nusabali

Sulitkan Konsumen, DMSI Tak Sepakat Beli Minyakita Pakai KTP

  • www.nusabali.com-sulitkan-konsumen-dmsi-tak-sepakat-beli-minyakita-pakai-ktp

JAKARTA, NusaBali
Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) tak sepakat jika konsumen yang ingin membeli minyak goreng curah merek Minyakita harus menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP).

Plt Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Sahat Sinaga menilai aturan ini justru mempersulit konsumen.
Sahat mengatakan, dari pada harus memperumit konsumen dalam mendapatkan kebutuhannya akan Minyakita, lebih baik pemerintah melarang ritel modern menjual Minyakita.

"Jangan jual melalui pasar modern, jadi tidak perlu pakai KTP seperti yang diusulkan Mendag Zulhas itu terlalu ribet. Jual saja semua Minyakita melalui pasar tradisional," kata Sahat dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (7/2) dilansir kompas.com.

Sahat juga mengimbau agar masyarakat menengah ke atas yang biasa mengonsumsi minyak goreng premium untuk tidak beralih ke Minyakita.

Terkait kelangkaan MinyakKita, DMSI mendorong pemerintah agar menunjuk Perum Bulog sebagai distributor minyak goreng kemasan rakyat (MGKR) merek Minyakita demi menghindari kelangkaan pasokan.  Sebab jika dilakukan swasta maka rentan terjadi permainan dan sulit dikendalikan.

"Penyaluran distribusi minyak curah itu diminta dengan hormat dilakukan oleh pemerintah supaya terkontrol, dilakukan oleh Bulog. Nggak usah 100 persen, 60-70 persen mereka yang kontrol, itu pasti aman," kata Sahat.

Terlebih, menurutnya, Indonesia bukan negara kecil. Artinya, dengan jangkauan yang tidak mudah, Bulog bisa memiliki peran yang lebih signifikan. Sebab, keberadaan Bulog sudah menyebar di seluruh negeri bahkan berada hampir di 300 kabupaten/kota.

Ia pun mengkritik masuknya Minyakita ke dalam gerai ritel modern. Menurut Sahat, pemerintah punya kecenderungan untuk tidak neko-neko dalam pendistribusian Minyakita, sebab diawasi oleh lembaga lain seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Jangan distribusi diserahkan pada swasta, apalagi minyak subsidi milik negara. Biar pemerintah yang mengurus (distribusi) dari produsen," ucapnya.

Selain itu, DMSI mengungkapkan salah satu faktor mengapa Minyakita langka karena seretnya ekspor produk sawit ke luar negeri. Pasalnya, selama ini margin ekspor lah yang menutup kerugian produsen tiap kali membuat Minyakita.

"Saya menduga mereka enggak produksi MinyaKita karena nggak ada cuannya di ekspor. Mereka tidak produksi karena nggak ada cuan untuk tutupi kerugian," kata Sahat dikutip dari CNNIndonesia.com.

Sebagai gambaran, Sahat memaparkan simulasi yang ia buat. Rata-rata distribusi minyak goreng dari pabrik dan sampai ke konsumen membutuhkan biaya Rp3.000. Namun, dengan HET yang ada sekarang, produsen harus menanggung kerugian Rp2.600 untuk minyak goreng curah dan Rp4.041 untuk minyak goreng premium.

Kerugian dari memproduksi minyak goreng untuk dalam negeri itu bisa ditutup dengan keuntungan ekspor. Pasalnya, margin atau keuntungan yang didapat dari ekspor CPO minimal US$38 atau Rp589 ribu (asumsi kurs Rp15.500) per ton.

Sementara saat ini, Sahat mengungkapkan para pengusaha memiliki 6 juta ton crude palm oil (CPO) yang menumpuk dan siap diproduksi. Namun, pengusaha enggan memproduksi sebab permintaan dari pasar global sedang lesu.
"Kenapa nggak diekspor? Di luar negeri lagi resesi," tuturnya.

Lebih jauh, saat ini tak ada insentif bagi pengusaha yang melakukan ekspor. Selain pasar global yang lesu, pengusaha mesti membayar US$142 atau Rp2,2 juta untuk pungutan ekspor dan bea keluar. Ia pun mengusulkan agar Kementerian Keuangan membekukan aturan bea ekspor untuk memantik gairah produsen melakukan ekspor CPO. *

Komentar