nusabali

Senyap Semarak 'China Town' Gajah Mada Denpasar

  • www.nusabali.com-senyap-semarak-china-town-gajah-mada-denpasar
  • www.nusabali.com-senyap-semarak-china-town-gajah-mada-denpasar
  • www.nusabali.com-senyap-semarak-china-town-gajah-mada-denpasar

DENPASAR, NusaBali.com – Pecinan di Kota Denpasar tidak sekentara China Town di Kota Surabaya dan Jakarta yang selalu hidup hingga saat ini. Nilai historis pecinan di Denpasar baru terlihat tatkala perayaan Imlek saja.

Kawasan pertokoan Jalan Gajah Mada, Jalan Sulawesi, dan Jalan Kartini merupakan kompleks pecinan yang pernah ada di Kota Denpasar. Namun, banyak orang Tionghoa memilih ‘eksodus’ seiring pertumbuhan dan perkembangan kota.

Salah satu sesepuh pecinan kawasan Jalan Gajah Mada yang masih bertahan adalah Sujadi Prasetio, 89. Pria kelahiran Guangdong, Tiongkok ini hingga kini masih menempati rumah tuanya di Jalan Kartini Gang II, tepat di depan Kelenteng Sing Bie.

Pria dengan nama Mandarin, Tio Sing Khoei ini adalah ayahanda dari Tio Sung Tao atau lebih dikenal dengan sapaan Jero Sung.

“Saya lahir sebagai generasi keempat dari keluarga di Guangdong, Tiongkok. Datang ke Indonesia pada zaman Belanda dan merintis pabrik beras di Lombok,” tutur Sujadi ketika dijumpai di sela-sela perayaan Imlek pada Senin (23/1/2023) sore.

Foto: Sujadi Prasetio alias Tio Sing Khoei. -NGURAH RATNADI

Setelah cukup maju dan berkembang, Sujadi menikah dan pindah ke Bali. Di Pulau Dewata, Sujadi sudah melewati lebih dari empat zaman mulai dari penjajahan, orde lama, G-30S/PKI, orde baru, dan masa reformasi seperti saat ini.

Kakek yang memiliki 30 anak dan cucu ini membeberkan bahwa hampir seluruh toko di kawasan Jalan Gajah Mada pernah dimiliki oleh orang Tionghoa. Namun sejak ada penataan kawasan tersebut dan larangan parkir diberlakukan, toko-toko mereka pun mulai dijual ke orang-orang keturunan Arab dan India yang sekarang identik dengan toko tekstil.

“Sekarang saya kira sudah lebih dari 50 persen orang Tionghoa di Gajah Mada keluar. Ada yang ke Kuta, ke Pupuan (Tabanan), Gianyar, Karangasem, dan Klungkung,” sebut pria yang sudah seperti orang Bali ketika mengobrol.

Kata Sujadi, zaman memang tidak bisa dilawan. Saat ini hanya generasinya dan anaknya saja yang masih fasih berbahasa Bali dan Tionghoa sedangkan cucu dan cicitnya lebih fasih berbahasa Indonesia.

Pria yang dituakan hampir sebagian besar umat di Kelenteng Sing Bie ini menjelaskan, mungkin karena sebagian besar orang Tionghoa di kawasan Gajah Mada sudah minggat, pecinan di Kota Denpasar tidak sekentara dulu.

Foto: Salah satu bangunan tua milik kerabat Sujadi. -NGURAH RATNADI

Walaupun demikian, beberapa bangunan tua khususnya di Jalan Kartini Gang II masih cukup terawat seperti bangunan tiga lantai milik kerabat Sujadi yang sudah berusia hampir 100 tahun. Bangunan itu tampak khas dan cukup familier bagi pecinta film Tiongkok berlatar era republikan.

Kawasan Jalan Gajah Mada ini baru terasa seperti rumah bagi Sujadi ketika perayaan besar seperti Tahun Baru Imlek. Sebab, sanak keluarga dan kerabatnya dari marga Zhang berkumpul di gang sempit di belakang pertokoan heritage itu.

Seperti Senin sore, Sujadi disalami oleh generasi di bawahnya yang datang silih berganti. Sedangkan di hari-hari dan perayaan tertentu, momen berkumpul sifatnya sangat domestik di rumah tangga masing-masing.

Suasana pecinan pun semakin terasa ketika kirab Imlek dimulai dari Kelenteng Sing Bie. Setiap tahunnya, Sujadi mendapat kehormatan sebagai orang pertama yang memotong babi guling perayaan Imlek.

“Di tahun kelinci air ini, saya hanya berharap bisa sehat dan tidak pikun karena sudah tua. Untuk yang muda, tetap giat menuntut ilmu karena zaman seperti sekarang ini susah diterka perkembangannya,” tandas Engkong Tio. *rat

Komentar