nusabali

25.000 Krama Desa Adat Jimbaran Ngiring ke Pura Luhur Uluwatu, Panjang Barisan Sampai 3 Kilometer

  • www.nusabali.com-25000-krama-desa-adat-jimbaran-ngiring-ke-pura-luhur-uluwatu-panjang-barisan-sampai-3-kilometer

MANGUPURA, NusaBali.com – Prosesi upacara Pemargi Pamasupati Ngiring Sesuhunan Ida Bhatara Dewa Ayu Jimbaran Mesupati atau Mapinton ke Pura Luhur Uluwatu, Desa Pecatu, Kuta Selatan, Badung, pada Minggu (22/1/2023) pagi menjadi pemandangan yang unik setelah sekian lama tidak dilangsungkan gelaran tersebut.

Uniknya, gelaran upacara yang dilangsungkan oleh Desa Adat Jimbaran masih mempertahankan tradisi sejak dulu. Dimana penangkilan atau pamasupati dilakukan dengan berjalan kaki menuju Pura Luhur Uluwatu yang menempuh jarak sekitar 15 kilometer dan diikuti oleh 25.000 krama dengan panjang barisan krama hampir 3 kilometer.

Bendesa Adat Jimbaran, I Gusti Made Rai Dirga mengatakan pada tahun 1960 atau 1970an pihaknya pernah melakukan ngiring Sesuhunan Ida Bhatara Dewa Ayu Jimbaran dengan menggunakan truk. Tetapi justru tidak berhasil karena kondisi truk yang tidak bergerak saat itu. Akhirnya dengan kondisi itulah, kata Rai Dirga, masyarakat Desa Adat Jimbaran tetap ngundut Sesuhunan Ida Bhatara Dewa Ayu Jimbaran dengan berjalan kaki.

“Proses mapasupati sendiri sesungguhnya adalah proses penguatan permohonan kepada Ida Bhatara ring Pura Luhur Uluwatu agar selama Idha Betara ngadeg dan mesolah dalam rentang waktu 6 bulan ini Ida Bhatara ring Sesuhunan kita ini tetap sidha dan sidhi,” ujar Rai Dirga ketika ditemui seusai upacara pada Senin (23/1/2023) siang.

Lebih lanjut ia katakan Sidha memiliki arti sukses bisa menyelesaikan seluruh proses dengan baik dan sidhi artinya mumpuni. Secara bahasa paling lumrah yang digunakan oleh masyarakat Jimbaran sejak dulu pihaknya harus menyatakan nunas kala (memohon waktu, Red). Sehingga pihaknya memohon agar dapat diizinkan menggunakan waktu-waktu tertentu untuk Ida Bhatara menunjukkan ke sidhian beliau kepada masyarakat.
Pantangan lain bagi para krama yang mengikuti prosesi ini adalah tidak boleh mengenakan saput poleng (kain hitam putih, Red) dan sekar pucuk. Hal ini kata Rai Dirga sudah diketahui secara turun menurun oleh masyarakatnya. Sehingga saat ada pecalang yang mengenakan saput poleng mereka tidak bisa masuk ke dalam Pura Luhur Uluwatu dan harus menunggu di luar pura.

“Ini cerita yang tidak bisa kita ungkap secara gamblang, kita anggap sebagai tradisi. Untuk hal ini para penekun-penekun yang akan mengerti,” bebernya.

Prosesi upacara tersebut diawali dengan mapeed atau ngiring Sesuhunan Ida Bhatara Dewa Ayu Jimbaran Mesupati atau Mapinton dari Pura Ulun Siwi, Jimbaran menuju ke Pura Luhur Uluwatu pada pukul 06.45 Wita dan sampai di Desa Adat Pecatu pukul 09.15 Wita. 

Selama prosesi mapeed atau ngiring menuju Puru Luhur Uluwatu, terlihat sejumlah warga Jimbaran, Ungasan, dan Pecatu yang tidak ikut ngiring secara ikhlas memberikan bantuan berupa air minum atau pun buah kepada para krama yang sedang ngiring.  Sehingga para krama yang kehausan bisa mengambil air atau buah yang telah disiapkan oleh para warga.

“Ini sudah ada sejak dahulu, ketika informasi sudah diterima oleh masyarakat, mereka secara mandiri menyiapkan air mineral untuk bisa membantu krama yang ngiring. Kami sangat berterima kasih kepada masyarakat yang sudah membantu sehingga acara ini bisa berlangsung dengan baik,” ujarnya.

Setelah para krama sampai di Desa Adat Pecatu untuk beristirahat, pada sore harinya sekitar pukul 14.00 Wita dilanjutkan para krama berjalan kaki ke Pura Luhur Uluwatu. Lalu kembali ke Desa Adat Pecatu untuk melalukan pementasan Calonarang hingga pukul 03.00 Wita, Senin (23/1/2023) dini hari.

Upacara pun dilanjutkan kembali dengan berjalan kaki menuju Desa Adat Jimbaran pada pukul 05.30 Wita dan para krama sampai di Pura Ulun Siwi sekitar pukul 09.30 Wita.

“Perjalanan menuju Desa Adat Jimbaran memang sedikit lebih lama karena di setiap pertigaan Agung dan perempatan Agung, para pepatih Ida Bhatara yang kerasukan itu akan ngunying di setiap perempatan. Tentu perlu waktu sehingga prosesnya akan terhenti beberapa menit untuk ngunying, setelah itu perjalanan akan dilanjutkan kembali,” ujar pria kelahiran 16 Desember 1967 itu.

Para krama yang melakukan ngunying selama Ida Bhatara ngadeg juga memiliki pantangan tersendiri yakni tidak boleh memakan daging babi, daging sapi, dan tidak boleh melangkahi tali sapi yang digunakan. Ini disebabkan, tradisi atau upacara di Bali identik dengan daging babi yang diolah menjadi babi guling sebagai salah satu banten di pura. Sedangkan daging sapi terkait dengan prosesi ini yang bersifat magis dan tidak bisa main-main.

Pemangku dan masyarakat pun menunggu beliau (Ida Bhatara) di Jimbaran untuk selanjutnya melakukan upacara pemendakan (penyambutan, Red) sebelum Ida Betara sinab di tedong pesimpan. 

Rangkaian upacara lanjutan dari prosesi ini pada Jumat (27/1/2023) mendatang yakni piodalan Sesuhunan Ida Bhatara Dewa Ayu dan dilangsungkan upacara mesolah di perempatan agung Desa Adat Pecatu pada pukul 15.00 Wita sampai 19.00 Wita. 

Kemudian pada Minggu (29/1/2023) yang juga bertepatan dengan hari kajang kliwon, Ida Betara kembali mesolah yakni upacara mepajar gede. Hanya saja pada hari itu tidak diadakan piodalan kembali dan nantinya kegiatan ini akan terus berlangsung setiap hari kajang kliwon sampai pada hari raya Galungan tepatnya 6 bulan ke depan di Desa Adat Pecatu.

Sementara, ditanyai soal sejak kapan upacara ini dimulai, ungkap Rai Dirga tidak mengetahui tahun pasti dilaksanakannya. Karena secara administrasi dan kesejarahan upacara ini tidak tercatat dalam sebuah tulisan sehingga ia tidak bisa mengatakan tahun berapa upacara ini dimulai.

Namun yang pasti, dalam kondisi normal, upacara ini dilakukan selama dua tahun sekali. Upacara ini terakhir dilaksanakan pada tahun 2017 dan seharusnya diadakan kembali pada tahun 2019. Karena saat itu terdapat sedikit persoalan sehingga rencana upacara dilangsungkan pada tahun 2020 nyatanya kembali tertunda akibat pandemi Covid-19.

“Sehingga pada awal tahun 2023 ini kembali dilaksanakan kembali sesuai urutan upacara yang telah kami pahami sejak dahulu dengan persiapan selama 4 bulan lamanya,” tuturnya.

Selama hampir 6 tahun upacara ini tidak bisa digelar, membuat antusiasme masyarakat membludak. Rai Dirga pun menerangkan upacara ini akan sangat dijaga kelestariannya dan akan tetap di pertahankan karena upacara ini tidak hanya soal sosial budaya tetapi juga bagian dari keyakinan masyarakat Desa Adat Jimbaran. 

“Karena salah satu fungsi dari pada sesolahan Idha Bhatara ini adalah untuk menetralisir segala sesuatu yang sifatnya gerubug (penyakit, Red). Ketika Ida Betara Dewa Ayu metangi masyarakat Jimbaran akan tumpah ruah, bersatu padu untuk menyelesaikan bahkan ikut berdonasi sehingga acara ini bisa tetap terjaga. Bali sebagai pusatnya pariwisata dan budaya, semoga kegiatan ini bisa diperhatikan dengan baik oleh pemerintah sehingga bisa menjadi sebagai event yang disaksikan secara gratis,” pungkasnya. *ris 

Komentar