'The Golden Toilet in Winter', Cibiran Halus untuk Kaum Elit
The Golden Toilet in Winter menghadirkan piranti sedikit absurd, yakni toilet yang dicat warna emas, karpet merah, dan tumpukan es balok.
DENPASAR, NusaBali
Kritik sosial cerdas 'tersuarakan' dalam sebuah garapan seni instalasi bertajuk 'The Golden Toilet in Winter' karya seniman I Ketut Putrayasa, bertempat di Rumah Budaya Penggak Men Mersi, Jalan WR Supratman Denpasar, Sabtu (12/11). Karya instalasi itu direspons pembacaan puisi oleh sastrawan Wayan Jengki Sunarta dan gerak tari teatrikal seniman Achmad Obe Marzuki.
The Golden Toilet in Winter adalah seni instalasi teranyar I Ketut Putrayasa, perupa pematung berbakat kelahiran Canggu, Bali. Instalasi ini menjadi sejenis satire, 'art simbolik' yang boleh ditafsir dengan cara pandang beragam sekaligus ambigu. Ia bisa dimaknai sebagai sapaan, suara kritis, serta cibiran halus pada kekonyolan-kekonyolan kita hari ini. Secara tidak sadar kita menjadi manusia paradoks (nungkalik), yang hulu kita jadikan hilir.
The Golden Toilet in Winter menghadirkan piranti sedikit absurd, yakni toilet yang dicat warna emas, karpet merah, dan tumpukan es balok. Seseorang dititahkan menggotong toilet emas, melintasi jalan berkarpet merah, tertatih dan ngos-ngosan, berjuang sekuat tenaga untuk bisa diletakkan pada tumpukan balok es.
"Tumpukan balok es itu boleh kita pahami sebagai simbol singasana yang dingin, juga menggambarkan situasi politik dunia yang dingin, yang saban waktu bisa meledak jadi krisis mengerikan," terang Putrayasa, di sela acara.
Toilet, karpet, merah, dan balok es adalah barang sehari-hari biasa kita temui. Namun di tangan seniman Ketut Putrayasa, instalasi ini benar-benar menjadi satire, cibiran halus pada pemegang kuasa yang tidak sungguh-sungguh melenyapkan derita warga, tapi diam-diam membangun koorporasi, membuat kesenjangan antara yang miskin dan kaya begitu jomblang.
"Jadi apapun kesepakatan-kesepakatan dunia yang bergulir di antara negara-negara, entah apa namanya, belum sanggup untuk tidak dicurigai. Kita yakin, pasti ada niat baik untuk membangun kesejahteran dan perdamain bersama. Namun sejumlah problem dunia yang tak kunjung selesai, semisal krisis iklim, krisis energi, kelangkaan pangan, perusakan lingkungan, krisis air bersih, limbah industri, dan lain-lain menunjukkan ketidakseriusan pemegang kebijakan," ujar Putrayasa.
Seni instalasi Putrayasa direspons oleh sastrawan Wayan Jengki Sunarta dengan membacakan puisi garapannya sendiri berjudul ‘Toilet Emas'. Puisi yang dibuat pada Hari Pahlawan 10 November 2022 itu diambil dari judul seni instalasi karya Ketut Putrayasa 'The Golden Toilet in Winter'.
‘’Puisi tersebut saya buat khusus untuk merespons karya instalasi Ketut Putrayasa. Puisi tersebut berbicara tentang kritik sosial, juga mengkritik kekuasaan yang rakus, tamak dan jumawa, memangsa alam dan rakyat jelata demi kepuasan diri dan kelompok elitenya,’’ ujar Jengki Sunarta.
Setelah Jengki, karya instalasi Putrayasa kemudian juga direspons oleh seniman Achmad Obe Marzuki dengan gerak tari teatrikalnya.
Kelian Penggak Men Mersi, Kadek Wahyudita mengapresiasi lompatan kreativitas Ketut Putrayasa. Pemilik Rich Stone ini dipandang sebagai sosok seniman yang selalu memiliki gagasan cemerlang dan berani tampil out of the box. Selain lihai melahirkan karya-karya spektakuler, Putrayasa juga sering menyisipkan kritik cerdas untuk senantiasa mengingatkan kepada kita arti dari kehidupan yang harmonis. Baik bersama alam, manusia, maupun kepada sang Maha Pencipta. *cr78
The Golden Toilet in Winter adalah seni instalasi teranyar I Ketut Putrayasa, perupa pematung berbakat kelahiran Canggu, Bali. Instalasi ini menjadi sejenis satire, 'art simbolik' yang boleh ditafsir dengan cara pandang beragam sekaligus ambigu. Ia bisa dimaknai sebagai sapaan, suara kritis, serta cibiran halus pada kekonyolan-kekonyolan kita hari ini. Secara tidak sadar kita menjadi manusia paradoks (nungkalik), yang hulu kita jadikan hilir.
The Golden Toilet in Winter menghadirkan piranti sedikit absurd, yakni toilet yang dicat warna emas, karpet merah, dan tumpukan es balok. Seseorang dititahkan menggotong toilet emas, melintasi jalan berkarpet merah, tertatih dan ngos-ngosan, berjuang sekuat tenaga untuk bisa diletakkan pada tumpukan balok es.
"Tumpukan balok es itu boleh kita pahami sebagai simbol singasana yang dingin, juga menggambarkan situasi politik dunia yang dingin, yang saban waktu bisa meledak jadi krisis mengerikan," terang Putrayasa, di sela acara.
Toilet, karpet, merah, dan balok es adalah barang sehari-hari biasa kita temui. Namun di tangan seniman Ketut Putrayasa, instalasi ini benar-benar menjadi satire, cibiran halus pada pemegang kuasa yang tidak sungguh-sungguh melenyapkan derita warga, tapi diam-diam membangun koorporasi, membuat kesenjangan antara yang miskin dan kaya begitu jomblang.
"Jadi apapun kesepakatan-kesepakatan dunia yang bergulir di antara negara-negara, entah apa namanya, belum sanggup untuk tidak dicurigai. Kita yakin, pasti ada niat baik untuk membangun kesejahteran dan perdamain bersama. Namun sejumlah problem dunia yang tak kunjung selesai, semisal krisis iklim, krisis energi, kelangkaan pangan, perusakan lingkungan, krisis air bersih, limbah industri, dan lain-lain menunjukkan ketidakseriusan pemegang kebijakan," ujar Putrayasa.
Seni instalasi Putrayasa direspons oleh sastrawan Wayan Jengki Sunarta dengan membacakan puisi garapannya sendiri berjudul ‘Toilet Emas'. Puisi yang dibuat pada Hari Pahlawan 10 November 2022 itu diambil dari judul seni instalasi karya Ketut Putrayasa 'The Golden Toilet in Winter'.
‘’Puisi tersebut saya buat khusus untuk merespons karya instalasi Ketut Putrayasa. Puisi tersebut berbicara tentang kritik sosial, juga mengkritik kekuasaan yang rakus, tamak dan jumawa, memangsa alam dan rakyat jelata demi kepuasan diri dan kelompok elitenya,’’ ujar Jengki Sunarta.
Setelah Jengki, karya instalasi Putrayasa kemudian juga direspons oleh seniman Achmad Obe Marzuki dengan gerak tari teatrikalnya.
Kelian Penggak Men Mersi, Kadek Wahyudita mengapresiasi lompatan kreativitas Ketut Putrayasa. Pemilik Rich Stone ini dipandang sebagai sosok seniman yang selalu memiliki gagasan cemerlang dan berani tampil out of the box. Selain lihai melahirkan karya-karya spektakuler, Putrayasa juga sering menyisipkan kritik cerdas untuk senantiasa mengingatkan kepada kita arti dari kehidupan yang harmonis. Baik bersama alam, manusia, maupun kepada sang Maha Pencipta. *cr78
Komentar