nusabali

Nungkalik, Instruktif dan Kaya Kreativitas Pimpinan

  • www.nusabali.com-nungkalik-instruktif-dan-kaya-kreativitas-pimpinan

DENPASAR
Obama Foundation Maya Soetoro-Ng menilai Nungkalik sebagai sebuah pertunjukan dengan pemahaman yang kuat, narasi instruktif, dan kaya kreativitas.

“Terima kasih telah menunjukkan karya indah untuk anggota komunitas kami. (Kami juga) mendapatkan kesan dari Kitapoleng, kita yang berbeda tidak pernah terpisah, dengan karya seni,” tutur Maya Soetoro.

Dalam gelar wicara pasca pertunjukan yang dimoderasi mantan presenter televisi nasional Sandrina Malakiano, terungkap bahwa partisipan/penonton merasa begitu tersentuh dengan setiap adegan yang hadir dalam pemanggungan.

Melalui zoom chat room, salah satu partisipan Ruth Cross menyebut pertunjukan itu membuatnya menghargai setiap apa yang terjadi. Mereka (penari tuli, Red) tampil dalam keheningan, sementara dirinya bisa mendengar musik tari yang begitu menggetarkan.

“The performance was so full of intense emotions, frustations, anguish, sadness, rage, escape... and you really sense so much that is trapped. Have they seen changes in everyone around them to understand, respect and appreciated? Has it help them feel seen and understood? (Pertunjukan ini begitu penuh dengan emosi yang kuat, frustrasi, kesedihan, kemarahan, pelarian. Dan kita benar-benar merasa begitu larut. Sudahkah mereka melihat perubahan pada setiap orang di sekitar mereka untuk memahami, menghormati, dan menghargai? Apakah itu membantu mereka merasa dilihat dan dipahami?),” ujarnya.

Ada juga peristiwa menarik ketika partisipan lainnya meminta penari tuli melakukan gerak tari tanpa musik yang selama ini menjadi panduan gerak. Namun seperti yang telah diduga, mereka mampu melakukannya dengan sangat baik.

Gelar wicara pada akhirnya ditutup moderator Sandrina Malakiano dengan satu pertanyaan (atau pernyataan?) krusial yang mengutip epilog pertunjukan 'Nungkalik'.

"Saya Wahyu dan saya kuat, walau kadang tak berdaya. Bisakah kita berteman, walau tanpa suara?,” ucapnya. Inilah kalimat sederhana yang barangkali mewakili harapan Wahyu, bahkan mungkin teman-teman tuli dan disabilitas lainnya yang begitu sederhana. Bahwa mereka tidak menginginkan belas kasihan, mereka tidak ingin dibedakan. Mereka hanya ingin dipandang setara, sama seperti teman normal lainnya yang mampu melakukan banyak hal secara baik dan bertanggung jawab. Hanya itu saja. Selebihnya, tak ada. *cr78.

Komentar