nusabali

Perang Ketupat Tandai Puncak Usaba Mangkalan di Apityeh

  • www.nusabali.com-perang-ketupat-tandai-puncak-usaba-mangkalan-di-apityeh
  • www.nusabali.com-perang-ketupat-tandai-puncak-usaba-mangkalan-di-apityeh

AMLAPURA, NusaBali  - Tradisi perang ketupat atau Masantalan merupakan rangkaian puncak dari Usaba Mangkalan, di pertigaan jalan, Banjar Apityeh Kelod, Desa Adat Apityeh, Desa/Kecamatan Manggis, Karangasem. Ritual ini digelar pada Soma Kliwon Landep, Senin (29/5), pukul 15.30 Wita.

Tradisi ritual ini dilaksanakan sebagai wujud syukur atas berkah kesuburan yang berlimpah dan panen di sawah. Ritual berlangsung sore hari dengan menghadirkan dua kelompok pemuda. Mereka dalam posisi berlawanan arah, lanjut saling lempar silih berganti, hingga senjatanya berupa ketupat hancur berserakan di jalan. Kedua kelompok pemuda mengenakan pakaian adat ringan. Mereka hanya dibatasi tali dengan jarak sekitar 10 meter.

Bendesa Adat Apityeh I Nengah Kuta memimpin jalannya ritual itu. Dia dibantu oleh Kelian Pecalang I Wayan Putu Subagiarta. Kara Nengah Kuta, perang ketupat ini rutin dilaksanakan setiap tahun, bertepatan Kajeng Kliwon kedua, Sasih Sadha. Saat seperti ini umur padi baru empat minggu atau sedang melaksanakan upacara Biu Kukung di sawah.

Prosesi ritual ini dimulai pagi hari, dengan upacara Mapurwadaksina atau keliling wilayah atai wawidangan Desa Adat Apityeh. Acara ini melibatkan atau mengelilingkan seekor kurban godel (anak sapi). Selanjutnya, warga desa menyembelih godel itu, di Bale Banjar Apityeh Kelod. Sebagian dagingnya untuk upacara Pacaruan dan sebagian lagi dibagikan untuk warga yang berasal dari 4 banjar adat, yakni Apityeh Kaler, Apityeh Kangin, Apityeh Kawan, dan Apityeh Kelod.

Sebelum membagikan daging godel Bendesa Adat Apityeh I Nengah Kuta membunyikan kentongan. Setelah daging godel dibagikan dan krama desa membawa daging godel ke rumahnya masing-masing, kembali membunyikan kentongan sebagai tanda agar krama mengolah daging godel itu.


Selanjutnya, krama kembali berdatangan menata 4 kemasan banten pacaruan. Berlanjut menggelar upacara pacaruan di Pura Puseh dipuput Jro Mangku Nyoman Sudiarta, pacaruan di Pura Taman Beji dipuput Jro Mangku Nengah Sarjana, di Pura Bale Agung dipuput Jro Mangku Puja dan terakhir upacara pacaruan di Pura Dalem dipuput Jro Mangku Diarti.

Usai menggelar upacara Pacaruan, mulai kaum pemuda berdatangan membawa satu kelan (6 biji ketupat) sebagai senjata. Ketupat itu merupakan surudan (upakara yang sebelumnya telah dipersembahkan) di Pura Puseh, Pura Dalem Pura Taman Beji dan Pura Bale Agung.

Setelah krama pemuda berkumpul di pertigaan Desa Adat Apityeh, Bendesa Nengah Kuta membagi jadi dua kelompok, sama rata. Memulai perang setelah Nengah Kuta memberikan aba-aba dengan bunyi peluit. Selanjutnya, kedua kelompok pemuda saling lempar, hingga senjata ketupat hancur tidak bisa terpakai lagi. Perang itu berlangsung sekitar 15 menit dan berakhir setelah Bendesa Nengah Kuta memberikan aba-aba berakhir. “Tradisi perang ketupat ini sebagai tanda rasa syukur, atas berkah kemakmuran dari Ida Bhatara Sri,” jelas I Nengah Kuta.

Kelian Pecalang I Wayan Putu Subagiarta juga mengakui, tradisi perang ketupat sebagai bentuk rasa syukur usai panen padi. “Ini bentuk rasa syukur atas berkah kemakmuran, berharap agar selanjutnya tetap mendapatkan berkah itu,” harapnya.7k16

Komentar