nusabali

Bumbu Bali Bisa Minimalkan Patogen dalam Daging, Namun Ada Tapinya!

  • www.nusabali.com-bumbu-bali-bisa-minimalkan-patogen-dalam-daging-namun-ada-tapinya

DENPASAR, NusaBali.com - Bumbu Bali disebut mampu meminimalkan dampak patogen (penyebab/pembawa penyakit) dari mikroorganisme berbahaya di dalam daging.

Daging menjadi salah satu bahan pangan yang rentan terhadap cemaran mikroorganisme. Selain berasal dari makhluk hidup, kandungan protein, air, dan oksigen dalam produk daging mampu menyuburkan pertumbuhan mikroorganisme.

Pertumbuhan mikroorganisme dapat ditahan melalui pendinginan. Kemudian bisa dimatikan lewat proses pemanasan dengan suhu di atas 70 derajat Celsius selama minimal 5 menit. Ada pula cara lain seperti mengekspos daging dengan komponen asam yang mampu menahan laju pertumbuhan mikroorganisme.

Pandangan ini disampaikan oleh Ni Putu Agustini SKM MSi, ahli dan akademisi pangan dari Politeknik Kesehatan (Poltekkes) Kemenkes Denpasar. Kata Agustini, salah satu cara mengekspos daging dengan komponen asam adalah mencampurnya dengan rempah seperti bumbu Bali.

"Bumbu Bali bisa menurunkan kadar pH daging yang mikroorganisme tertentu dapat mati dalam kadar asam tinggi atau pH rendah," jelas akademisi asal Sembung Gede, Kecamatan Kerambitan, Tabanan saat dihubungi pada Rabu (26/4/2023).

Rempah-rempah lokal seperti jahe, kunyit, isen (lengkuas), maupun lemu (jeruk limau) adalah beberapa bahan bumbu Bali yang dinilai mampu menurunkan pH. Sementara mikroorganisme biasanya berkembang dalam pH netral, tidak terlalu asam maupun basa. Secara pengukuran, berada di sekitar pH = 7.

Selain di Bali, contoh penggunaan bumbu makanan untuk meminimalkan dampak patogen dalam daging bisa dilihat pada budaya makanan Jepang. Beberapa hidangan dari Negeri Matahari Terbit itu dikonsumsi mentah. Namun, biasanya daging dan ikan mentah yang dikonsumsi dibarengi campuran cairan asam seperti cuka Jepang dan lainnya.

"Meski begitu, tetap tidak boleh gegabah dalam mengonsumsi daging mentah. Karena setiap individu itu memiliki batas toleransi cemaran mikroorganisme yang berbeda-beda," imbuh Agustini yang juga anggota DPD Persatuan Ahli Gizi Indonesia (Persagi) Bali.

Selain setiap individu memiliki batas toleransi yang berbeda terhadap cemaran patogen, tidak semua mikroorganisme mati dengan kadar asam tinggi. Mengambil contoh daging hewan yang lumrah di Bali yakni daging babi. Secara internasional problem peternakan babi salah satunya adalah keberadaan patogen Streptococcus suis (S suis).

Menurut artikel ilmiah berjudul Streptococcus suis infection karya Youjun Feng dan kawan-kawan, S suis termasuk famili strain patogen gram-positif yang lumrah di industri peternakan babi. Artikel yang terbit di jurnal Virulence tahun 2014 ini menyebut salah satu dampak S suis adalah meningitis.

Fakta lain pun ditunjukkan oleh sebuah artikel ilmiah di jurnal Microbiology and Molecular Biology Reviews yang terbit tahun 2003. Dalam artikel berjudul Surviving the Acid Test: Responses of Gram-Positive Bacteria to Low pH karya Paul Cotter dan Colin Hill dijelaskan, bakteri strain gram-postif mampu bertahan pada kadar asam tinggi atau kondisi pH rendah.

Selain tahan terhadap pH rendah, S suis juga disebut resistan terhadap antibiotik. Temuan ini dijelaskan dalam artikel ilmiah berjudul Antimicrobial Susceptibility of Streptococcus suis Isolated from Diseased Pigs in Thailand, 2018-2020.

Artikel ini merupakan karya Kamonwan Lunha dan kawan-kawan yang terbit di jurnal Antibiotics pada tahun 2022. Dijelaskan pula dalam artikel, sumber utama strain S suis yang dikatakan tahan terhadap antibiotik berasal dari organ paru-paru dan jaringan otak.

Artikel-artikel ini menunjukkan keberadaan patogen dalam daging mentah tetap hidup dan berkembang meskipun sudah dinaikkan kadar keasamannya. Oleh karena itu, hidangan yang sehat dan aman harus melalui proses pengolahan yang mampu mematikan patogen seperti proses pemanasan atau dimasak. *rat

Komentar