nusabali

Pendidikan Multikultural Dalam Nyepi

  • www.nusabali.com-pendidikan-multikultural-dalam-nyepi

Wacana tentang multikulturalisme berkembang amat luas.

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD

Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Wacana ini banyak dikaji sebagai wacana negara-bangsa (nation state). Ideologi multikultural sangat bervariasi. Ideologi ini berkonotasi berbagai kultur atau kebijakan untuk mengharmoniskan kebhinekaaan suku, ras, dan agama.  Namun, fokus tulisan ini bukan pada keduanya, melainkan pada inti nilai pendidikan multikultur dalam Nyepi. Apa ada nilai inti pendidikan multikultur di balik perayaan Hari Raya Nyepi?

Nyepi biasanya dilaksanakan pada bulan Maret, tanggal apisan sasih kadasa  Rangkaian Nyepi terdiri atas melasti, nyejer, ngerupuk, tawur, sipeng, ngembak geni, dan dharma santi.

Apakah perayaan hari suci ini berkaitan dengan ideologi multikultural? Wacana demikian yang penting dibahas sebagai pencerahan bagi umat Hindu di Bali khususnya.

Menurut Tilaar yang mengutip Bennett (2003) bahwa terdapat empat nilai inti pendidikan multikultur. Ke-empat nilai inti tersebut adalah: 1) apresiasi terhadap pluralitas sara, 2) rekognisi harkat dan martabat manusia, 3) pengembangan tanggung jawab terhadap komunitas dunia, 4) pengembangan tanggung jawab terhadap kelestarian bumi.

Sesungguhnya, melalui perayaan Nyepi krama Bali sudah mengembangkan suatu perspektif historis dengan berbagai suku, ras, dan agama. Dengan umat Muslim, krama Bali adalah menyama braya, bersaudara yang diikat oleh sejarah. Dengan umat Tionghoa sama seperti dengan umat Muslim. Etnohistorisitas dengan krama Tionghoa terbukti dengan adanya pelinggih di Pura Ulun Danu Kintamani. Secara lintas soroh atau warna, sesungguhnya krama Bali saling berkait satu sama lain. Mereka bersumber asal dari kesejarahan para maharsi agung dari Java Dwipa.

Melalui catur brata penyepian, krama Bali berpikir, berkata, dan berperilaku taat asas. Sehingga, harkat dan martabat sebagai krama religius dan berkarakter memperoleh pengakuan dunia. Setiap usai perayaan Nyepi, kesadaran kultural krama tumbuh dan berkembang secara sehat. Kesadaran kultural berkembang senada dengan padi, yaitu, semakin berisi semakin merunduk, bukan rendah diri tetapi rendah hati.  Bunda Teresa pernah berkata, “Kerendahan hati adalah ibu dari semua sifat yang baik: kemurnian, amal baik, dan ketaatan. Saat rendah hati, kasih kita menjadi nyata, menjadi suatu persembahan yang sungguh-sungguh.” Rendah hati berarti menerima keterbatasan dan berusaha melakukan perubahan ke arah yang lebih baik di lingkungan sekitar.

Inti nilai lainnya adalah tanggung jawab terhadap kelestarian bumi. Menurut PT PLN Bali, penggunaan energi listrik menurun drastis. Hanya dalam sehari semalam sipeng, pemakaian listrik menurun tajam dari rata-rata 800,2 mega watt menjadi sekitar 531 mega watt pada hari-hari biasa. Pemakaian solar juga berkurang dan kosentrasi CO2 menurun tajam. Kosentrasi gas-gas polutan dan partikel debu juga turun drastis. Inilah kontribusi krama Bali melalui perayaan Nyepi. Simpulannya, krama Bali bertanggungjawab terhadap kebersihan dan kedamaian bumi.

Krama Bali sangat berkomitmen terhadap kesejahteraan umat bangsa. Melalui perayaan Nyepi, rasisme, seksisme, dan berbagai bias sosio kultural diminimalkan, secara lintas dan antarkomunitas lokal, nasional maupun global. Perayaan Nyepi bukan hanya suatu perayaan, melainkan juga suatu bentuk tanggung jawab terhadap keselamatan dan kesejahteraan umat dunia. Pada intinya, melalui perayaan Nyepi krama Bali mengembangkan suatu perspektif kesejarahan atau etnohistorisitas. Di samping itu, melalui perayaan Nyepi krama Bali memperkuat kesadaran hidup dalam komunitas global. Krama Bali telah belajar sejak lama tentang kompetensi interkultural. Dengan demikian sikap rasis, seksis atau berbagai bias sosio-kultural tergerus dari karakternya. Krama Bali telah belajar tentang ‘sense of ownership of the planet’ . Pada akhirnya, ini semua pada yang membentuk aksi sosial krama Bali yang terikat oleh agama dan budaya Hindu. *

Komentar