nusabali

MUTIARA WEDA : Mengapa Racun?

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-mengapa-racun

Ilmu pengetahuan yang tidak diterapkan dalam praktik adalah racun. Makanan yang tidak dicerna adalah racun. Bagi orang miskin, pesta adalah racun. Sementara orang yang sudah tua, wanita muda adalah racun

Anabhyase visam sastram ajirne bhojanam visam
Daridrasya visam gosthi vrddhasya taruni visam
(Chanakya Niti Sastra, 4: 15)

Teks sejenis Niti Sastra karya Rsi Chanakya ini sepertinya tidaklah dibuat hanya berdasarkan perkiraan penulis saja, melainkan hasil perenungan dan penyelidikan yang mendalam terhadap objek yang dibicarakan. Hanya saja apa yang disampaikan dan berbentuk metrum adalah kesimpulan-kesimpulannya saja, tidak menjabarkan mengapa dan bagaimana hal itu bisa seperti itu. Oleh karena hal itu adalah kesimpulan dari sebuh penemuan, maka teks itu bisa dijadikan sebagai bahan acuan baik dalam perilaku sosial maupun ketatanegaraan. Apa yang dinyatakan di dalam teks adalah sebuah kebenaran yang tidak bisa disangkal. Para pengampu kebijakan dan masyarakat secara umum pun mempercayai hal itu.

Hanya saja, ketika orang hendak mempraktikkannya, ia mesti memahami teks tersebut. Pemahaman seseorang tentu sesuai dengan tingkat kecerdasannya. Setiap orang pun memiliki persepsinya masing-masing, baik melalui pencerapan maupun interpretasi terhadap teks itu sendiri. Tidak tertutup kemungkinan interpretasi yang muncul berbeda dan bahkan bertentangan satu dan yang lainnya. Teks yang sama memiliki arti yang berbeda dan beragam. Ini tidak dipungkiri telah terjadi dan menjadikan banyak ajaran atau agama memiliki denominasi atau alirannya yang berbeda-beda.

Seperti misalnya teks di atas, jika dibaca, kita hanya mendapat kesimpulannya seperti itu dan kita tidak mendapat penjelasan lebih lanjut mengapa seperti itu, bagaimana hal itu bisa terjadi, apa dasarnya sehingga pernyataan itu bisa dinyatakan valid dan lain-lain. Kita tidak mendapat penjelasan itu. Kita hanya disuguhkan terhadap sesuatu yang telah instan. Yang bisa kita lakukan adalah menerima dan mempercayainya karena itu telah menjadi kitab suci. Selebihnya kita mungkin hanya bisa menafsirkannya, apa kira-kira maksudnya. Ketika kita menafsir, tentu kita harus memasukkan pendapat pribadi atas teks itu. Dan jika telah ada banyak tafsir, kita berkeinginan untuk menyatukan tafsir itu, sehingga ada kesatuan tafsir. Tetapi, celakanya, kembali kesatuan tafsir itu pun akan bermakna berbeda-beda di antara orang-orang yang membacanya, karena hasil bentukan kesatuan tafsir itu akan ditafisrkan kembali.

Kalau kita ingin memahami teks di atas, mengapa bisa demikian? Mengapa ilmu pengetahuan yang tidak dipraktikkan menjadi racun? Mengapa bagi orang miskin, pesta adalah racun? Mengapa bagi orang tua, perempuan muda adalah racun? Apa hubungannya antara racun dengan ilmu pengetahuan, orang miskin dan orang tua? Mengapa objek seperti pesta dan perempuan muda adalah racun? Jika kita baca, mungkin antara satu dan yang lainnya akan memiliki persepsi yang berbeda-beda. Seperti misalnya, jika kebetulan orang miskin membaca kitab suci ini, mungkin saja memiliki kesimpulan seperti ini: “karena saya miskin maka saya mesti menjauhi pesta, sebab kitab suci menyatakannya demikian”.  Demikian juga orang tua berkesimpulan: “saya harus sebisa mungkin menjauhi orang muda oleh karena mereka adalah racun yang membahayakan hidup”. Lama-lama bukan dirinya sendiri yang menjauh terhadap objek yang dianggap racun itu, melainkan objek itu yang disingkirkan dari kehidupannya. Hal seperti ini telah terjadi. Seperti misalnya: “atas nama mo
ral, seorang perempuan yang berpakaian seksi bisa dijauhkan atau diberi hukuman oleh karena orang yang melihat terangsang olehnya.” “Nafsu saya tidak salah, tetapi objek yang merangsanglah yang salah.”

Hal seperti inilah yang telah terjadi dan akan terus terjadi. Sepanjang kita tidak memiliki kecerdasan yang cukup, kita akan memaksakan pemahaman kita kepada orang lain terhadap teks itu. Apalagi orang yang secara politik berpengaruh memiliki pemahaman yang tidak pas dengan yang seharusnya, dipastikan orang bodoh yang ada di sekitarnya akan terhipnotis dan orang-orang cerdas lainnya yang menyadari dan memahami yang sebenarnya akan terbungkam, sebab ia tidak akan mungkin memberikan pemahaman kepada orang yang telah mapan dengan kebodohannya. Orang yang memiliki kecerdasan dan pemahaman yang benar hanya akan bisa berbicara kepada mereka yang bodoh tanpa embel-embel, dan orang bodoh yang sederhana seperti itu sangat sedikit jumlahnya. Sementara kebodohan orang yang penuh dengan lencana tidak akan bisa diajak bicara. Pembicaraan yang dilakukan akan sia-sia dan bisa berbalik, dia yang cerdaslah yang dikatakan sebagai orang bodoh.

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta  
Dosen Fakultas Brahma Widya, IHDN Denpasar

Komentar