Bahasa Bali Dialek Buleleng Itu Kasar, Apa Iya?
DENPASAR, NusaBali.com - Bahasa Bali yang dituturkan masyarakat Buleleng dikenal dengan kekhasannya sebagai ‘bahasa kasar’ di telinga masyarakat Bali bagian selatan. Penggunaan bahasa seperti ini lekat dengan kosa kata yang lugas dan emosional.
Pada praktiknya, bahasa kasar ini bahkan memakai pilihan kata yang biasanya mendeskripsi aktivitas binatang pada manusia. Misalkan, kata leklek (makan) untuk aktivitas yang sama disematkan pada manusia. Kemudian, kata cicing (anjing) sebagai sebutan langsung untuk lawan bicara.
Dalam literatur, bahasa kasar memang didefinisikan sebagai bahasa yang kerap dipakai ketika berdebat atau adu mulut dalam situasi berkonflik. Akan tetapi, bahasa semacam ini faktanya juga dituturkan dalam keseharian masyarakat Buleleng tanpa ada situasi konflik. Murni pergaulan.
Konten kreator yang juga putra asli Buleleng Kadek Puja Astawa (@haipuja) tidak setuju Bahasa Bali dialek Buleleng ini disebut sebagai bahasa kasar. Sebab, tidak memenuhi unsur berdebat/berkonflik ketika diucapkan penuturnya.
Bahkan, bahasa yang dianggap kasar ini dijadikan Puja sebagai bahasa utama konten-kontennya yang bersifat jenaka. “Tidak setuju Bahasa Buleleng itu disebut bahasa kasar,” tegasnya ketika ditemui di Denpasar, baru-baru ini.
Menurut pria kelahiran Kelurahan Banyuasri, Singaraja ini, dialek Buleleng merupakan fenomena linguistik yang lahir dari interaksi sosial yakni pergaulan. Ketika bahasa tersebut digunakan untuk berkomunikasi, tidak sedikit pun ada ketersinggungan di antara pelontar dan penerima.
“Kasar itu artinya ketika melontarkan bahasa itu mereka (lawan bicara) tidak suka. Ketika bahasa itu timbul dari proses pergaulan, maka bahasa itu tidak bisa disebut kasar,” ungkap Puja yang menyelesaikan pendidikan magister hukum di Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati, 2022 silam.
Sebagai putra daerah yang besar di lingkungan penutur dialek Buleleng ini, Puja menegaskan bahwa dialek pergaulan tersebut hanya muncul dalam komunikasi antarsahabat karib. Dialek ini biasanya tidak jarang dipakai kepada orang yang belum dikenal, apalagi kepada orang Bali selatan.
Menurutnya, apa yang sudah menjadi kekhasan linguistik di Buleleng tidak perlu diutak-atik. Sebab, kekhasan ini bagian kebudayaan Gumi Den Bukit yang ia rawat dan lestarikan melalui konten-konten media sosial. Kekhasan ini justru menjadi daya tarik dan salah satu kunci kesuksesannya di jagat maya. *rat
Dalam literatur, bahasa kasar memang didefinisikan sebagai bahasa yang kerap dipakai ketika berdebat atau adu mulut dalam situasi berkonflik. Akan tetapi, bahasa semacam ini faktanya juga dituturkan dalam keseharian masyarakat Buleleng tanpa ada situasi konflik. Murni pergaulan.
Konten kreator yang juga putra asli Buleleng Kadek Puja Astawa (@haipuja) tidak setuju Bahasa Bali dialek Buleleng ini disebut sebagai bahasa kasar. Sebab, tidak memenuhi unsur berdebat/berkonflik ketika diucapkan penuturnya.
Bahkan, bahasa yang dianggap kasar ini dijadikan Puja sebagai bahasa utama konten-kontennya yang bersifat jenaka. “Tidak setuju Bahasa Buleleng itu disebut bahasa kasar,” tegasnya ketika ditemui di Denpasar, baru-baru ini.
Menurut pria kelahiran Kelurahan Banyuasri, Singaraja ini, dialek Buleleng merupakan fenomena linguistik yang lahir dari interaksi sosial yakni pergaulan. Ketika bahasa tersebut digunakan untuk berkomunikasi, tidak sedikit pun ada ketersinggungan di antara pelontar dan penerima.
“Kasar itu artinya ketika melontarkan bahasa itu mereka (lawan bicara) tidak suka. Ketika bahasa itu timbul dari proses pergaulan, maka bahasa itu tidak bisa disebut kasar,” ungkap Puja yang menyelesaikan pendidikan magister hukum di Fakultas Hukum, Universitas Mahasaraswati, 2022 silam.
Sebagai putra daerah yang besar di lingkungan penutur dialek Buleleng ini, Puja menegaskan bahwa dialek pergaulan tersebut hanya muncul dalam komunikasi antarsahabat karib. Dialek ini biasanya tidak jarang dipakai kepada orang yang belum dikenal, apalagi kepada orang Bali selatan.
Menurutnya, apa yang sudah menjadi kekhasan linguistik di Buleleng tidak perlu diutak-atik. Sebab, kekhasan ini bagian kebudayaan Gumi Den Bukit yang ia rawat dan lestarikan melalui konten-konten media sosial. Kekhasan ini justru menjadi daya tarik dan salah satu kunci kesuksesannya di jagat maya. *rat
Komentar