nusabali

Wanita - Keinginan - Kebahagiaan

Nāgnistrpyati kāsthānām nāpagānām mahodadhih, Nāntakah sarvvabhutānām na pumsām vā malocanā. (Sarasamucchaya, 437)

  • www.nusabali.com-wanita-keinginan-kebahagiaan

Api tidak pernah puas dengan bahan bakar, samudera tidak pernah kenyang dengan air sungai, kematian tidak pernah puas dengan makhluk, wanita tidak pernah puas dengan laki-laki.

PENGANDAIAN ini ditujukan kepada wanita. Ada sekitar 19 sloka Sarasamucchaya yang membahas tentang nature negatif wanita. Salah satunya adalah pengandaian di atas. Ketidakpernahpuasan wanita terhadap seks itu diibaratkan api, lautan, dan kematian. Maksudnya? Wanita itu selalu kekurangan seks. Seperti api dengan bahan bakar, seberapa pun bahan bakar yang disediakan, semuanya pasti dihabiskan. Demikian juga lautan, seberapa pun air sungai yang masuk, lautan tetap bisa menampung. Seberapa pun makhluk yang mati, kematian tidak pernah menyelesaikannya. Diibaratkan seperti itu nafsu perempuan tidak pernah terpuaskan.

Dalam konteks kekinian, mungkin pengandaian di atas tidak lagi relevan. Kita tidak bisa menggeneralisir bahwa semua wanita seperti itu, beberapa di antaranya mungkin iya. Mari kita terjemahkan nature ‘wanita’ ini dengan ‘keinginan’, hal yang jauh lebih luas, sebab ini ada pada setiap orang. Keinginan yang berdiam dalam pikiran masing-masing orang itu bisa diandaikan dengan api yang tidak pernah puas dengan bahan bakar, samudera tidak akan puas dengan air sungai yang masuk, dan kematian tidak pernah puas dengan makhluk yang mati. Keinginan di dalam diri sama seperti itu. Keinginan selalu ingin lebih.

Lalu bagaimana caranya agar api itu mati, samudera berhenti menelan air sungai, dan kematian itu meminta makhluk yang mati? Mungkin inilah salah satu alasan tentang pentingnya melaksanakan tapa, membatasi keinginan sampai tingkat tertinggi. Jika keinginan adalah sumber masalah, maka keinginan itu harus dipadamkan. Agar keinginan itu bisa padam, maka objek yang membuat keinginan itu tetap berkobar mesti dihilangkan. Seperti api, jika terus-menerus diberikan bahan bakar, maka api itu akan semakin membesar. Jika bahan bakar dihentikan, api akan membunuh dirinya. Dengan cara yang sama, jika keinginan diturutkan, maka ia akan semakin membesar. Jika punya sepuluh, maka ingin dua puluh, setelah dua puluh itu di tangan, segera pikiran menginginkan lebih, demikian seterusnya, semakin membesar. Bagaimana cara membakar habis keinginan? Dengan jalan tidak memberikan asupan sama sekali. Keinginan akan habis seiring dengan habisnya objek-objek itu.

Sehingga, mereka yang menginginkan kebahagiaan berupaya untuk mengerem keinginannya. Namun, banyak yang meragukan teknik spiritual ini. Api yang tidak mendapat bahan bakar tampaknya saja padam, namun sejatinya tidak pernah padam. Api tetaplah api. Jika tidak dipantik oleh bahan bakar, ia berada dalam posisi latennya. Jika dipantik, maka api itu memanifestasi. Demikian juga keinginan tidak bisa dibunuh hanya dengan cara menghilangkan objek-objeknya. Keinginan itu adalah nature dari pikiran. Sepanjang pikiran ada, maka keinginan akan tetap ada. Melakukan tapa atau membatasi keinginan sampai tingkat ekstrem sebenarnya tidak ditujukan untuk membunuh keinginan, namun teknik untuk mengenali cara kerja keinginan itu sendiri.

Dengan mengenal nature keinginan, maka kita akan lebih bersahabat dengannya. Mengenal nature-nya akan memudahkan kita melakukan identifikasi, bahwa kita bukanlah keinginan. Jadi, persoalan terbesar manusia bukan pada keinginan itu, sebab by nature memang seperti pengandaian di atas. Setelah punya motor, maka ingin punya mobil, setelah ada mobil, ingin punya pesawat, dan seterusnya. Itu adalah nature dari keinginan dan kita tidak bisa berbuat apa-apa tentang itu. Siapapun tidak memiliki kuasa atas itu. Lalu, bagaimana caranya melepaskan diri dari keinginan, sebab suka dan duka kita ditentukan oleh keinginan ini? Melepaskan diri bukan berarti membunuhnya. Teks di atas telah dengan jelas dan tegas mengandaikan itu. Lalu, agar kita bahagia gimana? Teks-teks Vedanta dengan tegas menyatakan bahwa identitas sejati kita adalah sat cit Ananda. Kita adalah kebahagiaan itu sendiri. Keinginan hanyalah awan yang datang dan pergi. Kita tidak bisa mengusir awan itu terus-menerus agar langit tampak. Apa yang bisa dilakukan?  Satu-satunya cara adalah kita mesti mampu mengidentifikasi diri sebagai langit. Kita adalah langit itu sendiri. *

I Gede Suwantana

Komentar