nusabali

MUTIARA WEDA: Kesenangan vs Dharma

Ekenāmsena dharmmārthah karttavyo bhutimicchatā, Ekenāmsena kāmārtha ekamamsam vivirddhayet. (Sarasamucchaya, 268)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-kesenangan-vs-dharma

Kekayaan yang diperoleh seseorang hendaknya dibagi, yakni satu bagian untuk dharma, satu bagian untuk kama, dan satu bagian untuk investasi.

DALAM konteks saat ini, mungkin teks ini ditujukan kepada mereka yang memiliki penghasilan yang bisa ditebak tiap bulan, seperti pegawai dan yang sejenisnya. Pembagiannya mudah karena bisa ditentukan jumlahnya. Seperti misalnya orang yang berpenghasilan 9 juta sebulan. Uang ini cukup dibagi tiga, yakni tiga juta untuk dharma, tiga juga untuk kama, dan sisanya untuk investasi. Dengan pembagian ini, semua hal bisa berjalan dengan normal. Seberapa penting teks di atas bagi kehidupan? Teks itu penting terutama untuk orang yang masih menginginkan kesenangan. Siapa mereka yang menginginkan kesenangan? Tentu adalah sebagian besar orang, atau istilahnya orang kebanyakan. Agar mereka tidak larut dalam kesenangan, maka teks di atas penting, sehingga kehidupan mereka berjalan normal.

Bagaimana jika tidak dianjurkan untuk membagi penghasilannya? Tentu mereka tidak maksimal menjalankan dharmanya, dan tidak ada niat untuk menabung atau investasi. Mengapa? Karena kesenangan akan menarik orang tersebut dan akan menghabiskan uangnya di sana saja. Jika ini terjadi, maka kehidupan orang tidak lagi seimbang. Masyarakat akan kacau. Dengan adanya warning seperti ini, mereka lebih bisa mengerem. Meskipun tidak hadir atas kesadaran diri, paling tidak teks di atas membantu orang untuk takut terlalu larut dalam kesenangan, meskipun pikirannya selalu mengarah pada kesenangan itu. Apa maksudnya kesenangan (kama) di sini? Orang umum memaknai kesenangan itu adalah sesuatu yang sifatnya menghambur-hamburkan atau hura-hura seperti judi, minuman keras, main perempuan, dan yang sejenisnya. Hal inilah disebut dengan kesenangan. Orang desa sering menyebut ini sebagai hiburan. Mereka menghibur diri dengan pergi ke tajen (sabung ayam) atau ke tempat minum-minuman keras. Di sini, kadang orang bisa menghabiskan seluruh uangnya.

Berbeda dengan orang yang kesenangannya tidak di sana. Namun, jumlah orang yang tidak menemukan kesenangan di tempat judi, minum-minuman keras, dan main perempuan sangat terbatas. Khusus untuk orang ini, mungkin teks di atas tidak relevan. Orang-orang ini bisa saja menggunakan semua uang untuk kesenangan dirinya, tetapi kehidupan tetap seimbang bahkan mulia. Seperti apa itu? Orang-orang ini tidak akan mencari kesenangan di tiga tempat di atas, karena baginya tidak ada kesenangan di sana. Biasanya orang-orang ini akan menjadikan dharmanya sebagai kesenangan, berupaya menciptakan kesejahteraan masyarakat sebagai kesenangan dirinya. Mereka akan merasa senang dan terhibur jika dapat membantu orang lain, bahagia ketika kekayaannya berarti untuk kehidupan orang banyak. Mereka membangun perusahaan dengan orientasi untuk menyejahterakan masyarakat. Kesenangannya terletak di sini.

Jika orang mampu menjadikan dharma sebagai kesenangan, maka teks di atas menjadi tidak relevan dan bahkan mengganggu. Jadi, teks di atas sangat signifikan untuk orang kebanyakan di mana melaksanakan dharma adalah sebuah beban yang harus dilaksanakan. Untuk melaksanakan dharma tersebut, dia memerlukan banyak tenaga dan pemikiran, sehingga sering capek dan jenuh. Untuk menghilangkan rasa jenuh ini, mereka kemudian mencari hiburan, dan hal yang paling menghibur adalah judi, minuman keras, dan wanita (atau lawannya). Ini mungkin sebuah mekanisme semesta di mana kesenangan diterjemahkan seperti itu. Jarang orang memahami bahwa menjalankan dharma adalah hiburan, membangun investasi adalah hiburan, membantu orang lain adalah hiburan, dan mengerjakan pekerjaannya sebagai hiburan. Sehingga, konotasi bersenang-senang itu mengarah pada judi, mabuk-mabukan, dan prostitusi.

Teks di atas tidak frontal dengan masyarakat umum. Mungkin penulis telah matang memahami psikologi masyarakat, sehingga hal yang kira-kira memungkinkan masyarakat lakukan mesti diberikan aturan, meskipun masyarakat agak berat, tetapi mereka bisa. Agar semua orang tetap menjalankan dharmanya, maka perlu dibatasi kesenangannya. Namun, jika mengacu pada teks Bhagavad-gita, tentu kesenangan bukan terletak pada judi dan yang lainnya, melainkan dalam menjalani dharma itu sendiri. *

I Gede Suwantana

Komentar