nusabali

Impor Pakaian Bekas Hancurkan Industri Pakaian

Asosiasi Tekstil Minta Keringanan Bunga

  • www.nusabali.com-impor-pakaian-bekas-hancurkan-industri-pakaian

DENPASAR, NusaBali
Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Bali meminta keringanan, salah satunya tingkat suku bunga bank, agar dapat meningkatkan daya saing guna menghadapi impor pakaian bekas.

“Impor pakaian bekas ini mendisrupsi pasar lokal,” kata Ketua API Bali Dolly Suthajaya, di Denpasar, seperti dilansir Antara, Senin (20/3).

Ia mengharapkan tingkat suku bunga bank untuk industri tekstil ditekan hingga enam persen dari bunga saat ini yang dinilai masih tinggi kisaran 11-12 persen.

Tingkat bunga bank, kata dia lagi, menjadi salah satu bagian yang membentuk Harga Pokok Produksi (HPP), selain biaya komponen bahan baku, tenaga kerja hingga operasional lain seperti listrik dan transportasi.

Industri tekstil, kata dia, merupakan industri padat karya dengan memberdayakan banyak tenaga kerja, berorientasi ekspor dan mendorong kreativitas.

“Baju bekas penuh di pasaran dikhawatirkan menghentikan kreasi dan produksi, juga mematikan industri kreatif di Bali,” ujarnya pula.

Di Bali tercatat ada 60 pelaku usaha tekstil yang tergabung dalam asosiasi, dan sebagian di antaranya berskala kecil. Pada sisi lain, kata dia lagi, pengusaha tekstil juga melaksanakan kewajiban membayar pajak termasuk membayar bea masuk untuk bahan baku pendukung tekstil dengan tarif yang tinggi, yakni sekitar 32 persen dari total nilai barang. Belum lagi biaya lain seperti sewa gudang hingga kewajiban untuk karantina.

Sedangkan, kata Dolly, impor pakaian bekas sesuai dengan namanya tidak memiliki nilai lagi dan tidak memberikan pemasukan kepada negara khususnya terkait pajak dan bea cukai ketika dibawa masuk ke Indonesia.

“Ekonomi siluman itu tidak jelas pajak impornya, itu harus diberantas atau dikenakan pajak tinggi supaya semua berkontribusi pajak,” katanya.

Padahal, kata dia pula, di sejumlah negara tidak menerima impor pakaian bekas karena terkait kesehatan lingkungan. Sehingga, pelaku yang bergerak di sektor pakaian bekas, justru meraup untung meski menjual dengan harga murah atau jauh di bawah HPP.

Di sisi lain, persoalan daya saing juga membuat sebagian produk tekstil Tanah Air justru belum merajai sejumlah pusat perbelanjaan, karena harus bersaing dengan produk dari Vietnam, China, dan Bangladesh.

Terpisah, Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menkop UKM) Teten Masduki mengatakan praktik impor ilegal pakaian bekas bisa menghancurkan industri pakaian dan alas kaki nasional serta nasib 1 juta tenaga kerja.

"Jika sektor ini terganggu, akan ada banyak orang kehilangan pekerjaan. Karena pada 2022, proporsi tenaga kerja yang bekerja di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dan alas kaki pada industri besar dan sedang (IBS) menyumbang 3,45 persen dari total angkatan kerja. Pelaku UMKM yang menjalankan bisnis pakaian mencapai 591.390 dan menyerap 1,09 juta tenaga kerja," kata Teten, di Jakarta, Senin.

Tak hanya itu, maraknya aktivitas impor ilegal pakaian bekas di Indonesia juga bisa mengganggu pendapatan negara. Menurut Statistik BPS pada tahun 2022, sektor Industri Pengolahan menyumbang 18,34 persen dari Produk Domestik Bruto menurut lapangan usaha harga berlaku, dengan Industri Pengolahan TPT berkontribusi sangat besar, yaitu Rp201,46 triliun atau 5,61 persen PDB. *

Komentar