nusabali

Ratusan Warga Jimbaran Datangi DPRD Bali

Mengadu soal Lahan yang Kini Bersengketa

  • www.nusabali.com-ratusan-warga-jimbaran-datangi-dprd-bali

DENPASAR, NusaBali - Sebanyak 130 orang warga dari lingkungan Buana Gubug dan Mekar Sari, Jimbaran, Kuta Selatan, Badung yang terdiri dari penyakap, waris penyakap, pemilik lama, krama desa adat, dan krama subak yang tergabung dalam Kesatuan Penyelamat Tanah Adat (Kepet Adat) mendatangi Gedung DPRD Bali, Senin (3/2) pagi.

Kehadiran mereka diterima oleh Ketua Komisi I DPRD Bali I Nyoman Budi Utama dan sejumlah anggota. Kedatangan warga bertujuan menyampaikan aspirasi serta meminta bantuan kepada anggota dewan terkait permasalahan hukum atas perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) tanah seluas 280 hektare di Jimbaran. 

Mereka menilai perpanjangan SHGB yang diberikan kepada sejumlah perusahaan swasta di Jimbaran dilakukan secara tidak sah. Kuasa Hukum Kepet Adat I Nyoman Wirama menjelaskan salah seorang warga, yakni I Wayan Bulat,67, seorang pensiunan Polri yang beralamat di Jalan Uluwatu I, Jimbaran menghadapi gugatan dari seorang pengusaha karena disebut menyerobot tanah milik perusahaan. Gugatan ini dilayangkan setelah warga menolak meninggalkan lahan yang telah ia tempati turun-temurun. 

Menurut informasi yang didapat Wirama, tanah itu rencananya akan dibangun fasilitas pariwisata atau akomodasi. "Enam bulan lalu warga mulai digugat karena masih bertahan di tanah tersebut, meskipun sudah diminta pergi. Warga merasa memiliki hak atas lahan ini, sebab mereka telah menguasainya dengan itikad baik selama puluhan tahun," ujar Wirama.

Pada tahun 1994 pemerintah melakukan pembebasan lahan dengan alasan untuk kepentingan umum, padahal lahan tersebut sudah ditetapkan sebagai lahan telantar oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Namun, lahan yang dibebaskan secara paksa itu justru diterbitkan sejumlah SHGB. Lahan yang dibebaskan tersebut hingga kini masih telantar, sehingga warga menduga pembebasan lahan bukan untuk kepentingan umum melainkan untuk kepentingan bisnis pribadi karena info yang beredar salah satu perusahaan melakukan kerjasama pengelolaan dan penjualan perumahan dengan perusahaan pengembang. 

Selain itu, Wirama menambahkan ada dugaan penyalahgunaan wewenang dalam perpanjangan SHGB lahan tersebut. Perpanjangan dilakukan dengan dalih bahwa lahan akan digunakan untuk fasilitas multilateral dalam sebuah acara internasional pada tahun 2013. Namun, hingga saat ini tidak ada pembangunan sesuai rencana. 

Sementara itu, I Wayan Bulat, pihak yang terlibat dalam sengketa ini menyampaikan keluhannya bahwa akses menuju tanahnya semakin terbatas akibat pembangunan hotel di sekitarnya. "Sebelah saya hotel sebelah lagi hotel, tapi tempat saya itu masih tetap hutan, semak belukar. Susah saya keluar masuk,” katanya. 

Bulat mengatakan dirinya adalah generasi kedelapan yang masih tinggal di lahan tersebut. Ia menolak disebut sebagai penyerobot karena tanah itu merupakan warisan turun-temurun. "Saya lahir di sana, besar di sana, ari-ari saya dikubur di sana. Tapi saya justru dituduh menyerobot tanah sendiri," kata Koordinator Kepet Adat sekaligus Jero Mangku Pura Balang Tamak ini. Sedangkan seorang warga lainnya bernama Nyoman Tekad juga menyuarakan keresahannya. Tanah tersebut merupakan warisan dari Kerajaan Mengwi yang sejak lama dikelola oleh warga desa adat dengan sistem bagi hasil. 

Namun, perubahan besar terjadi setelah Indonesia merdeka, ketika tanah tersebut dinyatakan sebagai tanah negara. Meskipun tetap dikelola oleh warga, pada tahun 1994-1995 terjadi penggusuran massal yang diduga dilakukan secara ‘tidak manusiawi.’ "Penggusuran itu hampir bersamaan dengan sebuah proyek besar kala itu. Kami, warga Subak Balang Tamak, kebanyakan orang kecil pendidikan rendah, tidak tahu harus mengadu ke mana saat itu. Lahan kami diambil alih," ungkapnya.

Akibatnya, banyak warga kehilangan tanah mereka, sementara sejumlah sertifikat HGB diterbitkan atas nama pihak swasta. Menanggapi aspirasi warga, Ketua Komisi I DPRD Bali, I Nyoman Budi Utama, menyampaikan apresiasinya terhadap kedatangan warga. Ia memastikan DPRD Bali akan mengkaji dokumen dan barang bukti yang telah diserahkan dan segera memanggil pihak-pihak terkait, termasuk investor dan Badan Pertanahan Provinsi Bali.

"Kami akan pelajari dokumen yang telah diserahkan. Jika ada yang kurang, kami akan tetap berkoordinasi dengan pihak terkait. Kasus ini sudah masuk ke pengadilan, jadi kami harus berhati-hati dalam menyikapinya," ujarnya. Budi Utama menambahkan asal-usul tanah ini akan menjadi perhatian serius DPRD, terutama karena berkaitan langsung dengan kebijakan pertanahan di Provinsi Bali. Setelah menyampaikan aspirasi ke DPRD Bali, ratusan warga bergerak menuju Pengadilan Negeri Denpasar untuk menghadiri sidang perdana terkait sengketa lahan ini. 7 cr79

Komentar