nusabali

Yang Mana Orang Bijak?

  • www.nusabali.com-yang-mana-orang-bijak

Ye tu sistah suniyatāh satyārjjavaparāyanah, Dharmyam panthānamārudhāstesam prttam samācara. (Sarasamucchaya, 48)

Ikuti perilaku para orang bijaksana, yang terkendali dengan baik, yang mengabdi pada kebenaran dan kesederhanaan, dan mengikuti jalan dharma.

SEMUA orang pasti sepakat dengan pernyataan di atas. Namun, ketika dibawa ke dalam praktik, pernyataan di atas justru menjadi liar. Maksudnya? Tidak pernah ada kesepakatan. Seperti apa? Semua orang dipastikan mengerti dan yakin dengan pernyataan di atas. Kebenarannya tidak diragukan lagi. Namun, ketika hal itu dicoba dikenali di lapangan, semuanya menjadi abu-abu. 

Mari analisa, ‘ikuti perilaku orang bijak’. Siapa itu orang bijak? Seperti apa kategorinya? Tidak ada keseragaman. Ada sebuah komunitas, sebut komunitas A percaya dan yakin bahwa Guru B adalah orang bijak, sehingga mereka mengikuti perilakunya. Sementara itu, ada beberapa orang, sebut komunitas C tidak meyakini bahwa Guru B adalah orang bijak, dan malah memiliki persepsi buruk padanya. Demikian seterusnya, tidak ada referensi yang tunggal terhadap orang bijak itu. Bahkan kebijaksanaan yang dipraktikkan oleh orang yang diyakini bijak itu juga beragam, sehingga perilaku bijak itu wajahnya tidak tunggal.

Jika ditanya, siapa yang disebut orang bijaksana di tengah-tengah perbedaan pandangan itu? Tidak akan pernah terjadi konsensus. Jadinya, narasi di atas secara konsensus diyakini kebenarannya oleh semua, tetapi ketika dicari wajahnya di dalam praktik, ada beragam dengan perbedaan-perbedaan. Jika definisi di lapangan beragam tentang orang bijaksana itu, lalu bagaimana kita bisa menunjukkan ke orang lain dengan sebuah kepastian? Di sinilah mungkin ada beberapa jenis kebijaksanaan lagi beyond definisi orang bijak tadi. 

Kebijaksanaan itu tidak lagi terletak pada orang yang dianggap bijak itu, melainkan bagi mereka yang meyakininya. Mengenai definisi tentang orang bijak itu tidak bisa dihitung sebab itu masalah keyakinan orang. Meskipun ada orang yang tampaknya lugu, tampak tidak berpengetahuan, dan tidak menunjukkan perilaku bijak secara umum, tetapi jika ada orang yang percaya, maka dia juga tergolong orang bijak, paling tidak bagi orang itu.

Seperti apa kebijaksanaan orang yang mempercayai orang bijak? Pertama, orang mempercayai kebenaran hanya pada apa yang dipikirkan, dikatakan, dan dilakukan oleh orang yang diyakininya bijak. Jika ada orang lain memiliki keyakinan yang berbeda, maka dia cenderung mengejek keyakinan mereka. 

Bahkan, tidak sedikit, dia akan membuat opini buruk kepada orang bijak yang diyakini oleh orang lain itu. Jadi, kebijaksanaan ini tergolong jenis membabi buta. Dia percaya sepenuhnya pada orang bijak yang diyakininya, dan cenderung menghina orang bijak yang menjadi keyakinan orang lain. Di sini, ketika berhubungan ke dalam ada ketundukan yang luar biasa, tetapi ketika keluar, akan ada hinaan, sumpah serapah, dan tendensi menistakan orang lain. 

Kedua, kebijaksanaan orang dengan meyakini guru bijak tertentu, tetapi tidak memberikan komen apapun terhadap guru bijak lain yang diyakini oleh orang lain. Dia tidak menyanjung dan tidak pula menghina keyakinan orang lain terhadap guru bijak lain. Saat ke dalam akan terjadi ketundukan yang luar biasa, tetapi ketika keluar mereka datar-datar saja, tidak pernah memberikan penilaian positif atau negatif, sebab baginya, apa yang dinyatakan atau dilakukan guru bijak lain tidak relevan dengan dirinya. Mayoritas orang ada di sini. Bahkan mereka menyebut tidak ‘rungu-rungu’ ini sebagai bentuk toleransi.   

Ketiga, kebijaksanaan orang dengan meyakini guru bijak tertentu dan menghormati guru bijak lainnya. Meskipun wajah kebijaksanaan tampak berbeda dan tidak sesuai dengan guru yang diyakininya, dia tetap menghormati guru bijak lain dan menganggapnya perbedaan hanyalah sebuah bentuk, bukan esensi. Saat ke dalam akan ada rasa tunduk, dan ketika keluar, ada penghormatan yang tinggi pula. Namun, ada juga jenis kebijaksanaan keempat, yang melampaui semuanya. Dia menghormati siapapun guru yang dinyatakan bijak. Dia melihat semuanya secara sama, sehingga dia tidak menentukan siapa siapa yang diyakininya. Dalam praktiknya dia bisa belajar dari kebijaksanaan mana saja, dan kemudian menjadi diri yang matang. Dirinya menjadi kebijaksanaan itu sendiri. Namun, ada pula kebalikan dari jenis keempat ini, yakni ada orang yang tidak meyakini siapapun, tidak menghormati siapapun, dan bahkan cenderung mencaci-maki siapapun. Hanya dirinya yang paling bijak. 7 

I Gede Suwantana 
Bali Vedanta Society 

Komentar