nusabali

Sejarah Barong Asu Pura Sada Pacung Blahkiuh, Berawal dari Tapel 'Glatak-gletek' di Pura Purusada Kapal

  • www.nusabali.com-sejarah-barong-asu-pura-sada-pacung-blahkiuh-berawal-dari-tapel-glatak-gletek-di-pura-purusada-kapal
  • www.nusabali.com-sejarah-barong-asu-pura-sada-pacung-blahkiuh-berawal-dari-tapel-glatak-gletek-di-pura-purusada-kapal

Pada awal-awal keberadaan barong asu ini, beberapa panjak mempercayai tapakan Ida Ratu Ngurah Agung sebagai medium penganugerahan tamba atau pengobatan.

MANGUPURA, NusaBali
Pura Sada di Banjar Pacung, Desa Adat Blahkiuh, Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Badung memiliki sasuhunan unik, yakni berwujud asu atau anjing.

Awal mula keberadaan barong asu ini dimulai dari tapel ‘glatak-gletek’ (telantar) di Pura Purusada Desa Adat Kapal. Barong asu yang maparab Ida Ratu Ngurah Agung ini dikatakan sebagai satu-satunya sasuhunan berwujud anjing di Bali. Klaim ini muncul ketika prajuru Banjar Adat Pacung tidak menemukan sasuhunan serupa.

Keserupaan sasuhunan barong asu ini dipastikan tatkala ratusan palawatan seantero Pulau Dewata berkumpul di Pura Luhur Pucak Kembar dan Pura Luhur Pucak Padang Dawa di Tabanan. Kelian Adat Banjar Pacung, I Made Wijaya,69, menuturkan 6 kepala keluarga krama Banjar Adat Pacung adalah panjak Puri Kapal. Keenam kepala keluarga itu diperintahkan oleh Kerajaan Mengwi sebagai induk Puri Kapal untuk mengisi lahan sisa di Banjar Adat Pacung pasca banjar itu dipindahkan dari wilayah Desa Selat saat ini. Karena merupakan panjak Puri Kapal, keenam kepala keluarga itu masih terikat pekerjaan di wilayah Desa Adat Kapal, Mengwi. Salah satunya adalah sebagai juru sapuh dan panyeruan di Pura Purusada.

Salah satu panjak inilah yang menemukan tapel asu telantar di kawasan tegak pura. “Ulah belog (karena ketidaktahuan), tapel itu diambil dan ditaruh di dalam keranjang sepeda bersama barang lainnya. Lantas dibawa pulang ke Pacung Blahkiuh, Kecamatan Abiansemal,” kata Wijaya ketika dijumpai belum lama ini di Pura Sada Pacung, Blahkiuh.

Dalam perjalanan ketika dibawa ke Banjar Adat Pacung ini, terjadi peristiwa di luar nalar. Sepeda yang dikayuh oleh salah satu krama Banjar Adat Pacung panjak Puri Kapal itu diikuti oleh setiap anjing yang dilewati sepeda. Sampai akhirnya, begitu banyak anjing mengiringi tapel asu tersebut menuju ke Banjar Adat Pacung yang merupakan exclave Desa Adat Blahkiuh.

Peristiwa magis ini terjadi antara akhir tahun 1950-an dan 1960-an. Sebab, Pura Sada Pacung Blahkiuh sendiri dipindahkan dari wilayah terdahulu pada tahun 1958. Sementara, barong asu tersebut ada di Pura Sada beberapa tahun setelah pura ini didirikan di wilayah yang baru.

Atas kejadian aneh tapi nyata itu, prajuru Banjar Adat Pacung bersama pamangku Pura Sada melaksanakan ritual mabaas pipis atau mabaos. Ritual ini untuk memohon petunjuk kepada niskala mengenai status tapel asu itu. Lewat ritual tersebut terjawab bahwa tapel asu tersebut sempat nyeraya (‘beraktivitas’ di malam hari) di beberapa tempat.

Spirit tapel ini pernah muncul di beberapa tempat mengikuti aliran Tukad Yeh Penet. Sungai ini adalah batas barat Banjar Adat Pacung dan melewati beberapa wilayah Desa Adat Kapal. Ketika memunculkan diri di beberapa tempat di sepanjang aliran sungai itu, tapel asu tersebut tidak dihiraukan atau tidak ada yang ngeh dan memungutnya. Sampai akhirnya muncul di kawasan tegak Pura Purusada Kapal, panjak Puri Kapal dari Banjar Adat Pacung itu yang melihat dan memungut tapel asu itu.

“Sejak saat itu tapel asu tersebut dipasupati kembali dan disungsung di palinggih pajenengan. Kemudian, raganya dibuatkan dan tapakan-nya digunakan yang baru namun dengan wujud yang sama persis, bahannya kayu pule,” ucap Wijaya yang juga mantan Kelian Dinas Banjar Pacung ini.

Pada awal-awal keberadaan barong asu ini, beberapa panjak mempercayai tapakan Ida Ratu Ngurah Agung sebagai medium penganugerahan tamba atau pengobatan.

Selain tamba, dipercaya juga sebagai penganugerahan taksu. Bahkan ada pragina yang menginapkan topeng Sidakarya di Pura Sada agar mataksu ketika ditarikan. Sayangnya, saat ini pemuka Pura Sada yang menekuni ilmu spiritual sudah berpulang dan tidak ada penerusnya. Oleh karena itu, praktik matamba dan taksu ini tidak dilaksanakan seperti dulu. Namun demikian, taksu dari barong asu sendiri masih cukup tajam seperti dulu.

Sebab, kata Wijaya yang akrab disapa Pekak Ririn, ketika Ida Ratu Ngurah Agung tedun malancaran (berkeliling), masih banyak anjing yang mengiringi. Bahkan ketika menuju ke wilayah induknya, yakni wilayah inti Desa Adat Blahkiuh, iringan barong asu disambut oleh banyak anjing ketika memasuki wilayah perbatasan.

“Beberapa kali palawatan Ida Bhatara sudah maodak (diperbaiki). Terakhir atau yang saat ini menggunakan kayu jepun karena di dalam pura ini dulu ada pohon jepun duwe (milik) pura,” ujar Pekak Ririn. Ida Ratu Ngurah Agung melengkapi tiga patapakan di Pura Sada Pacung Blahkiuh. Menariknya, kombinasi keempat patapakan ini menyimbolkan warna brumbun atau mancawarna.

Tiga patapakan lain adalah palawatan Ida Bhatara berwujud rangda untu lantang (bergigi tupai), barong bangkal, dan berwujud tokoh pewayangan yakni sangut. Barong asu sendiri merepresentasikan warna merah, rangda melambangkan warna putih, barong bangkal membawa warna hitam, dan patapakan sangut menyimbolkan warna kuning. Kata Pekak Ririn, perpaduan keempat warna ini disebut warna jangkep (lengkap).

Dilihat tari pakem menarikan, gerakan tarian barong asu terlihat berbeda dari barong ket pada umumnya yang lebih ‘ganas’. Gerakan khas barong berwujud anjing ini paling kentara dari tarian penari belakang yang cukup konstan menggoyangkan bagian belakang barong sehingga terus menggerakkan ekor di atasnya. *ol1

Komentar