nusabali

Kaja Kelod, Kangin Kauh

  • www.nusabali.com-kaja-kelod-kangin-kauh

Kaja, kelod, kangin, dan kauh adalah empat arah mata angin. Secara harafiah, masing-masing menujuk arah utara, selatan, timur, dan barat.

Prof Dewa Komang Tantra MSc PhD

Pemerhati Masalah Sosial dan Budaya

Dalam peradaban Bali, ke-empat posisi referensial tersebut dimaknai secara berbeda. Umumnya, orang Bali memaknai kaja sebagai gunung, dan selatan sebagai laut. Sehingga, orang Bali Selatan menunjuk kaja ke arah gunung yang terletak di utara. Sebaliknya, orang Buleleng menunjuk kaja ke arah gunung yang letaknya di selatan. Sedangkan lawan arahnya adalah selatan atau kelod yang bermakna laut. Jadi orang Bali Utara menunjuk arah laut yang ada di pantai utara. Sedangkan orang Bali Selatan, menunjuk arah selatan untuk laut.

Krama Hindu Bali sangat percaya bahwa kaja-kelod merupakan bagian sacral. Konsep mistis kaja-kelod juga terefleksi di dalam penempatan bangunan rumah. Hal-hal yang bersifat suci biasanya diletakkan di bagian kaja, sedangkan hal-hal yang biasa diletakkan di bagian kelod. Secara kosmologi Hindu, gunung dan laut bagi orang Hindu Bali  merupakan sebuah tempat yang bersifat mistis. Terdapat tempat-tempat pemujaan terkenal di Bali berada di gunung dan di laut. Misalnya, Pura Pulaki, Pura Batukaru, Pura Uluwatu, dan terutama Pura Besakih yang terletak di kaki Gunung Agung.

Konsep mistis kaja-kelod juga terefleksi di dalam penempatan bangunan rumah atau pura desa. Hal-hal yang bersifat suci diletakkan di bagian kaja, sedangkan hal-hal yang biasa diletakkan di bagian kelod. Pura keluarga biasanya ditempatkan di bagian kaja, sedangkan rumah tempat tinggal di bagian kelod. Dalam konteks pura desa yang bersifat kahyangan tiga kita dapat melihat bahwa Pura Desa diletakkan di arah kaja sedangkan pada arah laut diletakkan Pura Dalem (pura yang berhubungan dengan kuburan dan kematian).

Secara perlahan, konsepsi kaja-kelod merambat ke suatu perkembangan yang paradoksal. Secara religius, kaja dikonsepsikan sebagai sesuatu yang sakral. Bersamaan dengan itu, gunung dianggap statis dan kurang maju secara sosiologis. Sehingga, sebutan sebagai orang desa atau gunung bermakna orang yang statis, kurang maju, lambat loading, dan sebagainya. Sedangkan, sebutan orang kota dimaknai sebagai suatu kemajuan, modern, dinamis, dan sekuler. Implikasinya, apa-apa yang berbau gunung atau desa dialihkan ke kota. Dulu ibukota provinsi dari Bali Utara dipindah-alihkan ke Bali Selatan. Perumahan atau tempat penjualan dibangun di pinggir jalan. Alasannya adalah kemudahan akses, walau merusak alam nan asri. Sepanjang jalan di pulau Dewata disesaki oleh warung ikan bakar, nyat-nyat ikan gurami, bakso Solo, atau luluh sate. Pemandangan sepanjang jalan penuh dengan warung dan bangunan yang jauh dari kebudayaan orang Bali.

Kaja-kelod berantonim dengan suci-profan. Sedangkan, kangin-kauh bermakna interpersonal non transaksional. Krama Bali dikenal sangat guyub dengan sesamanya.  Waktu luang diisi dengan interaksi non transaksional, yaitu: tidak ada topik khusus yang dibicarakan atau tidak ada suatu tujuan pembicaraan yang ingin dicapai. Bila mereka ditanya, maka jawabannya ‘ngobrol kangin kauh’, banyak hal yang diomongkan tetapi hanya sekadar omong-omong. Tidak terbersit tujuan khusus yang ingin dicapai atau tidak ada posisi tertentu yang ingin diletakkan. Implikasi dari pembincangan kangin-kauh ini adalah persaudaraan, kedekatan atau relaksasi. Kangin-kauh sering juga dimaknai sebagai ketidak-jelasan topik, latar, partisipan, saluran, dan tujuan. Kalau ada pertanyaan, apa yang dibicarakannya? Jawabannya, ‘kangin kauh, tidak jelas tujuan maupun maknanya. Arah mata angin yang lugas berubah menjadi sesuatu yang transaksional. Itulah kenyataan suatu kehidupan yang dinamis. *

Komentar