nusabali

Nangluk Merana, Ritual Penetralisir Sasih Panca Roba

  • www.nusabali.com-nangluk-merana-ritual-penetralisir-sasih-panca-roba

PARA leluhur Bali menyelesaikan peroalan dan menyikapi fenomena yang mengganggu harmoni dengan pendekatan sekala - niskala.

Pendekatan sekala, salah satunya dengan upacara Nangluk Merana atau Pacaruan Sasih Kalima-Kanem. Rangkaian upacara Butha Yadnya ini rutin dilaksanakan  krama Bali. Mengapa digelar dalam rentang waktu sasih kalima-kanem?  Karena dalam kurun waktu tersebut merupakan siklus masa panca roba. Hal itu ditandai hujan lebat berganti panas terik, secara tak beraturan. Tetua di Bali mengenalnya sebagai sasih merana, dimana masa wabah  penyakit berbiak, sangat  rentan menyerang manusia, hewan, dan tumbuhan.  

Hal tersebut disampaikan Ida Pandhita Mpu Parama Yoga Sala Simpati,93, di Griya Sala Simpati, Banjar/Dusun Sala, Desa Abuan, Susut, Bangli, Sabtu (19/11). “Memang itulah masanya (waktunya) tumbuh (gering  atau sasab merana,” ujar Ida Pandhita di  Griya Sala Simpati, Banjar/Dusun Sala, Desa Abuan, Susut, Bangli. Jenis penyakit katagori keracunan sampai yang mutahir yakni  Covid-19 atau corona, tergolong juga dalam gering sasab merana.

Djelaskan, apabila wabah menjangkiti orang atau manusia, tetua menyebutnya  kegeringan. Sedang apabila menjangkiti satwa - hewan, tumbuhan maupun tanaman disebut merana. Untuk meminimalisir atau menetralisir serangan wabah karena pengaruh perilaku sasih  itulah,  leluhur orang Bali melakukan upaya niskala dengan melaksanakan upacara Nangluk Merana. “Maknanya nunas ica atau memohon. “Silahkan bertumbuh, namun jangan ngrubeda (menjadi wabah),” ujar sulinggih yang juga seorang veteran ini.

Karena sejatinya, menurut Ida Pandhita,  tidak mungkin mengesampingkan yang merupakan  kepastian siklus sasih. Karena itulah dengan cara nunas ice, memohon. Itulah kearifan lokal dari leluhur orang Bali yang terwariskan.

Dikatakan, prosesi atau sarana Upacara Nangluk Merana maupun Caru Sasih Kalima-Kanem, boleh jadi sama atau tidak sama dari satu tempat (desa adat) dengan lain tempat. Namun Ida Pandhita berkeyakinan, perbedaan tersebut tidak akan sampai menyimpang.

Upacara Nangluk Merana atau Pacaruan Sasih Kalima – Kanem, merupakan salah satu dari Panca Yadnya, yakni Butha Yadnya. Bagian Panca Yadnya lainnya yakni Dewa Yadnya, Pitra Yadnya, Rsi Yadnya dan Manusa Yadnya. Dalam pelaksanaannya, Panca Yadnya dipilah jadi dua kelompok. Dewa Yadnya dan Butha Yadnya yang pertama. Yang kedua kelompok Pitra Yadnya, Rsi dan Manusa Yadnya.

Bendesa Madya Mejelis Desa Adat Kabupaten Bangli I Ketut Kayana, menjelaskan ritual Nangluk Merana atau Pacaruan Sasih, merupakan salah satu tradisi ritual warisan leluhur yang patut terus dilestarikan. Menurut Kayana, Nangluk Merana, bukan sekadar ritus, tetapi didalamnya ada makna kesadaran  terhadap alam lingkungan. “ Bagaimana  bersikap respek terhadap   dan merawat  lingkungan,” ujarnya.

Dia yakin, apa yang menjadi tetamian (warisan) dalam bentuk tradisi ritual tersebut, bukan sekadar tetamian. “Leluhur kita mewariskan tiyang yakin sudah berdasarkan pengalaman,”   ujarnya.

Dia mengiyakan sarana Nangluk Merana bisa jadi tidak selalu sama antara tempat yang satu dengan di tempat lain. Atau dari desa adat yang satu dengan desa adat yang lain. Seperti di Bangli, contohnya di Desa Adat Sala, upacara Nangluk Merana ditandai dengan pemasangan sungga polingsemacam  gerbang dari bambu dengan jalinan runcing. “Secara harfiah, bermakna jangan sampai merana atau wabah masuk ke wiwewidangan desa, sehingga krama selalu rahayu,” ujar Kayana.

Di satu sisi  ritual, termasuk Nangluk Merana menjadikan Bali sebagai pulau dan krama Bali, tercatat sebagai yang  gumi yang memili tradiri yang khas sehingga dikenal di manca negara.  

Rektor Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa I Gusti Ngurah Sudiana menjelaskan hal senada tentang makna dan tujuan Upacara Nangluk Merana maupun Caru Sasih Kalima – Kanem. “Di daerah pisisir biasanya disebut Nangluk Merana, sedang di daratan disebut Caru Sasih Kalima-Kanem,” terangnya dihubungi terpisah. Kata guru besar tersebut, tujuannya sama yakni memohon agar wabah  yang berjangkit pada musim pancaroba terkendali.

Sesungguhnya, setiap sasih ada pacaruannya. Contohnya, dari Sasih Kalima, Kanem menuju Kapitu sampai  dengan Kasanga (Tawur Agung Kesanga, jelang Nyepi) sampai dengan Jyesta dan Sada. Mengapa pacaruan sasih Kalima dan Kanem yang lebih lumrah dikenal – selain Tawur Kesanga, kata  Ngurah Sudiana,  karena memang berkait dengan musim panca roba yang dimana wabah penyakit umum berjangkit.*k17

Komentar