nusabali

Manda dan Djelantik Santha Masih Eksis Berkarya di Kala Senja

  • www.nusabali.com-manda-dan-djelantik-santha-masih-eksis-berkarya-di-kala-senja

Bali memiliki dua novelis sastra Bali modern yang mengharumkan jagat kesusastraan di Pulau Dewata. Dua pangawi lingsir itu tiada lain Nyoman Manda, 77, dan I Gusti Gede Djelantik Santha, 75.

DENPASAR, NusaBali
Pensiunan guru dan pensiunan bank swasta nasional itu paling rajin berkarya dibandingkan sastrawan seangkatannya. Di tahun 2015 ini, Nyoman Manda menerbitkan lima novel, sementara Djelantik Santha, pilih keluarkan kumpulan cerpen. Hingga saat ini Manda belum terkalahkan untuk produktivitas berkarya. 

Bagi Manda, menulis adalah kreativitasnya untuk mengisi waktu pensiun. Di usianya yang senja, ia mendapat hiburan melalui tulis menulis. Tahun ini menerbitkan lima novel, masing-masing berjudul ‘Tresnané Leket di Batur’, ‘Nglingkung’, ‘Buung’, ‘Uug’, dan ‘Nayung Kenyem Manis’. Mantan anggota DPRD Gianyar di era Orde Baru ini bercerita tentang kekinian di novel terbarunya. ‘Buung’ menceritakan hiruk pikuk pemilihan legislatif yang diwarnai satu keluarga jadi calon legislatif (caleg). Namun tak satu pun yang jadi sehingga ‘buung’ atau batal jadi anggota dewan.

Dalam novelnya, peraih penghargaan Rancage tiga kali ini juga mengajak generasi muda untuk menghijaukan alam. Ajakan itu ia tulis dalam novel ‘Tresnane Leket Ring Batur’ atau Cintanya Melekat di Batur. Awal kisah diceritakan sejumlah kelompok anak muda yang berencana menghijaukan Danau Batur. Tokoh dalam cerita ini seorang pemuda yang berprofesi sebagai guru yang ditempatkan di Batur, Kintamani, Bangli. Namun gerakannya mengajak pemuda menghijaukan Batur dihadang pemuda setempat yang seorang bebotoh. Konflik dibangun melalui pertentangan pandangan tentang penghijauan. 
Tahun ini, pangawi lingsir yang juga menerbitkan karya yakni IGG Djelantik Santha. 

Bedanya, tahun 2015 pengarang yang pensiunan bank swasta nasional ini mengeluarkan kumpulan cerita pendek (kumcer). Buku kumcer itu diberi judul ‘Kacunduk Ring Besakih’. Bagi Djelantik Santha, menulis adalah aktivitas di hari tua. Ia pun mensyukuri penulis-penulis muda kini bermunculan sehingga sastra Bali modern tetap berdenyut. “Kebahagiaan saya adalah kini sudah ada generasi penerus di sastra Bali modern,” ungkap penulis novel trilogi ‘Sembalun Rinjani’ ini. 

Di kumcer ‘Kacunduk Ring Besakih’, Djelantik Santha menceritakan kondisinya saat ini seperti misalnya, ‘Arca Batu’. Saat cerita itu dikarang, penulis kelahiran 12 Agustus 1941 ini nyaris tak bisa bersandar, hanya duduk seperti arca. Bersandar sedikit saja maka batuknya kambuh. Sehingga selama batuknya belum bisa ‘dikalahkan’, nyaris tak bisa tidur karena ubah posisi dari duduk dengan tegak memicu batuk. Sementara ‘Kacunduk Ring Besakih’ mengisahkan pertemuan dengan mantan pacar di Pura Besakih. Hanya saja posisi ketemu sudah sama-sama berkeluarga. 

Benang cinta yang terputus saat tugas di Jawa akhirnya tersambung menjadi keluarga di Bali. “Begitulah cinta, putus cinta tak musti putus tali silaturahmi,” ungkap Djelantik Santha. Tak jauh beda dengan karya-karya terdahulu, di cerpen terbaru Djelantik Santha juga memunculkan bahasa Jawa dan bahasa Sasak. 7 k21 

Komentar