nusabali

Menguak Cerita ‘Nyapa Kadi Aku’ dari Banjar Gaduh Sesetan

  • www.nusabali.com-menguak-cerita-nyapa-kadi-aku-dari-banjar-gaduh-sesetan

DENPASAR, NusaBali.com – Ogoh-ogoh ST Eka Laksana Banjar Gaduh Sesetan dengan nama ‘Nyapa Kadi Aku’ berhasil menduduki nominasi II terbaik di Kecamatan Denpasar Selatan. Lalu apa sebenarnya makna ‘Nyapa Kadi Aku’ pada ogoh-ogoh setinggi 3 meter tersebut?

Putu Sigit Gangga Bayu selaku undagi atau arsitek ogoh-ogoh ST Eka Laksana menyebutkan jika konsep ogoh-ogoh terinspirasi dari kejadian-kejadian di zaman sekarang di mana manusia mengedepankan sifat merasa paling pintar, paling benar, paling menonjol.

Karena egonya, dalam pepatah Bali seringkali disebut de ngaden awak bisa, depan anak’e ngadanin. Artinya lebih kurang  jangan merasa atau beranggapan diri pintar, biarkan orang lain yang menilai karena masih banyak hal yang harus dipelajari. 

Hal inilah yang membuat Sigit dapat gambaran untuk konsep ogoh-ogoh di tahun 2023 di mana ‘Nyapa Kadi Aku’ digambarkan sebagai sosok raja atau seorang pemimpin yang memiliki sifat galak, bengis, angkuh dan sombong. 

Dalam ogoh-ogoh Nyapa Kadi Aku ini terdapat lima karakter yakni tokoh utama adalah sang raja dan empat tokoh tukang pikul raja. Dengan menunjukkan berbagai ekspresi wajah, gerakan bentuk tubuh (anatomi) dan gerakan mesin. Hal ini menjadi satu kesatuan atau menjadi elemen dalam memvisualisasikan karya ogoh-ogohnya. 

Karakter raja atau pemimpin digambarkan bermata buta yang memiliki arti tidak bisa melihat situasi dan kondisi kerajaan yang sedang terjadi. Kupingnya ditutup, memiliki arti bahwa Sang Raja tersebut tuli. Dia tidak mau mendengarkan keluhan rakyatnya dan tidak mau tahu kesengsaraan rakyatnya.

Jari manis yang terpotong memiliki arti bahwa sang raja suka memberikan janji manis akan tetapi tidak pernah ditepati. Sag Raja membawa tongkat komando mempunyai arti untuk menutupi kekurangan/kecacatan yang dia miliki, karena tongkat komando tersebut dapat terlihat seperti pemimpin.

Wajah yang bengis mengambarkan bahwa raja merupakan pemimpin yang tidak mau bertanggung jawab dan hanya bisa galak dan marah-marah terhadap keadaan yang terjadi. 

Pada tukang pikul terdapat berbagai ekspresi wajah yang mengambarkan sudah tidak sanggup lagi dengan kekuasaan Sang Raja. Sudah ingin melawan akan tetapi dia hanya sebagai rakyat biasa. Dan ekspresi duka yang mendalam juga dapat terlihat dari wajah tukang pikul teresbut.

Tidak hanya itu, pada tokoh tukang pikul terdapat ekor yang memiliki arti ngekor (ikut-ikutan) tanpa tahu arah tujuan yang jelas. 

Dengan dikombinasikan warna gelap antara raja dan tukang pikul memiliki arti bahwa di sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja, bahwa keadaan tersebut sedang hancur, makanya divisualisasikan dengan warna gelap yang mengambarkan kehancuran dan kesedihan yang mendalam. 

Untuk gerakan kepala raja yang dikombinasikan dengan mesin terdapat sebuah arti yakni Sang Raja sebagai pemimpin tidak percaya diri atau ragu dalam mengambil keputusan, makanya gerakan kepala sengaja dibuat dengan gerakan kepala terputus-putus. 

Budget ogoh-ogoh berada di kisaran Rp 30 juta hingga Rp 40 jutaan. Namun secara total, biaya ogoh-ogoh yang meliputi  konsumsi, pakaian tarian-tarian dan persiapan lainnya hingga malam pengerupukan menelan budget Rp 70 juta. 

Sementara itu terkait kerumitan ogoh-ogoh ini, Sigit menyebut ada pada bagian penyetelan  mesin untuk gerakan ogoh-ogoh. Serta bagian terumit lainnya yakni pada bagian pembuatan aksesoris karena menggunakan biji-bijian dan bahan ramah lingkungan lainnya. Hal ini  berbeda dengan aksesoris atau payasan yang dibuat dengan tatahan yang di-prada emas. 

Untuk mesin, pengerjaan dipercayakan kepada Budux Costum, salah satu anggota ST Eka Laksana yang berkecimpung di dunia mesin atau teknisi. Budux Costum sendiri merupakan teknisi mesin yang sudah berpengalaman khususnya di bidang ogoh-ogoh.  

Untuk ogoh-ogoh di Banjar Gaduh rencananya akan di-pralina (dibakar). “Kalau dijual kurang sreg. Sebaliknya jika dibakar maka kenangannya cukup menjadi kenangan bersama ST Eka Laksana,” kata Sigit yang menjadi undagi di banjar setempat sejak 2022.

Dengan dibakar, lanjut Sigit, sifat-sifat buruk yang digambarkan pada ogoh-ogoh lenyap. 

Terkait kembali memperoleh juara II di Kecamatan Denpasar Selatan, Sigit mengaku merasa bangga dan puas atas apa yang diperolehnya. Tahun lalu karyanya berjudul ‘Kebanda gering’ menjadi juara II se-Denpasar Selatan dan Juara I se-Desa Sesetan. “Usaha tidak akan menghianati hasil,” kata Sigit. *m03

Berita ini merupakan hasil liputan Ngurah Arya Dinata, mahasiswa Praktek Kerja Lapangan di NusaBali.com

Komentar