nusabali

MUTIARA WEDA: Perlu Dibaca Ulang

Adhyapana madhyayanam yajanam yajnanam tatha, Danam pratigrahaccaiva sat karmanyagrajan manah. (Manavadharmasastra, 10.75)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-perlu-dibaca-ulang

Mengajar, belajar, berkurban untuk diri sendiri, melakukan kurban untuk orang lain, memberi dan menerima daksina adalah enam kewajiban seorang brahmana.

DI masa lalu, pemberlakuan varna sangat ketat. Kedudukan dan kewajiban orang harus berpatokan pada varna di mana dia dilahirkan. Garis di antara mereka sangat tegas dan tidak bisa ditukar. Melakukan kegiatan di luar varna kelahirannya adalah dosa besar. Seperti misalnya kisah Karna, karena dianggap bukan keturunan ksatria, meskipun dirinya berbakat dalam olah senjata, Rsi Bhisma tidak pernah menganggapnya dan bahkan Dronacharya juga menolaknya sebagai murid. Namun, seiring perkembangan zaman, praktik seperti ini tidak lagi relevan. Setiap orang dari keturunan mana pun, sepanjang mampu, bisa menjadi pendeta, pemimpin, pebisnis, dan yang lainnya. Posisi-posisi itu tidak lagi ditentukan berdasarkan keturunan, melainkan karena bakat dan kemampuannya.

Bahkan, saat ini oleh karena begitu bebasnya, maka kita tidak lagi mampu menentukan apakah orang itu tergolong brahmana, ksatria, vaishya atau yang lainnya. Seseorang menyatakan diri sebagai pengajar dan diangkat oleh negara sebagai tenaga pengajar. Jika dilihat dari jenis kewajibannya, maka ini tergolong Brahmana. Tetapi, dia memiliki kegiatan sampingan, seperti memiliki toko, kios, dan sejenisnya untuk berdagang. Kegiatan berbisnis ini tentu tergolong vaishya. Jika dia di satu sisi adalah pengajar dan di sisi lain adalah pebisnis, lalu apakah dia tergolong brahmana atau vaishya? Apakah dia varnanya ganda, brahman sekaligus vaishya? Demikian seterusnya. Jadi, teks rigid seperti di atas sepertinya sudah tidak relevan lagi, sebab saat ini orang bisa melakukan apa saja sesuai dengan kemauan dan kemampuannya. Mungkin di zamannya, pembagian kelas sangat berarti dalam mengatur kehidupan masyarakat, sementara di zaman lain, semua itu bahkan bertentangan. Profesi yang digeluti orang semakin berkembang dan cara memandang kehidupan sosial juga berubah.

Masalah profesi, di zaman ini banyak orang bergelut sebagai youtuber, designer, programmer, dan yang sejenisnya. Digolongkan ke dalam varna apakah mereka? Tentu relevansinya sudah out of date. Mungkin, yang masih bisa dipertahankan adalah masalah pernikahan karena alasan pemertahanan kemurnian gen. Dan, inipun sudah tidak lagi memiliki kekuatan dalam hukum nasional. Lalu, jika masalah varna sudah tidak relevan lagi diberlakukan, apa pentingnya belajar teks seperti di atas? Bukankah teks seperti di atas tampak sudah bertentangan dengan praktik yang ada di lapangan? Tentu, memang demikian adanya.

Namun, teks di atas adalah kitab suci yang pernah digunakan sebagai pegangan dalam mengatur kehidupan masyarakat selama ribuan tahun. Mungkin terjemahan praktisnya sudah tidak diperlukan lagi, tetapi dasar pemikirannya tentu tidak pernah lekang oleh zaman. Pondasinya adalah kebenaran, dan itu abadi. Di zaman itu terjemahan atas kebenaran itu adalah sistem varna yang rigid dan kaku. Seiring perubahan zaman, terjemahannya mengikuti konteks zamannya. Apa pondasi kebenaran yang diacu teks di atas dan bagaimana menerjemahkannya dalam konteks kekinian? Inilah tugas para acharya untuk menerjemahkan ulang kebenaran yang menjadi pondasi teks.

Secara mendasar, ada empat tipe orang berdasarkan guna dan karmanya. Ada orang yang guna-karmanya cenderung di kepala, di bahu, di perut, dan di kaki. Mereka ada yang sebagai pemikir, bela negara atau administrator, pebisnis, dan pembantu. Ratusan jenis profesi saat ini bisa dimasukkan ke dalam salah satu dari empat varna tersebut. Jika orang lebih banyak menggunakan pemikiran, maka dia tergolong brahmana, jika condong memimpin, menamajemen dan sejenisnya, maka dia adalah ksatriya, dan jika cenderung berpikiran ekonomis, dia tergolong vaishya. Ada memang golongan orang yang tidak memiliki kecenderungan dari ketiga itu. Mereka dari awal berniat menggantungkan diri pada orang lain, pada perusahaan, pada organisasi. Mereka adalah para pencari kerja. Ini kemudian disebut sudra. Dulu, keempat jenis golongan orang ini disusun secara vertikal. Namun, saat ini posisi mereka sama-sama kuat, sehingga horizontal. Perusahaan tidak akan jalan tanpa buruh, sehingga buruh dan pemilik usaha mesti sejalan. Demikian seterusnya. *

I Gede Suwantana

Komentar