nusabali

Seru dan Unik! Tradisi 'Siat Sarang' di Karangasem, Perang Bersenjatakan Alas Bekas Jaja Uli

  • www.nusabali.com-seru-dan-unik-tradisi-siat-sarang-di-karangasem-perang-bersenjatakan-alas-bekas-jaja-uli

AMLAPURA, NusaBali.com – Jika di Desa Adat Duda ada tradisi Siat Api, maka Desa Adat Selat di kabupaten yang sama, Karangasem, juga memiliki tradisi unik yaitu  Siat Sarang. Tahun ini, gelaran tradisi ini kembali digelar di Catus Pata Desa sebelah utara Pura Bale Agung, Desa Adat Selat, Karangasem pada Minggu (19/2/2023) sore.

Menurut Jero Kelian Ngukuhin Desa Adat Selat, Jero Mangku Wayan Gede Mustika, ritual ini dilaksanakan secara turun-temurun oleh para leluhurnya. Tradisi ini digelar setiap satu tahun sekali  menjelang upacara Ngusaba Dimel. Ritual ini merupakan simbol memerangi Bhuta Kala atau kekuatan jahat yang ada pada diri manusia.

“Tiga hari sebelum ngusaba dimel dilaksanakan petabuhan dan salah satu runtutannya adalah melakukan pecaruan di tiga lokasi, perempatan sisi utara, perempatan tengah, kemudian perempatan sisi kelod (selatan, Red) salah satu kegiatan yang merupakan aci pokok, runtutannya adalah melaksanakan tradisi siat sarang,” ujar Jero Mangku Wayan Gede Mustika.

Tradisi ini juga merupakan bentuk syukur warga Desa Adat Selat kepada sang pencipta atas hasil panen yang melimpah. Selain itu, tradisi Siat Sarang juga sebagai simbol melepas dan membersihkan sad ripu yang masih ada dalam tubuh, agar nantinya dalam proses Ngusaba Dimel bisa berjalan lancar. 

Ia juga menuturkan, tradisi ini harus dilakukan, jika tidak dilaksanakan maka hasil panen tidak akan baik.

“Tradisi ini harus dilakukan, kalau tidak dilakukan hasilnya tidak akan baik di samping juga akan terkena hama. Sebagai rasa syukur dan bagaimana mengelola sawah atau hasil bumi lainnya agar terpelihara baik sekala dan niskalaSekala dengan cara mengelola tanah agar tetap subur, niskalanya mengaturkan aci-aci ini,” tuturnya.

Bendesa Adat Selat menjelaskan, sarang yang digunakan merupakan tempat alas pembuatan jaja (jajan, Red) Bali untuk Ngusaba Dimel. Di mana sebelumnya digunakan di upacara pada masing-masing depan rumah warga.

Setelah itu dikumpulkan di pertigaan desa, selanjutnya kembali diupacarai di Balai Agung sehingga pengendalian diri keluar dan kemudian dilepas melalui tradisi siat sarang. Bukan sekadar memanjatkan doa, tetapi juga untuk melestarikan tradisi dan budaya yang diwariskan leluhur.

“Sarang itu berasal dari daun enau yang dianyam menyerupai sarang. Sebelum dipakai sarang itu dipakai untuk mempersiapkan piranti upacara yakni jaja uli. Ini adalah pokok piranti yang harus digunakan,” jelasnya.

Tepat pukul 17.00 Wita, puluhan pemuda desa adat dari 18 banjar Desa Adat Selat yakni Banjar Sila Sesana, Guna Karya, Eka Dharma, Sila Darsana, Darma Saba, Sida Karya, Sida Krama, Sila Dharma, Telengis, Sukawana, Dharma Karya, Paruman Griya Celit, Sila Dumi, Wana Sari, Parigraha, dan Banjar Gunung Sari memadati lokasi tradisi siat sarang.

Seluruh krama pun berkumpul dan saling lempar sarang yang terbuat dari daun enau. Uniknya, seluruh pemuda yang mengikuti tradisi ini bertelanjang dada alias tanpa busana atas. Namun, suasana adat Bali terlihat kental dengan kain saput Bali yang dikenakan para pemuda.

Sebanyak 18 krama akan dibagi menjadi dua kelompok yakni Selat Kaja dan Selat Kelod. Instruksi untuk mulai berperang diberikan langsung Kelian Desa Pakraman Selat, Jero Mangku Mustika. 

Sesaat sebelum kedua kelompok teruna saling serang, Jero Mangku Mustika mengingatkan mereka agar bersemangat mengusir sifat-sifat bhuta kala yang melekat di dalam diri. Aturannya pun, para krama tidak boleh memegang sarang tersebut melainkan dilepas atau dilemparkan kepada lawan.

“Kriteria yang umumnya krama yang terlibat di sini para yowana atau tenaga muda. Tujuannya adalah jiwa muda emosi rasa egois masih sangat rentan. Sehingga dilaksanakan oleh yowana agar dituntun agar bisa penggalian diri,” katanya.

Ada tiga ronde pada perang sarang ini. Ronde pertama serangan antara kelompok dari utara dan selatan, serangan kedua dari barat dan timur, sementara serangan yang terakhir adalah penyirang dari barat laut ke timur laut.

“Para warga sangat antusias dengan adanya tradisi ini, karena ini merupakan runtutan aci    kita bersyukur ke hadapan Beliau yang memberikan sinar sucinya sehingga krama sangat antusias. Saya selalu menekankan kepada yowana agar tradisi adat dan budaya kita harus dilestarikan dan dijaga,” pungkasnya. *ris

Komentar