Kasus OTT Perbekel Bongkasa Sidang Perdana
Diduga Minta Fee untuk Bangun Rumah
DENPASAR, NusaBali - Kasus operasi tangkap tangan (OTT) Perbekel Bongkasa I Ketut Luki,60, akhirnya bergulir ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Senin (10/2).
Dalam sidang yang digelar secara online ini, Ketut Luki didakwa menyalahgunakan wewenangnya dengan meminta sejumlah uang kepada kontraktor proyek pembangunan Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kutaraga.
Terungkap dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Made Eddy Setiawan dkk dalam proses pencairan biaya pembangunan Pura ini sebenarnya telah dianggarkan Rp 2,47 miliar dari Pemkab Badung, namun terdakwa menggunakan modus menunda proses pencairan uang dan meminta imbalan Rp 20 juta untuk memperlancar pencairan dana tersebut kepada kontraktor.
“Modusnya untuk bantu beli bata, karena waktu itu katanya terdakwa lagi bangun rumah,” ungkap JPU. Atas hal tersebut, Ketut Luki didakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e atau huruf g Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001. Dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Dalam dakwaan JPU dijelaskan berdasarkan Keputusan Bupati Badung Nomor 60/0419/HK/2022 dan Nomor 65/0419/HK/2024, I Ketut Luki menjabat sebagai Perbekel Bongkasa untuk periode 2022-2030. Sebagai kepala desa, ia memiliki kewenangan dalam mengelola keuangan desa sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 20 Tahun 2018.
Bermula pada tahun 2024, Desa Bongkasa, Kecamatan Abiansemal, Badung mendapatkan Bantuan Keuangan Khusus (BKK) dari APBD Kabupaten Badung sebesar Rp 22,5 miliar, setidaknya ada tujuh proyek yang dibiayai dari anggaran ini. “Salah satunya adalah pembangunan Pura Desa dan Pura Puseh Desa Adat Kutaraga dengan anggaran sebesar Rp 2,47 miliar. Proyek tersebut dimenangkan oleh CV Wana Bhumi Karya melalui proses lelang,” beber JPU.
Pada tanggal 8 Agustus 2024, CV Wana Bhumi Karya selaku penyedia jasa mengajukan permohonan pembayaran termin pertama sebesar Rp 603.650.200 setelah mencapai progres pekerjaan 25%. Permohonan tersebut diajukan kepada Kasi Kesra, I Made Terpi Astika, yang kemudian meneruskannya kepada Tim Pelaksana Kegiatan (TPK) untuk dilakukan pemeriksaan.
Namun, ketika hasil pemeriksaan diserahkan kepada Perbekel Bongkasa, terdakwa justru menunda proses pencairan dana dengan alasan yang tidak jelas. Barulah pada 19 Agustus 2024, terdakwa menghubungi Kasi Kesra dan menyatakan dana sudah bisa dicairkan. Setelah melalui serangkaian proses administrasi dan otorisasi, pada 20 Agustus 2024 dana sebesar Rp 534.312.002 akhirnya ditransfer setelah dipotong pajak dari rekening desa ke rekening milik CV Wana Bhumi Karya. Masalah kembali muncul pada pembayaran termin kedua yang diajukan pada 24 Oktober 2024 setelah progres pekerjaan mencapai 50%. Sama seperti sebelumnya, permohonan ini telah melalui pemeriksaan oleh TPK dan dinyatakan layak untuk dibayarkan. Namun, lagi-lagi terdakwa menunda pencairan dana dengan alasan yang tidak jelas.
“Pada saat itu terdakwa menjawab ‘Nden malu’ (tunda dulu) sehingga berkas permohonan pembayaran tersebut diletakkan di meja terdakwa oleh I Made Terpi Astika,” ungkap JPU. Singkat kata dana tersebut tidak kunjung cair. Puncaknya terjadi pada 30 Oktober 2024, akhirnya Komisaris CV Wana Bhumi Karya, Ni Luh De Widyastuti, turun tangan menghubungi terdakwa untuk menanyakan status pembayaran termin kedua. Saat itu, terdakwa menyatakan proses sudah berjalan. Namun setelah dilakukan pengecekan ke staf Bendahara Desa, ternyata proses belum dilakukan sama sekali.
Saat dikonfirmasi lebih lanjut oleh Widyastuti, terdakwa justru meminta imbalan dengan alasan sedang membangun rumah pribadi dan membutuhkan dana untuk membeli bahan bangunan. Terdakwa waktu itu mengatakan “Sing ngidang bantu bapak ne? Karna bapak membangun jumah, pang ade anggo meli bata” (Apakah tidak bisa bantu Bapak? Karena bapak lagi membangun di rumah supaya ada untuk beli bata), kemudian dijawab oleh Widyastuti, “Nah, yang penting ngidang cair” (Iya, yang penting bisa dicairkan), namun ternyata permohonan pembayaran termin II tersebut belum juga diproses oleh terdakwa.
Sampai di tanggal 4 November 2024 dana tersebut akhirnya dicairkan, saat itu terdakwa menghubungi Widyastuti sambil mengatakan “Sampun tyang cairkan, be lebih tyang cairkan, lebih nae baang bapak dik” (Sudah saya cairkan, sudah lebih saya cairkan, tolong lebihkan sedikit bapak ngasinya), kemudian Widyastuti, menjawab “O nah, nah, Pak Tut” (Iya, iya, Pak Tut). Setelah itu akhirnya uang pembayaran termin II sejumlah Rp 534.312.002 ditransfer ke rekening CV Wana Bhumi Karya.
Pada 5 November 2024, setelah dana proyek dicairkan, Direktur CV Wana Bhumi Karya, Kadek Dodi Stiawan, bersama Komisaris perusahaan menarik uang di bank. Mereka kemudian menyerahkan uang Rp 20 juta kepada pegawai perusahaan, I Putu Gede Widnyana, yang bertugas mengantarkan uang kepada terdakwa di wilayah Abiansemal.
“CV Wana Bhumi Karya mengaku terpaksa memberikan uang tersebut karena khawatir pencairan termin berikutnya akan kembali dipersulit, karena mereka membutuhkan modal untuk membiayai proyek lainnya yang sedang dikerjakan untuk pembelian material dan gaji karyawan,” tukas JPU. Saat uang itu sudah dititipkan ke Putu Gede Widnyana dan ingin diberikan ke terdakwa, terdakwa mengatakan dia sedang berada di Puspem Badung dan titipan tersebut agar dibawa ke lapangan parkir sebelah utara Puspem Badung. Saat di sanalah petugas Ditreskrimsus Polda Bali yang sudah mengetahui hal ini segera melakukan penangkapan dan penggeledahan terhadap terdakwa. 7 cr79
Komentar