nusabali

Lama Hidup di Kolam, Ada Lumba-lumba yang Buta dan Gigi Rusak

Setelah Tiga Tahun Direhabilitasi, Rocky, Rambo, dan Johnny Dilepasliarkan

  • www.nusabali.com-lama-hidup-di-kolam-ada-lumba-lumba-yang-buta-dan-gigi-rusak
  • www.nusabali.com-lama-hidup-di-kolam-ada-lumba-lumba-yang-buta-dan-gigi-rusak

SINGARAJA, NusaBali
Tiga ekor lumba-lumba jenis hidung botol (Tursiops truncates) Indo-Pasifik yang sempat dipelihara eks Hotel Melka, akhirnya dilepasliarkan ke laut lepas, Sabtu (3/9) pukul 08.30 Wita.

Pelepasliaran tiga hewan mamalia yang dilindungi ini dilakukan setelah menjalani rehabilitasi selama tiga tahun terakhir di Teluk Banyuwedang, Desa Pejarakan, Kecamatan Gerokgak, Buleleng.

Ketiga lumba-lumba itu bernama Rocky, Rambo, dan Johnny. Mereka dievakuasi pada Agustus 2019 silam, setelah eks Hotel Melka gulung tikar. Sejumlah satwa yang dipelihara, tidak hanya lumba-lumba, akhirnya dievakuasi Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali untuk diselamatkan. Sebab sejak terlibat sengketa piutang saat itu, satwa yang dipelihara tidak mendapatkan perhatian dan pemeliharaan dengan baik.

Sebenarnya ada 5 ekor lumba-lumba yang dipelihara oleh pihak hotel. Namun evakuasi tidak bisa dilakukan bersamaan, karena tiga ekor di antaranya yakni Rocky, Rambo, dan Johnny mengalami gangguan kesehatan hingga malnutrisi. BKSDA Bali kemudian memutuskan dua ekor lumba-lumba yang sehat dievakuasi dan direhabilitasi di Pantai Mertasari, Sanur. Sedangkan tiga ekor yang kondisi kesehatannya cukup buruk saat itu direhabilitasi oleh Jakarta Animal Aid Network (JAAN) di Teluk Banyuwedang, Desa Pejarakan pada Oktober 2019.

Pendiri JAAN Femke Den Haas usai pelepasan menjelaskan proses rehabilitasi yang dilakukan kepada 3 ekor lumba-lumba itu memerlukan waktu yang cukup lama. Proses pemulihan yang disebutnya paling sulit bukan mengembalikan kesehatannya, tetapi mengembalikan sifat liar lumba-lumba. Sehingga setelah dilepasliarkan mereka dapat bertahan hidup di laut lepas.

“Waktu rehabilitasinya cukup lama karena kondisi kesehatan mereka saat dievakuasi sangat buruk. Tidak hanya malnutrisi, ada yang buta karena pengaruh kandungan klorin kolam dalam kurun waktu lama, luka pada sirip juga ada,” ucap De Haas, warga asal Belanda.

Kondisi terparah dialami oleh Johnny. Menurut De Haas, lumba-lumba berumur 30 tahun itu mengalami kebutaan di kedua matanya. Selain juga mengalami luka pada sirip dan kerusakan gigi. “Penyebabnya karena mereka dipelihara pada kolam menggunakan air klorin dalam waktu yang lama, itu berpengaruh pada kesehatan. Tetapi sekarang salah satu mata sudah berfungsi, flipper-nya juga sudah sembuh,” imbuhnya.

Kerusakan gigi yang dialami Johnny juga direhabilitasi dengan pemasangan gigi palsu. JAAN setidaknya memasang 22 biji gigi. Sebanyak 14 gigi dipasang di rahang bawah dan 8 biji di bagian rahang atas. Pemasangan gigi palsu pada lumba-lumba, menurut De Haas, baru pertama kali dilakukan di dunia dengan teknologi dan metode khusus.

Sedangkan untuk dua ekor lumba-lumba lainnya, Rocky dan Rambo, hanya menjalani rehabilitasi malnutrisi dan pengasahan sifat liarnya untuk bertahan di laut luas. Tiga tahun berproses merehabilitasi tiga ekor lumba-lumba yang cukup sulit dilakukan yakni menumbuhkan sifat liarnya.

Maklum saja, sebelum dievakuasi lumba-lumba ini hidup di dalam kolam dengan perlakuan yang sangat berbeda dengan hidup di alam liar. Makanan yang disuplai untuk memenuhi nutrisinya hanya potongan ikan. Sedangkan di laut liar mereka tidak bisa menunggu makanan dilempar, melainkan harus berburu sendiri.

Tim JAAN untuk melatih sifat liar lumba-lumba itu membatasi jarak dan interaksi. Makan yang diberikan setiap hari, juga diganti bertahap. Dari potongan ikan, menjadi ikan mati kemudian beralih ke ikan hidup. Sehingga mereka dapat beradaptasi dengan lingkungannya dan kembali berburu untuk mendapatkan makanan.

“Hal paling penting, mereka kini sudah menggunakan sonar. Karena penggunaan sonar sangat mereka butuhkan untuk navigasi dan berburu ikan,” jelas De Haas.

Sementara itu pelepasliaran tiga lumba-lumba yang dirangkaikan dengan Hari Konservasi Alam Nasional (HKAN) dilakukan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar. Pintu pembatas antara kolam rehabilitasi dengan laut dilepas dengan mengerek katrol.

Namun begitu pintu ke laut lepas dibuka, Rocky, Rambo, dan Johnny tidak langsung melesat. Mereka lama berenang dan bermain di sekitar kolam. Hingga tim JAAN berinisiatif untuk membongkar jaring dan pelampung yang membatasi kolam dengan laut lepas. Ketiga lumba-lumba itu baru melesat setelah pembatas dilepaskan seluruhnya.

Menteri Siti Nurbaya mengatakan lumba-lumba sebagai satwa yang dilindungi masih menjadi polemik saat digunakan sebagai atraksi hiburan. Namun Indonesia sejak 2018 lalu telah melarang pemanfaatan lumba-lumba sebagai kebutuhan atraksi.

Selain tiga lumba-lumba yang dilepasliarkan kemarin, di Bali masih ada 5 ekor lumba-lumba yang masih direhabilitasi dan siap dilepasliarkan jika waktunya sudah tepat. “Kita menunjukkan komitmen dan kerja keras melestarikan lingkungan dengan proses rehabilitasi yang tidak mudah ini. Nanti setelah ada di laut lepas akan tetap dipantau karena sudah terpasang GPS. Ini akan menjadi bahan evaluasi juga keberhasilan metode lepas liar yang dilakukan sekarang, untuk ke depannya,” ucap Menteri Siti Nurbaya.

Kegiatan tersebut juga dihadiri Kepala BKSDA Bali Agus Budi Santosa, Plt Dirjen KSDAE (Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem) Bambang Hendroyono, dan Kepala Balai Taman Nasional Bali Barat Agus Ngurah Krisna.

“Pada tahun 2019, kami bekerjasama dengan Jaringan Satwa Indonesia (JSI) dan Taman Nasional Bali Barat, memindahkan ketiga lumba-lumba tersebut ke keramba (sea pen) rehabilitasi dan perawatan di Teluk Banyuwedang, perairan laut Taman Nasional Bali Barat,” kata Agus Budi di sela kegiatan pelepasliaran.

Agus Budi melanjutkan, proses rehabilitasi yang dilakukan di sea pen berukuran 30 meter x 20 meter x 13 meter tersebut bertujuan untuk mengembalikan kesehatan dan sifat liarnya agar dapat dilepasliarkan kembali ke habitat alaminya.

Bambang Hendroyono menyampaikan keberhasilan rehabilitasi lumba-lumba termasuk pemasangan gigi, patut dihargai karena merupakan yang pertama di Indonesia, bahkan masih sangat langka dilakukan di dunia.

“Hal ini bisa menjadi referensi bagi ‘future practices’ dalam pemulihan dan penyelamatan mamalia laut seperti lumba-lumba,” ujar pria yang juga menjabat Sekretaris Jenderal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). *k23, cr78

Komentar