nusabali

MUTIARA WEDA: Melayani Orang Miskin?

Daridran bhaja kaunteya ma prayacchesvare dhanam, Vyadhitasyausadham pathyam nirujasya kimausadhaih. (Sarasamucchaya, 197)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-melayani-orang-miskin

Wahai keturunan Kunti, layani yang miskin. Jangan mencurahkan kekayaan pada orang yang disukai. Pemberian obat hanya untuk yang sakit saja.

PERNYATAAN ini sangat menarik. Yang biasa kita dengar adalah melayani majikan atau pimpinan, sementara teks menyebut: ‘layani orang miskin’. Ada dua gugusan penilaian terhadap pernyataan tersebut. Pertama, orang bertanya: ‘Kok bisa?’, ‘Apa benefitnya?’. Perubahan apa yang terjadi jika orang miskin dilayani? Kita melayani mereka dengan memberikannya makanan, pakaian, tempat tinggal, dan yang lainnya. Tidakkah ini akan membuat mereka semakin miskin, sebab rasa ketergantungan dan kebiasaan meminta-minta akan menjadi kesehariannya? Tidak sedikit orang miskin memanfaatkan kondisinya itu untuk membenarkan dirinya untuk meminta. Jadi, melakukan hal ini membuat mereka menjadi tidak produktif, mendukung kemalasan atas nama kemanusiaan, dan secara sistematis berupaya memelihara kemiskinan.

Sementara gugusan pemikiran yang kedua menyatakan bahwa secara prinsip semua orang memiliki hak yang sama untuk hidup layak. Oleh karena mereka tidak memiliki kesempatanlah kondisinya menjadi miskin. Oleh karena itu, orang yang memiliki kesempatan lebihlah yang semestinya berinisiatif untuk membantu. Manava seva is madhava seva — melayani manusia sama dengan melayani Sang Realitas Tertinggi. Secara hakiki tidak ada satu pun orang mau dilahirkan miskin, tetapi oleh karena kondisi, mereka harus mengalaminya. Kita yang kayalah yang terketuk hati untuk melayani mereka, berbagi kepada mereka dengan penuh ketulusan. Dunia akan indah jika kita bisa berbagi. Bukankah di dalam Upanisad disebutkan bahwa dunia ini cukup untuk memenuhi segala kebutuhan manusia, tetapi tidak pernah cukup bagi keserakahan mereka?

Inilah dua gugusan pemikiran, yang ketika ditelusuri lebih dalam sama-sama memiliki pembenaran. Penilaian pertama bisa saja muncul dari orang yang telah melakukan pelayanan bagi orang miskin dan melihat kasus itu di lapangan. Mereka tentu menemukan bahwa orang-orang miskin tidak saja karena tidak memiliki materi, tetapi memang karena mentalnya yang miskin. Mental miskinlah yang menjadi sumber masalah atas kehidupannya yang berkekurangan. Sehingga jika ada kegiatan-kegiatan altruis dengan platform kemanusiaan akan menjadikan mereka berkubang dan merasa bahwa miskin itu perlu dipertahankan sehingga terus dibantu dan dilayani. Mental ini yang menjadi musuh besar dari pemikiran-pemikiran altruistic — kemanusiaan.   

Menengahi kedua pemikiran di atas, maka penting memahami makna ‘melayani orang miskin’ di atas. Atau, bisa jadi menemukan makna baru yang relevan yang bersifat konstruktif dan berkelanjutan. Makna yang diberikan mungkin bisa seperti ini: pertama, kemiskinan yang dilayani adalah kemiskinan mentalnya. Mungkin ini adalah makna yang paling utama, sebab jika kemiskinan mental teratasi, maka masalah kemiskinan materi tidak menjadi masalah. Apa yang digunakan untuk menghilangkan kemiskinan mental ini? Satu-satunya adalah pendidikan. Mereka harus dibimbing, dididik, diantarkan untuk melewati kemalasan mentalnya. Hanya setelah kemalasan mental ini terlewati, ‘melayani orang miskin’ tersebut baru memancarkan makna sejatinya.

Makna kedua, mungkin makna yang mengarah pada keuntungan individu. Prinsip berbagi adalah mulia dan berdampak positif bagi perkembangan kesadaran diri. Tidak penting bagaimana materi yang telah dibagikan kepada orang lain, apakah mereka dapat memanfaatkannya dengan baik atau tidak itu tergantung individu masing-masing. Namun, yang pasti adalah mereka yang telah berbagi secara langsung merasakannya, rasa ikhlasnya bertambah. Orang yang menerima tidak begitu penting. Di sini berhubungan perkembangan spiritual seseorang dari mereka yang telah berbagi dan melayani orang miskin. Ketika orang berbagi, maka yang menjadi pusat adalah orang itu sendiri, bukan terhadap orang lain yang menerima materi yang terbagikan. Jika yang menerima mampu memaksimalkan kesempatan itu, maka dia bisa menggunakan untuk kemajuannya. *

I Gede Suwantana

Komentar