nusabali

Sudah Tepatkah UU Tipikor untuk Kasus-Kasus LPD?

  • www.nusabali.com-sudah-tepatkah-uu-tipikor-untuk-kasus-kasus-lpd

DENPASAR, NusaBali.com – Terjadi silang pendapat antara akademisi dengan penegak hukum mengenai pengenaan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap kasus-kasus mis-manajemen Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali.

Rekonstruksi kasus yang mendera LPD selama ini cenderung merujuk kepada Undang-Undang (UU) Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Penggunaan UU Tipikor ini sempat menjadi perdebatan antara para pembicara dari kalangan akademisi dan penegak hukum dalam Seminar Bersama Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali dengan Lembaga Pemberdayaan (LP) LPD dan Badan Kerja Sama (BKS) LPD di Lantai III Gedung Sekretariat PHDI Provinsi Bali, Jalan Ratna nomor 71 Denpasar, Rabu (14/9/2022).

Dalam UU Tipikor, korupsi didefinisikan sebagai tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang berakibat kerugian terhadap keuangan dan perekonomian negara. 

Frase kunci ‘merugikan keuangan dan perekonomian negara’ inilah yang menjadi pintu masuk penegak hukum untuk merekonstruksi kasus-kasus LPD dengan UU Tipikor.

“Inilah yang menjadi pintu masuk kami sebagai penyidik baik dari kepolisian maupun kejaksaan untuk menindaklanjuti dengan UU Tipikor lantaran ada ‘penyertaan modal’ dari pemerintah kepada LPD,” jelas Kepala Bidang Hukum Polda Bali Kombes Pol I Gusti Ngurah Rai Mahaputra saat menjadi pembicara.

Keuangan negara sendiri menurut pembicara lainnya, Hakim Pengadilan Tinggi Denpasar I Gusti Lanang Dauh dapat berasal dari APBN, APBD, dan keuangan pada BUMN serta BUMD. 

Mengingat LPD di Bali mendapat ‘penyertaan modal’ dari pemerintah daerah, sehingga bila terjadi permasalahan keuangan pada lembaga yang mengelola keuangan negara tersebut maka penegak hukum, kata Rai Mahaputra, memandangnya sebagai kerugian negara.

“Namun perlu diperjelas juga apakah itu bentuknya penyertaan modal, hibah, atau sumbangan. Ini harus jelas,” tegas Rai Mahaputra.

Sementara para Prajuru LPD yang turut hadir sebagai peserta dalam seminar tersebut pun mengakui bahwa mereka memang menerima bantuan modal dari pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Provinsi Bali, ketika ditanya oleh I Putu Gede Sudharma, salah satu pembicara dari Kejaksaan Tinggi Bali.

Selain itu, kata Rai Mahaputra, adanya pengaduan dari masyarakat juga merupakan dasar bagi kepolisian untuk melakukan tindak lanjut terhadap laporan masyarakat yang tidak bisa didiamkan tersebut. 

“Kami bisa melakukan restorative justice (alternatif penyelesaian kasus pidana) untuk kasus-kasus tertentu, kalau korupsi tidak bisa,” cetus Rai Mahaputra.

Di sisi lain, akademisi sekaligus ahli keuangan negara I Wayan Ramantha mengkritisi ketidakberimbangan terhadap pendefinisian ‘keuangan negara’. 

Menurut dosen Universitas Udayana ini, jika memang ada modal pemerintah daerah di LPD dengan persentase lebih kecil dari aset Krama Desa Adat itu disebut keuangan negara maka utang dari lembaga keuangan adat ini pula seharusnya menjadi tanggung jawab negara.

“Pertanyaannya, kalau keseluruhan itu modalnya modal pemerintah, apakah utangnya juga utang pemerintah?” tanya Ramantha secara retorik.

Jika keuangan LPD tersebut dianggap modal pemerintah, lanjut Ramantha, maka dapat diinterpretasikan bahwa masyarakat bisa saja meminta ganti rugi kepada pemerintah apabila LPD mengalami permasalahan seperti kasus-kasus yang terjadi belakangan ini dan menyebabkan kerugian bagi nasabah.

Berkenaan dengan implikasi hukum dan ekonomi ini, anggota Komisi III DPR RI I Wayan Sudirta menawarkan titik tengah. Sudirta berpendapat bahwa jika dikenakan UU Tipikor maka kerugian aset LPD tersebut harus diganti kepada negara bukan kepada nasabah lantaran UU Tipikor melihat aset LPD sebagai keuangan negara.

Oleh karena itu, di satu sisi agar oknum Prajuru LPD dapat dihukum atas perbuatannya namun di sisi lain setidaknya aset nasabah juga bisa diselamatkan, Sudirta menyarankan agar penegak hukum dapat melihat aspek keadilan substantif bukan legistis yang menganggap hukum tertulis seperti UU yang kaku merupakan satu-satunya sumber perspektif terhadap penyelesaian masalah.

“Cari satu pasal, mohon maaf, kalau dulu namanya Undang-Undang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Hakim harus memutus berdasarkan hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat,” tegas Sudirta berusaha menengahi silang pendapat antara kedua kalangan pembicara.

“Jika masyarakat Bali menghendaki aset tersebut harus diselamatkan maka gunakan pasal itu,” lanjut Sudirta.

Pada masa kini, undang-undang yang dimaksud oleh anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI Perjuangan tersebut adalah UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 

Pasal 5 ayat 1 pada undang-undang tersebut berbunyi, “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”

Meskipun terjadi silang pendapat mengenai penerapan UU Tipikor dan pendefinisian korupsi dalam ranah LPD, diskusi cukup meruncing ke arah titik temu untuk penyelesaian bagi permasalahan yang mendera lembaga keuangan adat ini.

Mengingat, LPD merupakan lembaga keuangan yang unik, dikecualikan dari UU Nomor 1 Tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro, tidak berbadan hukum, tidak diawasi Otoritas Jasa Keuangan, dan tidak beroperasi atas SK Gubernur Bank Indonesia.

Secara kasarnya, LPD tidak tunduk terhadap regulasi maupun hukum positif di NKRI. Oleh karena itu, LPD murni berada di bawah pararem dan awig-awig Desa Adat, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari komponen desa adat pada zaman ini.

Kondisi ini mendorong permasalahan yang terjadi pada LPD agar dapat diselesaikan terlebih dahulu berdasarkan hukum adat yang berlaku di masing-masing Desa Pakraman. Jika terjadi kebuntuan pada ranah tersebut barulah dapat dilaporkan dan ditarik ke ranah hukum positif di wilayah negara hukum RI. *rat

Komentar