nusabali

Kesidhian Prosesi Panglukatan Sang Hyang Iswara di Gegadon Desa Adat Kapal

  • www.nusabali.com-kesidhian-prosesi-panglukatan-sang-hyang-iswara-di-gegadon-desa-adat-kapal

MANGUPURA, NusaBali.com – Masyarakat Bali mungkin sudah tidak asing dengan istilah malukat dan memohon tamba (obat) di tempat-tempat tertentu yang diyakini sebagai sumber penyembuhan. Panglukatan Ida Bhatara Sang Hyang Iswara di Banjar Gegadon, Desa Adat Kapal merupakan salah satunya.

Beberapa tahun belakangan, tempat yang terletak di Kecamatan Mengwi ini populer dijadikan tempat untuk memohon tamba bagi anak-anak yang mengalami keterlambatan maupun keterbelakangan dalam berbicara. 

Dan sudah banyak pula kisah-kisah penyembuhan yang ditestimonikan oleh para pamedek yang tangkil dan merasakan sendiri.

Kisah tersebut pun menyebar dari mulut ke mulut dan akhirnya tempat pelukatan yang terletak di persimpangan Jalan Siulan-Jalan Menuh-Jalan Bukit Tinggi ini ramai dikunjungi ratusan pamedek setiap hari Kajeng Kliwon atau 15 hari sekali. 

Bahkan ada pamedek jauh-jauh dari Buleleng hingga luar Pulau Bali sengaja datang untuk memohon tamba, tidak terkecuali pamedek non-Hindu.

Di antara banyak yang datang pada Sukra Kajeng Kliwon Bala, Jumat (16/7/2022), salah satunya Made Pasek Ardipa, 34, dari Buleleng yang tangkil untuk kedua kalinya. 

Ardipa berbagi cerita bahwa anaknya yang sudah berumur 2,5 tahun belum bisa mengucapkan sepatah kata meski mengerti apa yang diucapkan orangtuanya.

“Saya mendengar cerita dari tetangga saya yang menetap di daerah sini. Anak saya sudah berusia 2,5 tahun belum bisa bicara, sekarang sudah ada perubahan sedikit demi sedikit,” ujar Ardipa.

Berbekal keyakinan agar anaknya bisa sembuh, Ardipa meyakini di hari ketiga nanti atau 15 hari dari hari ini, Jumat, anaknya akan bisa berbicara dengan baik dan lancar.

Selain Ardipa, Made Noviyani, 34, asal Tabanan datang bersama putranya yang baru berusia 3 tahun. Kata Novi, anaknya kurang lancar berbahasa dan kosa kata yang dimiliki masih sangat terbatas untuk anak seusianya.

“Ini sudah keempat kalinya saya ke sini dan Astungkara sudah ada perubahan dan mulai lancar berbicara,” kata Novi penuh syukur. Terlepas dari memohon tamba, Novi hanya berharap semoga putranya senantiasa sehat dan menjadi anak yang pintar.

Pantauan NusaBali.com, pamedek datang silih berganti sejak pukul 08.00 Wita dengan motivasi yang sama meskipun datang dengan kondisi buah hati yang berbeda-beda. Wajah dari anak-anak yang masih minim berbicara ini terlihat cerah ketika mapamit pulang bersama orangtua mereka.

Menurut Kelihan Adat Banjar Gegadon, Ketut Suta, pihaknya bersama beberapa warga dan para pemangku pura di wilayah Banjar Adat Gegadon melayani pamedek dari pukul 08.00-20.00 Wita, meskipun jika ada yang datang lebih malam tetap akan dilayani.

Bagi pamedek yang baru pertama kali tangkil disarankan membawa Peras Daksina Pejati satu soroh dilengkapi dengan Segehan Ireng untuk dihaturkan ke sumber air, Segehan Mancawarga untuk dihaturkan di sor Palinggih Ida Bhatara Sang Hyang Iswara dan Segehan Petak untuk di ajeng palinggih.

Setelah itu, pendamping anak, dalam hal ini orangtua dan keluarga sembahyang dipimpin pemangku. Pada tahap ini disarankan dapat berdoa dengan khusyuk, pusatkan niat, dan maturpiuning kepada Ida Bhatara Sang Hyang Iswara mengenai niat, tujuan, dan keinginan untuk tangkil.

Selanjutnya prosesi yang unik, penuh tangis dan tawa dimulai. Para orangtua menggendong anak mereka masing-masing yang sudah telanjang ke saluran air yang awalnya berupa temuku subak tersebut. 

Satu per satu anak-anak digendong orangtua mereka berbaris di saluran air tersebut kemudian dimandikan sekujur tubuh.

Kemudian, bocah-bocah mungil tersebut dibersihkan dengan air dari pancuran yang mengalir di samping Palinggih Ida Bhatara Sang Hyang Iswara. Hal-hal menarik yang mengundang tawa sekaligus menyadarkan pamedek akan kesidhian prosesi tersebut bercampur.

Terasa ketika anak-anak tersebut disiram air pancuran sebagian besar mengangkat kaki mereka dan bergelantungan pada lengan orangtua mereka. Kesan bahwa manusia sedang dibersihkan pada tahap ini begitu sangat terasa dan membuat jiwa merasakan vibrasi kesidhian palinggih tersebut.

Setelah melewati pelukatan, anak-anak kembali dikenakan pakaian sebelum diajak nunas wangsupada Ida Bhatara. Sebelum mapamit pulang, para orangtua diberikan tirta untuk disungsung dibawa pulang dan diberikan kepada anak sekali setiap hari.

Kata Suta selaku Kelihan Adat Banjar Gegadon, pada zaman dahulu, tempat yang digunakan malukat seperti sekarang ini hanya terlihat seperti saluran air biasa tanpa palinggih. Namun, masyarakat Banjar Gegadon sudah tahu dan meyakini saluran air tersebut memang diperuntukkan untuk penyembuhan anak-anak yang mengalami keterlambatan berbicara.

“Dulu palinggih ini tidak ada, ya masyarakat bilangnya kalau ada anak yang terlambat bisa berbicara, jeg panjusin gen ditu (mandikan saja di sana),” ujar Ketut Suta saat ditemui di sela-sela melayani pamedek yang datang.*rat

Komentar