga Tionghoa di Kong Co Bio telah sembahyang cisuak.
Selanjutnya, persembahan cisuak dibakar pada tempat pembakaran berbentuk buah pir merah di dekat pintu masuk kompleks Vihara Dharma Cattra. Tidak semua persembahan dibakar, hanya pek jie, kim cwa, dan mie sua. Kata Romo Shien Lie, pembakaran tidak memusnahkan persembahan, melainkan mengirim doa kepada Tai Sui.
Di sisi lain, persembahan berupa lima jenis palawija disimpan untuk dibawa pulang. “Palawija itu ditabur, istilahnya disebut fang sen, yaitu memberi kehidupan pada makhluk dalam hal ini tumbuhan palawija. Ditabur di tempat yang memungkinkan palawija itu bisa tumbuh,” beber Romo Shien Lie.
Sementara itu, Romo yang lahir dan besar di daerah pecinan Kota Tabanan ini menegaskan bahwa benar ada shio yang sial di tahun ular kayu ini. Shio tersebut adalah ular dan babi yang ciong besar, serta monyet dan macan yang ciong kecil. Meski begitu, shio yang lain bukan berarti bebas dari nasib buruk.
“Shio yang ciong besar tahun ini adalah ular dan babi, yang ciong kecil itu monyet dan ular. Tetapi, sebenarnya semua shio ciong, sekarang tergantung kesialan itu dampaknya besar atau kecil pada masing-masing shio,” tegas Romo Shien Lie. *rat
Kata Ketua Yayasan Kerta Yasa Tabanan yang menaungi Vihara Dharma Cattra/Kong Co Bio Tabanan, Liem Surya Adinata, perayaan Cap Go Meh dilakukan dengan tiga jenis persembahyangan. “Pertama sembahyang Gap Go (purnama), kemudian dilanjutkan sejit yaitu HUT Yang Mulia Kong Co yang kami puja di sini, dan ada sembahyang cisuak,” tuturnya.
Tradisi cisuak dilakukan warga Tionghoa untuk mengawali setiap Tahun Baru Imlek. Sebab, cisuak adalah rangkaian ritual untuk menetralisir hal-hal buruk yang mungkin menimpa. Nasib buruk ini berkaitan dengan ketidakcocokan shio masing-masing individu dan shio yang dibawa tahun yang baru.
“Bukan shio yang ciong (kesialan) saja yang melakukan cisuak tetapi semuanya. Namun, memang yang ciong tahun ini seperti shio ular, babi, monyet, dan macan sangat dianjurkan,” imbuh Liem Surya kepada NusaBali.com, ditemui kelenteng pada Rabu pagi.
Menurut Ketua Bidang Kerohanian Yayasan Kerta Yasa Tabanan, Romo Liem Shien Lie, cisuak merupakan istilah umum untuk ritual persembahyangan kepada Tai Sui yang berjumlah 60 dewa. Setiap tahunnya, Tai Sui yang bertugas berganti-ganti. Pada 2576 Kongzili ini, Tai Sui yang berkuasa atas nasib manusia adalah Jenderal Wu Sui.
“Perbuatan buruk kita akan tetap ada. Tapi, dengan perbuatan baik kita selama ini, semoga Tai Sui menetralisir. Ini seperti timbangan agar seimbang, juga seperti air garam yang rasanya akan tetap asin tapi asinnya berkurang kalau ditambahkan air,” jelas Romo Shien Lie kepada NusaBali.com.
Rangkaian cisuak dimulai dengan menulis pek jie, secarik kertas yang ditulisi nama, tanggal lahir, shio, dan alamat umat. Kemudian menyiapkan persembahan kepada Tai Sui yang berisi lima jenis palawija seperti kacang hijau, padi, jagung, kacang merah, dan kedelai.
Persembahan tersebut disertai kim cua (kertas emas) dan mie sua sebagai simbol panjang umur. Uniknya, terdapat pengaruh tradisi Hindu Bali di dalam komponen persembahan ini yakni adanya komponen menyerupai canang sari.
Persembahyangan Tai Sui atau cisuak ini dilakukan di altar pada bangunan terpisah dari kelenteng. Di mana, Tai Sui yang berkuasa pada tahun itu diundang berstana di altar tersebut dalam kurun waktu tertentu untuk menerima doa dan persembahan dari umat selama sembahyang cisuak.
Romo Shien Lie yang juga seorang pendeta Vihara Dharma Cattra menuntun umat Tri Dharma melaksanakan sembahyang cisuak. “Pek jie tadi itu berfungsi sebagai ‘KTP.’ Saat sembahyang, nama dan lain-lain itu disebutkan lagi,” bebernya.
Persembahyangan diawali dengan menghaturkan persembahan. Kemudian, dilanjutkan sembahyang dengan sarana dupa sembari memegang pek jie. Di dalam pek jie tersebut juga tersurat tuntunan doa yang diucapkan yakni permohonan penetralisiran nasib buruk.
Setelah persembahyangan di altar Tai Sui rampung, umat dipercikkan tirta untuk diminum dan mencuci wajah. Umat juga diberikan bija untuk diletakkan pada kening layaknya umat Hindu Bali usai sembahyang. Bija ini jadi penanda bahwa warga Tionghoa di Kong Co Bio telah sembahyang cisuak.
Selanjutnya, persembahan cisuak dibakar pada tempat pembakaran berbentuk buah pir merah di dekat pintu masuk kompleks Vihara Dharma Cattra. Tidak semua persembahan dibakar, hanya pek jie, kim cwa, dan mie sua. Kata Romo Shien Lie, pembakaran tidak memusnahkan persembahan, melainkan mengirim doa kepada Tai Sui.
Di sisi lain, persembahan berupa lima jenis palawija disimpan untuk dibawa pulang. “Palawija itu ditabur, istilahnya disebut fang sen, yaitu memberi kehidupan pada makhluk dalam hal ini tumbuhan palawija. Ditabur di tempat yang memungkinkan palawija itu bisa tumbuh,” beber Romo Shien Lie.
Sementara itu, Romo yang lahir dan besar di daerah pecinan Kota Tabanan ini menegaskan bahwa benar ada shio yang sial di tahun ular kayu ini. Shio tersebut adalah ular dan babi yang ciong besar, serta monyet dan macan yang ciong kecil. Meski begitu, shio yang lain bukan berarti bebas dari nasib buruk.
“Shio yang ciong besar tahun ini adalah ular dan babi, yang ciong kecil itu monyet dan ular. Tetapi, sebenarnya semua shio ciong, sekarang tergantung kesialan itu dampaknya besar atau kecil pada masing-masing shio,” tegas Romo Shien Lie. *rat
Komentar