nusabali

Kreativitas Jro Dalang I Gede Suartana dan Kecintaannya Terhadap Seni Pertunjukan Wayang

Racik Minyak Tualen Pancadatu, Wayang Baruna hingga Gedebong modifikasi

  • www.nusabali.com-kreativitas-jro-dalang-i-gede-suartana-dan-kecintaannya-terhadap-seni-pertunjukan-wayang

Dengan meracik minyak wayang, Jro Dalang I Gede Suartana berharap keyakinan masyarakat zaman dahulu tentang khasiat minyak wayang ini tetap terjaga.

GIANYAR, NusaBali
Pemegang Hak Cipta Desain Wayang Pancadatu, Jro Dalang Drs I Gede Suartana,62, kembali mencetuskan ide-ide kreatif. Dalang yang juga perajin perak asal Banjar/Desa Celuk, Kecamatan Sukawati, Gianyar ini menciptakan 4 produk berkaitan dengan wayang. Di antaranya racikan Minyak Wayang Tualen Pancadatu, Wayang Baruna, Seselet Belati dan Gedebong modifikasi. Karya ini terwujud karena saking cintanya dalang kelahiran 23 Desember 1960 ini terhadap seni pertunjukan wayang.

Ditemui di kediamannya, Selasa (27/9) Jro Dalang Gede Suartana yang peraih Penghargaan Wija Kusuma dari Bupati Gianyar Tahun 2019 ini menjelaskan bahwa zaman dahulu minyak wayang diyakini secara niskala sebagai obat.

Masyarakat biasanya nunas (meminta) beberapa tetes minyak wayang dari Damar Blencong Jro Dalang setelah pertunjukan wayang peteng (malam hari, Red) selesai. Ekstrak minyak wayang itu kemudian dicampur dengan minyak tanusan asli setiba di rumah. Oleh masyarakat zaman dahulu, racikan ini biasa dipakai minyak urut.

Seperti sebagai penurun panas diisi bawang merah, untuk penghangat diisi jahe merah, sere, isin ceraken. Namun di era globalisasi saat ini, hiburan masyarakat semakin banyak. Sehingga pertunjukan wayang peteng kurang menarik lagi bagi penonton. Dalang Gede Suartana pun mengungkapkan bahwa saat ini pertunjukan wayang peteng cukup langka. Dengan meracik minyak wayang, pemilik Mar's Artshop dan Maramis’S Artshop ini berharap keyakinan masyarakat zaman dahulu tentang khasiat minyak wayang ini tetap terjaga.

"Saya rasakan itu. Mengingat sekarang jarang ada wayang tradisi peteng, jadi jarang pakai damar blencong. Ngaben saja tidak ada wayang peteng. Kalau dulu Ngaben dan Nyekah pasti diadakan wayang peteng karena ada kaitannya juga untuk nunas Tirta Sudamala, itu Tirta utama," ungkapnya. Meskipun pertunjukan wayang peteng kian langka, Jro Dalang Gede Suartana tetap ingin melestarikan kearifan lokal khususnya obat tradisional minyak wayang.

"Supaya wayang selalu mendapat tempat di hati masyarakat. Masih orang itu ingat wayang, minimal lengisnya," ujarnya. Minyak yang sudah diracik memadukan unsur sekala niskala ini dikemas dalam botol 25 ml. Telah mendapatkan izin BPOM RI POM TR226051141 bisa didapatkan di apotek. Diproduksi oleh PT Vision Bali, Denpasar. "Minyak urut ini perpaduan minyak tanusan asli yang sudah diproses hangat. Sekalinya ngeramu terdiri jahe merah, pohon bokasi, sere, cengkeh dan bahan penghangat lainnya. Perpaduan sekala niskala," jelasnya.

Dipercaya dapat membantu meredakan sakit pinggang, hangatkan lemaskan otot menjelang olahraga, jelang akitivitas, digigit serangga. "Pilek, sakit kepala, keseleo, perut kembung. Dan sangat cocok bagi orang yang lahir di wuku wayang," terangnya. Keberadaan minyak wayang ini pula sejalan dengan pengukuhan pengurus Gotra Pangusada Bali yang selaras dengan ekonomi Kerthi Bali melalui kebijakan peraturan Gubernur Bali No 55 Tahun 2019 tentang pelayananan kesehatan tradisional Bali dan Peraturan Daerah Provinsi Bali No 6 Tahun 2020 tentang penyelenggaraan kesehatan.

Sementara itu karyanya yang lain berupa Wayang Baruna yang bertatahkan logam pancadatu.  Dijelaskannya, Wayang Baruna ini sekaligus diciptakan untuk merespon tema Pesta Kesenian Bali tahun 2023 mendatang, yakni Segara Kertih. Wujudnya Baruna sendiri diterjemahkan dari sebuah mantra suci. "Mantra Sang Hyang Baruna/Mantra ngaturan Banten ring segara : Om Nagendra krure rupam murtinem, Gajendra Matsya waktranem, Baruna dewa maserirem. Sarwa jagat suddatmakem,. Sude klese winasanem," jelas Jro Dalang Gede Suartana.

Berdasarkan mantra tersebut, wujud wayang Baruna dibuat seperti naga yang mengagumkan, bermulut gajah, berbadan ikan. "Makanya saya wujudkan di wayang seperti ini. Saya pakai ini, naga yang bermulut gajah berbadan ikan. Sanghyang Baruna sudah hias dengan pancadatu," jelasnya.

Karya ketiga berupa Seselet Belati. Bentuk luarnya seperti tongkat komando, di dalamnya berisi pisau belati.

"Kalau petani bawa arit, nak Lingsir pakai teteken, pemimpin bawa tongkat komando, raja bawa keris. Kalau dalang bawa apa? Biar ada tatad, tiyang ciptakan perpaduan tongkat komando dengan tiuk belati dan keris. Luar tongkat, dalam tiuk belati, namanya tiuk seselet dalang," jelasnya. Fungsinya, pada saat ngewayang selain sebagai pebungah juga untuk memotong benang selesai pertunjukan wayang lemah. "Bahwa sebagai tanda upacara sudah selesai," jelasnya.

Sementara Gedebong modifikasi, dibuat dari bahan dasar kayu yang dilubangi dan dicat. "Gedebong itu simbol bumi, saya buat ini karena saat ini semakin sulit cari pohon pisang yang besar. Apalagi kasihan harus ditebang saat sedang berbuah. Jadi menurut saya, kayu sudah bergambar Gedebong ini akan sangat membantu. Kayu bergambar gedebong simbol gedebong, gedebong simbol Pertiwi berarti kayu bergambar gedebong sama juga simbul Pertiwi (A sama dengang B, B sama dengan. C, berarti A sama dengan C)," jelasnya.

Untuk diketahui,  Jro Dalang Drs I Gede Suartana juga seorang perajin perak di Banjar/Desa Celuk, Kecamatan Sukawati. Kecintaannya dengan seni pedalangan dipadupadankan dengan aktifitasnya sebagai perajin emas dan perak sekaligus sebagai sumbangsihnya terhadap Desa Celuk sebagai pusat kerajinan emas dan perak. Jro Dalang menciptakan desain ukiran tetatahan logam Pancadatu pada wayang kulit.

Alumni SLUA I Saraswati tahun 1981 yang melanjutkan sekolah di Fakultas Ilmu Politik (FIP) Universitas Nasional Jakarta dan Lulusan Fisipol Universitas Ngurah Rai Denpasar ini tidak berlatar belakang seni sekolah pedalangan. Tapi sangat konsen menekuni dunia pedalangan. "Karena ngewayang itu mengandung unsur 5T, tontonan, tatanan, tuntunan, tantangan dan tanggungjawab. Maka itu saya menjadi tertarik," ungkapnya.

Ketertarikan Jro Dalang Gede Suartana pada seni pedalangan bahkan sudah muncul di masa kanak-kanak. Tepatnya, ketika dia duduk di kelas III SD pada tahun 1971.

Pemilik Mar's Artshop dan Maramis’S Artshop ini pun mulai belajar medalang dan sudah dapat pentas wayang peteng (pakai kelir) beberapa kali. Diantaranya dapat pentas di Puri Anyar Singapadu, di Bale Banjar Tangsub, di Pura Desa Celuk dan di depan rumah almarhum Dalang I Made Anggur, yang juga selaku guru dalang. "Zaman itu belum tren istilah dalang cilik," ujar pria kelahiran 23 Desember 1960 ini. Hanya saja, setelah tamat SD, karena fokus untuk bersekolah maka kegiatan mendalang sempat terhenti. Vakumnya cukup lama, setelah menikah baru kembali muncul keinginan untuk mendalang.

Pertama karena rasa kecintaan, hobi dan ingin melestarikan seni di bidang pewayangan. "Saya melanjutkan kembali kegiatan mendalang sampai sekarang," jelas suami dari Ni Wayan Mistresni ini. Bahkan pada 31 Mei 2014 lalu, Jro Dalang Gede Suartana berkesempatan mengikuti Festival Wayang Dunia di Nanchong Cina bersama Dalang I Wayan Tunjung dan Dalang Jennifer dari Amerika.

Kini, di samping rutin menjalankan hobi bermain tenis, pemilik Sanggar Tualen Pancadatu Suar ini aktif juga melakoni aktifitas berkesenian sebagai penabuh gender, dalang wayang lemah (wayang sudamala), dan wayang peteng. "Saya dapat ngewayang di Tabanan, Batuan, Pura Desa Celuk, Klenteng Sukawati dan mengisi acara pada even Celuk Jewellery Festival pada bulan Oktober 2017 lalu," jelasnya. Di ajang bergengsi ini, Jro Dalang Gede Suartana mementaskan Wayang Pancadatu hasil ciptaannya. Seperti namanya, wayang berornamen lima logam mulia ini, terdiri dari unsur emas, perak, tembaga, besi dan asa-asa (campuran empat logam tersebut). Wayang Pancadatu ini juga dihiasi 5 permata, antara lain mirah (merah), basing (hitam), bidura (putih), mirah cempaka (kuning) dan safir (abu-abu).

Konsep Wayang Pancadatu ini, menurut Jro Dalang memiliki kekuatan mistis menarik aura kesucian.  "Sehingga unsur pancadatu ini kerap dipakai untuk pedagingan atau ditanam pada dasar palinggih-palinggih dan bangunan-bangunan," ungkapnya. Mengingat wayang adalah budaya adiluhung utameng lungguh, selain sebagai tontonan dan tuntunan wayang juga dipakai untuk nunas atau mohon tirta.

"Tirta Wayang sering disebut dengan tirta Sudamala, dipergunakan untuk meruwat bayi yang lahir ketadah kala atau lahir di wuku Tumpek Wayang. Juga untuk meruwat orang sakit atau istilahnya mebayuh, meruwat karang panes, dan mohon tirta Sudamala pada saat ngaben dan nyekah (maligia)," terangnya. *nvi

Komentar