nusabali

Wakili Denpasar, Kelian Adat Kedaton Sumerta Adijayanti Pidarta Bulan Bahasa Bali

  • www.nusabali.com-wakili-denpasar-kelian-adat-kedaton-sumerta-adijayanti-pidarta-bulan-bahasa-bali

DENPASAR, NusaBali.com – Kelian Adat Banjar Kedaton, Desa Adat Sumerta, Denpasar Timur berhasil menyabet adijayanti dalam wimbakara Pidarta Bendesa serangkaian Bulan Bahasa Bali di Taman Budaya Bali Denpasar pada Selasa (21/2/2023).

Kelian Adat Banjar Kedaton Made Sudiatmika, 36, tidak menyangka bahwa dirinya berhasil mengoleksi poin tertinggi yakni 233,30. Poin ini mengungguli wakil Gianyar dengan jumlah poin 232,15 dan wakil Karangasem dengan total poin 229,95.

Sudiatmika dan dua wakil kabupaten lain menjegal ambisi Kabupaten Badung untuk memeroleh hattrick dalam wimbakara ini. Sebab, wakil Badung mendominasi bidang lomba ini selama dua tahun berturut-turut.

“Awalnya saya tidak mau ikut lomba ini. Tetapi setelah dijalani, memang menyadarkan saya bahwa budaya dan kemampuan mapidarta ini harus dilestarikan sebagai basic budaya Bali,” ujar Sudiatmika ketika dijumpai usai pengumuman juara.

Wakil tuan rumah yang berlomba di wilayah kampung halaman sendiri ini mengaku tidak memiliki latar belakang skill mapidarta. Sudiatmika hanya mempelajari pidarta baru-baru ini melalui YouTube dibimbing pembina.

Namun sebagai tokoh adat, secara alamiah skill ini digunakannya untuk memimpin krama dalam berbagai kesempatan.

Akan tetapi, pidarta praktikal dengan pidarta yang dilombakan sangat berbeda lantaran dibatasi uger-uger (kaidah). Kata Sudiatmika, momentum mengasah diri dalam pidarta dengan uger-uger ini menjadi kesempatan baginya memperdalam Bahasa Bali oratoris.

Foto: Wakil Denpasar Sudiatmika (paling kiri) di antara jayanti lain. -NGURAH RATNADI

“Saya kira pencapaian ini tidak terlepas dari kaderisasi di Denpasar karena kami benar-benar diseleksi dari bawah dari tingkat desa adat hingga ke tingkat kota,” terang tokoh adat milenial ini.

Sudiatmika mengungkapkan, sebelum lolos sebagai wakil Denpasar, pria berbadan tegap ini harus berhadapan dengan 49 peserta lain di tingkat kota. Imbuhnya, mungkin karena proses seleksi yang bertahap ini membuat kaderisasi di ibukota lebih baik.

Sementara itu, perwakilan dewan juri, AA Gede Alit Geria, 59, menuturkan ada beberapa kriteria yang dinilai juri. Beberapa di antaranya adalah sikap, kesesuaian tema, penguasaan materi, dan gaya bahasa.

Akademisi Universitas PGRI Mahadewa Indonesia ini menegaskan bahwa secara umum penampilan dari delapan peserta sudah sangat baik. Sebab, secara alamiah para peserta ini sudah memiliki kemampuan mapidarta saat memimpin krama dalam panca yadnya.

Bendesa dan kelian adat sehari-harinya memang sudah biasa memimpin krama misalnya saat ngaluku (acara pernikahan) ataupun memimpin pelaksanaan panca yadnya pasti bendesa yang berbicara,” ujar Alit Geria, dijumpai usai perlombaan.

Namun, pidarta kali ini berupa wimbakara alias lomba maka ada batasan-batasan tertentu seperti waktu dan kriteria penilaian. Selain itu, hampir sebagian besar peserta sudah menerapkan dialektika standar hanya saja pada satu atau dua kata masih terjadi ‘keseleo’ lidah.

Terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang ditampilkan setiap peserta, akademisi Sastra Bali, Jawa Kuno, dan Sanskerta ini mengingatkan esensi wimbakara ini adalah pelestarian Bahasa Bali. Kata Alit Geria, Bahasa Bali adalah roh kebudayaan dan agama Hindu di Pulau Dewata.

“Bahasa Bali adalah identitas krama Bali, juga wahana ajaran Hindu. Karena lontar yang ada saat ini kebanyakan ditulis dalam Bahasa Bali diikuti Bahasa Jawa Kuno (Kawi) dan Sanskerta,” tandas akademisi asal Gianyar. *rat

Komentar