nusabali

Wianta Usung Sejarah Rempah ke AS

  • www.nusabali.com-wianta-usung-sejarah-rempah-ke-as

Sayangnya, Wianta yang kini tengah menjalani serangkaian terapi untuk pemulihan kesehatannya tidak bisa hadir dalam acara tersebut. Dia diwakili anaknya, Buratwangi Wianta

DENPASAR, NusaBali
Obsesi seniman Made Wianta memanggungkan sejarah perdagangan rempah Pulau Run bakal terwujud dalam pementasan teater bertajuk Islands: The Lost History of the Treaty that Changed the World di Amerika Serikat, pekan ini.
 
Pertunjukan teater sejarah yang disutradarai Prof Dr Ron Jenkins ini akan dipentaskan 21-22 April di Wesleyan University, Connecticut, AS dan 23 April di Konsulat Jenderal RI di New York. Made Wianta berperan sebagai penggagas dan konseptor teater sekaligus memberi sentuhan artistik serta tata panggung.
 
Teater ini mengangkat sejarah Pulau Run, Kepulauan Banda, Maluku yang pernah menjadi pusat perdagangan rempah-rempah dunia yakni pala (Myristica fragrans) yang menjadi incaran bangsa Portugis, Belanda, dan Inggris yang dalam kurun waktu berbeda. Pada 1667 di Eropa terjadilah Perjanjian Breda yang menyepakati tukar guling Pulau Run yang saat itu dikuasai Inggris ditukar dengan Pulau New Amsterdam yang masih dalam jajahan Belanda. Nama New Amsterdam kemudian berubah menjadi Manhattan dengan Kota New York yang kini menjadi salah satu pusat perekonomian dunia.
 
Teater ini menyuguhkan potongan sejarah Pulau Run sejak Abad Ke-15 hingga saat ini lewat penuturan beberapa karakter utama, di antaranya seorang prajurit Belanda yang mengaku menyesal telah menindas warga pribumi, seorang petani tua yang sejak dilahirkan hingga kini terus setia merawat tanaman pala, juga karakter pohon pala yang akan mengisahkan sejarah dari sudut pandang tersendiri.
 
Menurut Wianta, sutradara Ron Jenkins menghadirkan cara pandang kritis terhadap Kepulauan Banda yang pada masa perdagangan rempah menyimpan konflik, pembantaian, perang, ekonomi global, ketidakadilan sosial, perjuangan untuk kebebasan, dan melenyapkan masa depan penduduk asli. Rencananya teater in juga akan digelar di Jakarta dan Bali.
 
Pergelaran teater ini, bagi Wianta, bukan sekadar unjuk karya seni, tetapi juga muhibah kebudayaan yang diharapkan memberikan pemahaman kepada generasi kini betapa sumber daya alam Nusantara telah mewarnai perjalanan ekonomi dunia.  “Pertunjukan teater ini sekaligus memperingati 350 tahun Perjanjian Breda yang kini hampir terlupakan. Inilah momentum yang tepat untuk menggemakan kembali bahwa setitik cahaya di wilayah Indonesia timur itu pijarnya pernah menerangi dunia,” kata Wianta, Minggu (16/4).
 
Sayangnya, Wianta yang kini tengah menjalani serangkaian terapi untuk pemulihan kesehatannya tidak bisa hadir dalam acara tersebut. Dia diwakili anaknya, Buratwangi Wianta yang juga project director Run for Manhattan dari Wianta Foundation.
 
Wianta menjelaskan proyek seni ini berawal dari perbincangan bersama sejumlah budayawan dan seniman di antaranya Romo Mudji Sutrisno, Taufik Rahzen, Seno Joko Suyono, Nirwan Ahmad Arsuka, Hanafi,  dan Sari Madjid  di sela-sela muhibah budaya pra Olimpiade Athena, Yunani pada 2004. “Ketika itu muncul pemikiran untuk mengangkat sejarah nenek moyang Nusantara yang pada masa lampau telah berinteraksi dengan berbagai bangsa melalui perdagangan rempah. Inilah kesempatan seniman ikut berperan menjunjung harkat dan martabat bangsa melalui karya,” tuturnya.
 
Wianta pun menyiapkan sejumlah rencana untuk art project ini, di antaranya mengunjungi museum di Belanda yang menyimpan benda bersejarah tentang pelayaran ke Nusantara. Dalam kesempatan pameran tunggal di New York (2005) dan ketika lima bulan menjadi dosen tamu di Holy Cross College, Massachusetts pada 2012, ia sempatkan melakukan riset kecil di Manhattan. Selain bekerjasama dengan Ron Jenkins sahabatnya, Wianta juga berkonsutasi dengan mantan kurator Museum der Kulturen Basel Urs Ramseyer dalam proyek ini.
 
Pada awal 2013, dia bersama tim Wianta Foundation dan Dekan Teater Universitas Wesleyan, Amerika Serikat, Prof.Dr. Ron Jenkins melakukan napak tilas ke Pulau Run di Kepulauan Banda, Maluku. Dari berbagai referensi dan kunjungan ke pulau yang pernah menjadi pusat perdagangan rempah itu lahir  sejumlah karya seni rupa, fotografi, film dokumenter dan teater. Wianta juga menyiapkan penerbitan buku dokumenter Run to Manhattantahun ini.
 
Beberapa karya yang melatarbelakangi pertunjukan teater di antaranya pernah dipamerkan di Gunung Api Banda di Ciputra Artpreneur Jakarta (2010), Treasure Island di Gaya Gallery Ubud (2012),  Islands di World Bank Washington (2013), dan After Utopia, Singapore Art Museum (2015).  Wianta juga pernah presentasi proyek seni ini dalam acara diskusi Peradaban Bahari dan Rempah Nusantara, serangkaian kegiatan Road to Borobudur Writers & Cultural Festival 2013. *

Komentar