nusabali

Bali Milik Siapa?

  • www.nusabali.com-bali-milik-siapa

POLDA Bali mencatat, sepanjang tahun 2024, seperti dikutip Tempo, sebanyak 133 WNA terlibat kasus pidana umum. Kasus ini meningkat 49 persen dibanding 2023 yang mencatat 89 WNA. Angka-angka ini belum termasuk kasus narkotika dan tindak pidana khusus.

Tentu tidak keliru jika ada yang berkomentar, Bali tidak lagi setenang dan senyaman dulu. Di Bali harus selalu waspada, karena berbagai tindakan kriminal kian mencemaskan.

Sebelum pariwisata sebebas sekarang, dulu orang lokal menganggap orang asing itu manusia hebat, kaya, pintar, dan bersahabat, sehingga mereka sangat disegani oleh warga setempat. Berteman dengan warga asing merupakan kebanggaan, dan bisa meningkatkan rasa percaya diri.

Sekarang mereka banyak yang kere, stres, merusak kenyamanan, dan  melecehkan orang lokal. Tak sedikit yang bikin huru-hara, ugal-ugalan, dan menganggap warga lokal manusia rendahan. Tentu wajar jika banyak yang bertanya-tanya, apakah sesungguhnya yang mereka cari ke Bali? Cuma piknik dan menikmati kebebasan? Berdagang, menipu, dan dengan gampang bisa ongkang-ongkang hidup enak? 

Di  beberapa kampung wisata seperti Canggu atau Ubud, orang asing terasa lebih hadir, dan menjadi ciri, dibanding orang lokal. Kehadiran mereka dan para pendatang itu semakin padat dan pesat di berbagai belahan Bali, dan bisa disebut sebagai menguasai beberapa sudut Bali.

Beberapa orang mulai bertanya-tanya, kini Bali itu punya siapa? Benarkah Bali masih tetap, hingga kini, sepenuhnya milik orang Bali? Pertanyaan ini muncul karena turisme yang menumpahkan kekayaan juga menerbitkan masalah-masalah baru tentang kepemilikan tanah-tanah Bali. Semakin banyak tanah dikuasai oleh orang luar, dibanguni hotel. Jalan-jalan dibenahi, diperlebar, untuk kehadiran orang-orang luar yang bermukim di Bali. Bandara diperbaiki untuk para pendatang. Tol laut dibangun sesungguhnya untuk menampung kebutuhan kaum pendatang itu.

Orang Bali kini semakin menyadari, kekuasaan mereka akan tanah kelahiran kian melorot. Semakin hari kian banyak orang berniat menguasai Bali. Lazimnya kita tidak bisa langsung menyadari proses penguasaan itu. Mereka baru sadar setelah membahas dengan mendalam liku-liku turisme di Bali.

Banyak pakar berkomentar, pertumbuhan ekonomi Bali tidak sepenuhnya dinikmati oleh orang Bali. Kendati belum pernah dilakukan penelitian secara menyeluruh tentang pembagian kue pariwisata, tanda-tanda perekonomian Bali dikuasai orang luar, bisa sangat kuat dirasakan.

Mengapa orang Bali terlambat mengetahui mereka tidak lagi menjadi tuan di tanah sendiri? Banyak yang tahu jawabannya, antara lain karena orang Bali terlalu suntuk pada urusan adat dan agama, sehingga mereka lupa masalah-masalah duniawi. Karena persoalan-persoalan industri turisme atau pertumbuhan ekonomi adalah masalah duniawi, maka tidak cukup sigap orang Bali mengantisipasi dampak turisme itu.

Dalam berbagai seminar, di banyak komunitas di mana tokoh-tokoh Bali berkumpul, sampai ke perbincangan di warung-warung kopi dan balai banjar, acap kali muncul pembahasan tentang Bali tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh orang Bali. Mereka yakin, saat ini orang Bali tidak lagi punya kekuatan untuk mengarahkan mau dibawa ke mana Bali. Mereka acap mengalami, sebuah masalah muncul tiba-tiba, tetapi tidak dengan sigap sanggup mengatasinya. Tiba-tiba sebuah kawasan suci dikuasai investor, dibanguni vila, dan orang Bali bingung mengapa hal itu sampai terjadi. Bukankah sepatutnya mereka tahu dan berperan menolak atau menerima proyek itu?

Jika mereka tidak kuasa menolak sesuatu yang mereka anggap merusak Bali, lalu apa peran mereka sebagai manusia Bali? Kalau mereka tidak berperan, masihkah bisa disebut mereka yang punya Bali? Jika bukan mereka yang punya Bali, lantas siapa yang memiliki Bali?

Tapi, jangan-jangan Bali memang tak pernah menjadi milik orang Bali. Di zaman kerajaan, Bali adalah milik Majapahit. Di zaman kolonial, Bali dimiliki oleh Belanda. Pernah juga menjadi milik Jepang, kendati cuma selama tiga tahun. Sekarang, di zaman globalisasi, Bali ditengarai telah dikuasai pemilik modal. 

Banyak orang berpendapat, sulit sekali melawan kapitalisasi. Investor, modal, bergerak sangat cepat untuk menguasai. Dan sangat rakus. Sungguh tak mudah menjawab pertanyaan, apakah Bali pada akhirnya memang tak akan pernah dimiliki oleh orang Bali? Lalu, siapakah yang akan menjadi pemenang sebagai pemilik Bali? 7

Komentar