nusabali

Wayang Kamasan Menjauhi Era Keemasan

  • www.nusabali.com-wayang-kamasan-menjauhi-era-keemasan

 LUKISAN tradisional wayang Kamasan di Desa Kamasan, Kecamatan/Kabupaten Klungkung, berada di

Karena dari tahun ke tahun jumlah pelukis ini menurun. Karena lukisan wayang ini sulit dipasarkan hingga makin banyak pelukis beralih profesi.

Sampai saat ini, pelukis wayang Kamasan yang masih bertahan hanya 40 orang, sebagian besar sudah berusia lanjut. Sedangkan pelukis pemula di tingkat SD, sekitar 15 orang, itu pun yang aktif sekitar 10 orang. Pelbagai upaya dilakukan pemerintah maupun tokoh masyarakat, agar para pelukis wayang ini termotivasi untuk berkarya. Di antaranya, memberikan kesempatan kepada sejumlah pelukis secara bergiliran setiap hari demonstrasi di Balai Kertagosa, salah satu bangunan peninggalan kerajaan Klungkung yang kini jadi objek wisata ternama.

Selain itu, keberadaan seniman lukis wayang Kamasan juga akan dilibatkan untuk mendukung desa wisata Kamasan. Sebagai daya tarik untuk memikat wisatawan, namun upaya tersebut masih dalam proses. “Memang ada rencana untuk mendukung desa wisata, tetapi itu kembali ke masalah biaya,” ujar seorang pelukis di Desa Kamasan, Ni Wayan Sri Wedari, kepada NusaBali, Jumat (16/6).

Dalam pembahasan rencana itu, Sanggar Lukis Wayang Tradisional Wasundari, yang dirintis pelukis senior, Nyoman Mandra agar dijadikan sebuah museum. Mengingat sejak era 1970-an intens membina para pelukis sampai sekarang. “Anak-anak nanti tetap mendapat pembinaan, agar dapat mengenal dan mencintai lukis wayang Kamasan,” ujarnya.

Terlebih kegiatan melukis itu didukung lomba melukis wayang tersebut. Sejauh ini sejumlah anak-anak khususnya di wilayah Banjar Sangging, Desa Kamasan, mencoba intens belajar melukis wayang Kamasan. Mereka rela mengorbankan libur sekolah untuk kursus melukis di Sanggar Wasundari. Mereka belajar dari pukul 08.00 Wita-15.00 Wita setiap harinya.

Pemilik Sanggar Lukis Wayang Tradisional Wasundari Nyoman Mandra mengapresiasi siswa yang bersedia melestarikan lukisan klasik Kamasan ini. Karena semakin hari banyak pelukis yang beralih pekerjaan, pasalnya sulit pemasaran. Terlebih sulit mencari generasi penerus warisan budaya ini. “Kalau tidak ada penerus otomatis akan punah,” katanya.

Mandra mengaku jumlah siswa yang belajar melukis di sanggarnya juga menurun drastis. Tidak seperti awal mula berdirinya sanggar ini, tahun 1970-an, anak belajar melukis mencapai 50 orang lebih. Kemudian memasuki era 2000 menurun menjadi 30 orang, namun pada 2017 mencapai 10 orang. “Kebanyakan siswa tidak sempat belajar melukis karena terlalu banyak mengerjakan tugas sekolah, dan kegiatan les atau jam tambahan belajar,” ujarnya.

Mandra berharap kalangan generasi muda bisa melestarikan kesenian ini, karena sudah menjadi ciri khas Desa Kamasan. Selain minim regenerasi, dirinya juga kesulitan mencari bahan-bahan pewarna alami dari alam. “Saya memakai pewarna jenis akrilik, kecuali memang pemesan minta bahan alami, saya akan siapkan,” katanya.

Jenis cat bahan alami ini juga digunakan kalau lukisan itu untuk dipasang  pura karena lebih awet dan tahan lama. Disamping itu tekstur warnanya lebih halus.

Seorang siswa kursus, I Kadek Sangka Puja Laksana mengatakan dirinya belajar melukis karena hobi. Terlebih saat ini tengah libur sekolah, maka dari pagi-sore yakni pukul 08.00-15.00 Wita, Puja Laksana bisa fokus kursus melukis. “Saya juga didukung oleh orang tua,” ujar siswa kelas IV SD 1 Kamasan ini, penggemar wayang Rama dan Sita ini.

Hal senada disampaikan Ni Made Meta Abisuari, siswa kelas IV SD. Ia mengaku memanfaatkan liburan sekolah untuk kursus melukis. Hanya saja dia masih kesulitan untuk melukis anatomi dan ornamen dari wayang itu sendiri karena bentuknya rumit. “Walaupun sulit tidak jadi masalah, karena saya memang suka melukis, lama-lama pasti bisa,” katanya. *wa

Komentar