nusabali

Tumbal Rare, Juara 1 Ogoh-Ogoh Denpasar Berkat Pertahankan Akar Tradisi

  • www.nusabali.com-tumbal-rare-juara-1-ogoh-ogoh-denpasar-berkat-pertahankan-akar-tradisi
  • www.nusabali.com-tumbal-rare-juara-1-ogoh-ogoh-denpasar-berkat-pertahankan-akar-tradisi
  • www.nusabali.com-tumbal-rare-juara-1-ogoh-ogoh-denpasar-berkat-pertahankan-akar-tradisi

DENPASAR, NusaBali.com – Tahta ogoh-ogoh Kota Denpasar berpindah ke Kecamatan Denpasar Barat secara mengejutkan. Di mana, nominasi terbaik dua di kecamatan ini berhasil keluar menjadi yang terbaik dari yang terbaik pasca penilaian final pada Kasanga Fest, Sabtu (18/3/2023) lalu di Catur Muka.

Ogoh-ogoh bertajuk Tumbal Rare karya ST Dwi Putra, Banjar Tegal Agung, Desa Pemecutan Kelod itu memang memiliki daya tarik tersendiri. Walaupun jauh dari kata ‘canggih’ seperti tren penggunaan mesin hidrolik kekinian, Tumbal Rare keukeuh memegang teguh akar tradisi.

Kata AA Bagus Suendra Diputra, 20, sang undagi (arsitek), penggarapan Tumbal Rare menelisik kembali keberadaan awal ogoh-ogoh di Denpasar Barat melalui wejangan sesepuh dan budayawan.

Dikatakan bahwa ogoh-ogoh pada kala itu adalah sesuatu yang nyodog (diam) dan untuk atraksi ogah-ogahan (digoyangkan). Hal ini berawal dari palebon (ngaben) raja-raja Puri Agung Pemecutan.

“Kami ingin mempertahankan akar tradisi yang memang sudah ada di wilayah ini. Di mana pada saat itu belum dikenal istilah ogoh-ogoh tetapi leluhur kami sudah membuat karya yang sekarang disebut ogoh-ogoh. Karya-karya itu digunakan untuk rangkaian palebon Puri Agung Pemecutan,” ujar pemuda yang akrab disapa Gunggus Adi, Jumat (25/3/2023) malam.

Dikarenakan para sesepuh sekaligus pelaku sejarah pembuatan ogoh-ogoh menjelaskan bahwa pada kala itu ogoh-ogoh memang nyodog dan untuk ogah-ogahan maka dua prinsip ini dipertahankan. Berangkat dari hal ini, Tumbal Rare yang menggambarkan seorang dalang dibuat duduk diam namun memiliki karakter kuat pada wajah dan filosofinya.

Jelas Gunggus Adi, Tumbal Rare digarap setelah di Kota Denpasar kembali marak terdengar kasus pembuangan orok bayi. Sebagai warga kota, ia pun menyayangkan hal-hal semacam ini masih terjadi.

Lantaran dipicu kasus-kasus orok ini, Gunggus Adi teringat budaya di luar Bali yakni keberadaan istilah tuyul yang dijadikan alat pesugihan. Akan tetapi, konotasi tuyul di Bali berbeda jauh. Bukan untuk pesugihan melainkan sebagai penjaga rumah apabila roh jasadnya mampu dihidupkan kembali.

Foto: Gunggus Adi, undagi Tumbal Rare. -WAYAN

Setelah berkonsultasi dengan sesepuh dan budayawan, ditemukan dua sastra yang sesuai yakni Wariga Kala-Kala dan Kanda Pat Garba. Di mana, jasad bayi yang tidak diperlakukan dengan baik bisa dihidupkan kembali oleh seorang dalang. Sebab, dalang biasanya mempelajari Wariga Kala-Kala yang mampu mengetahui lahir-mati seseorang.

“Jasad bayi yang dihidupkan rohnya dan badan kasarnya diupacarai dengan laik oleh Jero Dalang, akan berterima kasih dengan cara menjaga lingkungan rumah yang menghidupkannya. Namun, roh bayi ini akan berubah menjadi bhutakala dan mengganggu orangtua yang membuang mereka,” ungkap Gunggus Adi.

Roh bayi yang sudah ‘dikendalikan’ biasanya digambarkan sebagai anak kecil berkalung bekal berisi tali pusar. Selain itu, roh bayi yang sudah dihidupkan oleh dalang juga digambarkan menggunakan kamen mabulet ginting (menyerupai popok) dengan peniti di bawah pusar.

Akan tetapi, roh orok bayi yang dibuang begitu saja dan tidak disentuh oleh siapa pun akan berwujud telanjang dan suka usil. Sebab, empat saudara niskala atau nyama pat yang diajak lahir seperti yang tercatat dalam Kanda Pat Garba akan tetap berada di dunia lantaran tidak diupacarai.

Kedua komponen filosofis ini digambarkan secara apik melalui dua kelompok figur yakni jero dalang dan tumbal rare yang berjumlah empat. Jero dalang digambarkan sebagai sosok paruh baya sedang berkapur sirih sembari memegang kayon (gunungan). Figur jero dalang divisualisasikan setinggi 3,8 meter dan sedang duduk di atas kursi sembari menyilangkan satu kakinya.

Papar Gunggus Adi selaku undagi, konstruksi ogoh-ogoh ini sepenuhnya menggunakan kayu. Khusus untuk figur jero dalang memakai tiga kayu usuk kamper berukuran 4 x 6 cm. Sementara itu, kulit badan dan wajah dalang tambun ini dibuat sangat realis menunjukkan tekstur kulit dan kerutan wajah yang terlihat sangat nyata, termasuk tahi lalat, gigi, dan rambutnya.

Foto: Detail wajah jero dalang yang dibuat realistik. -WAYAN

“Untuk membuat tekstur kulit yang terlihat nyata itu kami menggunakan tisu wajah sebanyak 8 pak yang ditempel setelah anatomi badannya terbentuk. Sedangkan wajahnya kami gunakan terracotta clay sebanyak 2,5 kilogram dan rambutnya memakai serat rambut sintetis,” jelas putra dari undagi bade, AA Ngurah Alit Suendra.

Menariknya, karakter figur dalang lengkap dengan aksesoris dan sabuk bekel ini terinspirasi dari gerak-gerik tokoh dalang di dunia nyata. Gunggus Adi mengaku terinspirasi dari beberapa tokoh dalang di Kota Denpasar, satu di antaranya adalah Guru Anom, budayawan dan tokoh adat Kesiman, Denpasar Timur.

Di samping itu, tumbal rare atau sosok tuyul sengaja dibuat empat untuk menggambarkan nyama pat yang lahir bersama manusia. Keempat tuyul ini digambarkan dengan gerak-gerik berbeda-beda untuk memperkuat karakternya memang suka usil.

Tiga dari empat tuyul digambarkan sebagai sosok yang usil seperti mengintip kamen dalang, mencuri tongkat yang ternyata terlalu berat, dan hendak mengambil kayon yang dipegang dalang. Sedangkan satu lagi dibuat sedang menangis meratapi perilaku orangtua yang membuangnya.

“Ogoh-ogoh ini kami buat dengan maksud memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa ada konsekuensi dari tindakan yang sudah diperbuat. Selain itu, penekannya adalah apabila berani berbuat maka perbuatan itu hendaknya berani dipertanggungjawabkan,” tegas Gunggus Adi.

Pesan mendalam dalam ogoh-ogoh ini bahkan mampu menggugah Walikota Denpasar IGN Jaya Negara untuk mengupacarai orok bayi yang ia selamatkan di Jalan Padma, Kelurahan Penatih. Pada penilaian final Kasanga Fest, Sabtu (18/3/2023) lalu itu pula, Tumbal Rare juga mencuri perhatian saat parade.

Saat parade, ST Dwi Putra mendandani penyandang ogoh-ogoh dan sekaa baleganjur anak-anak selayaknya tuyul yakni gundul, telanjang dada, dan memakai kamen mabulet ginting. Hal ini pun tidak terlepas dari akar tradisi bahwa di masa lalu, giat menyandang arak-arakan memang bertelanjang dada dan mengenakan kamen mabulet ginting.

Gunggus Adi percaya, segala aspek yang ditampilkan dalam ogoh-ogoh dan kekompakan ST Dwi Putra saat parade menjadi komponen yang mendukung keunggulan ogoh-ogoh Tumbal Rare. Tentu, ia juga percaya setiap ogoh-ogoh yang sudah masuk 12 besar Kota Denpasar memiliki keunikan dan kelebihan tersendiri di mata para juri.

Foto: Wah Kana, Wakil Ketua ST Dwi Putra. -WAYAN

Sementara itu, AA Aditya Perdana Putra, 27, Wakil Ketua ST Dwi Putra membeberkan ketidakpercayaannya dengan hasil yang diperoleh. Kata pemuda yang akrab disapa Wah Kana, Tumbal Rare hanya menghabiskan dana Rp 13 juta dan baru mulai digarap pertengahan Februari namun bisa menduduki posisi puncak dengan hadiah Rp 50 juta dari Pemprov Bali.

“Kami awalnya berencana tidak membuat ogoh-ogoh karena satu dan lain hal, terutama soal pembiayaan. Namun, berkat semangat dan kekompakan anggota, Tumbal Rare berhasil dibuat dan memberikan hasil yang begitu maksimal,” tutur Wah Kana, dijumpai dalam kesempatan yang sama di Bale Banjar Tegal Agung, Jalan Imam Bonjol nomor 56.

Yowana Jero Lanang Dawan Kanginan ini berpesan kepada juniornya bahwa masa bakti kepengurusannya bersama rekan-rekan akan segera berakhir. Ia berharap hasil yang sudah diperoleh mampu dipertahankan untuk gelaran pada tahun berikutnya sebab bagaimana pun mempertahankan juara jauh lebih sulit daripada memeroleh. *rat

Komentar