nusabali

MUTIARA WEDA: Tiga Makna ‘Siwaratri’

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-tiga-makna-siwaratri

hetunyämrih ameh manah kede mawetwa bhasa kakawin tan sangkeng wruh apet raras rumacana-ng wuwus kumawasa byaktasambhawa yan kasanmataha de nirang parajana mukta-ng klesa silunlunganya muliheng niräsraya juga. (Siwaratrikalpa, 38.2)

Berusahalah untuk menjaga pikiran tetap tenang, menggunakan bahasa kakawin yang penuh kedalaman, Tanpa ragu memahami setiap makna dan tujuan dari kata-kata yang bijaksana dan penuh kuasa, Dengan niat yang tulus, jika dilihat oleh orang lain, akan terlihat bahwa dia bebas dari segala pengaruh buruk, Lepas dari penderitaan dan kebingungan, kembali ke jalan yang murni tanpa bergantung pada apapun.

BAGAIMANA memahami cerita Lubdaka? Penekanannya ada pada teks di atas. Bahasa kakawin penuh dengan kedalaman, penuh kuasa, memiliki makna dan tujuan dari setiap kata-katanya yang bijaksana. Perintahnya adalah: gunakan pikiran tetang, tidak ragu, dan niat tulus. Inilah upaya atau sadhana yang harus dipraktikkan. Artinya memahami teks harus dengan kecerdasan dan kemurnian. Jika itu bisa dilaksanakan, maka dia akan bebas dari pengaruh buruk, bebas derita, kembali ke jalan yang murni tanpa noda.  

Jika seperti itu harusnya memaknai teks, lalu cerita tentang Lubdaka, sang pemburu yang akhirnya mendiami Siwaloka setelah kematiannya, bagaimana dan apa kedalaman pesannya? Mari kita telusuri. Paling tidak ada 3 interpretasi. Pertama, yang lumrah dan dipraktikkan oleh umat Hindu adalah jagra semalam suntuk ditambah dengan upawasa dan praktik lainnya. Dalam hal ini, ada yang memaknai sebagai malam penebusan dosa, malam peleburan dosa, atau malam perenungan dosa. Ada yang mengikuti cerita Lubdaka perse, yakni dengan jagra, tidak tidur selama satu malam, semua dosa akan dihapuskan sepenuhnya. Yang lain, ada yang meragukan bahwa tidak mungkin dosa bisa dihapuskan seperti itu, sehingga dimaknai sebagai perenungan dosa. Pada hari ini adalah malam refleksi atas dosa-dosa yang dilakukan dan kemudian berjanji di kemudian hari untuk memperbaikinya. 

Kedua, teks Siwaratrikalpa yang di dalamnya berisi cerita tentang Lubdaka bisa disepadankan dengan cerita Kunjarakarna Dharmakatana. Siwaratrikalpa adalah teks Hindu sementara Kunjarakarna adalah teks Buddha. Nuansa cerita di dalamnya hampir mirip. Dalam teks Siwaratrikalpa dijelaskan bahwa Lubdaka tanpa sengaja memuja Lingga Siwa ketika berada di tengah hutan saat tersesat dalam berburu binatang. Inilah yang menyebabkan Yama tidak kuasa menghukum dosa-dosanya dan sebaliknya dijemput oleh Siwa dan ditempatkan di Siwaloka. Sementara itu, cerita Kunjarakarna bercerita tentang petualangannya di Yamaloka (neraka) dan menemukan adanya slot untuk menghukum Purnawijaya temannya. Kunjarakarna berniat menyelamatkan Purnawijaya, dan kemudian melapor ke Sang Buddha. Lalu diperintahkan agar Purnawijaya segera mendengarkan Dharma, ajaran Buddha sehingga nantinya bisa terbebas dari segala dosa dan terhindar dari siksa neraka. 

Jadi, dalam Siwaratrikalpa, penekanannya pada pemujaan pada Siwa. Hanya dengan melakukan pemujaan pada saat malam Siwa, segala dosa akan dihapuskan. Sementara dalam cerita Kunjarakarna, hanya dengan mendengarkan ajaran Dharma, siksa yang akan diterima Purnawijaya pun ditiadakan. Artinya apa? Ini adalah pesan bahwa memeluk ajaran Siwa atau ajaran Buddha itu sederhana. Ini adalah semacam missi untuk menarik minat masyarakat mengikuti ajaran tersebut. Menjadi penganut Siwa (Hindu) itu sederhana, demikian juga sebaliknya, menjadi penganut Buddha juga mudah. Dosa-dosanya akan segera terhapus. 

Ketiga, cerita Lubdaka itu mengandung pesan simbolik. Di samping teks missi, juga mengandung pesan sejatinya. Cerita Lubdaka itu adalah sebentuk perjalanan seorang sadhaka yang sedang menjalankan sadhana spiritual. Istilah ‘jagra’ yang menjadi inti dari pesan Siwaratri adalah seperti teks upanisad sampaikan. Yakni, kita mesti tetap terbangun dari gelapnya maya, avidya. Hanya ketika kita sepenuhnya bisa terjaga dari avidya, kebebasan itu bisa diraih. Dosa itu hadir oleh karena avidya. Jika kita bebas dari avidya, maka semua dosa, semua kegelapan tidak lagi memiliki kekuatan. Bagaimana caranya agar kita tetap ‘jagra’ dan terbebas dari avidya? Teks di atas mengajarkan: jaga agar pikiran tetap tenang setiap saat, tidak ragu memaknai isi kakawin yang penuh kedalaman makna, serta memiliki hati yang tulus. Itulah malam Siwa (ketenangan pikiran, ketulusan hati, dan kesungguhan jiwa), malam yang penuh berkah. 7

Komentar