nusabali

Gantikan Pekerjaan Ayah sebagai Undagi Kulkul, Kirim Pesanan hingga Papua

I Wayan Subagia, Tukang Kulkul dari Banjar Denjalan, Desa Batubulan, Sukawati, Gianyar

  • www.nusabali.com-gantikan-pekerjaan-ayah-sebagai-undagi-kulkul-kirim-pesanan-hingga-papua

GIANYAR, NusaBali
Kulkul atau kentongan merupakan alat komunikasi tradisional di Bali. Kulkul terbuat dari kayu yang bermakna kayun atau pikiran. Pada benda inilah terpusat ‘pikiran’ krama atau warga sehingga saat kentongan dipukul maka warga akan berbondong-bondong ke balai banjar, pura, maupun tempat publik lainnya.

Kulkul sampai sekarang masih digunakan meski sudah zaman digitalisasi. I Wayan Subagia, 45, merupakan salah seorang undagi atau pembuat kulkul asal Banjar Denjalan, Desa Batubulan, Kecamatan Sukawati, Gianyar.

Undagi kulkul kelahiran 5 Mei 1977 ini telah puluhan tahun membuat kulkul. Banyak kulkul yang sudah diselesaikannya hingga tak ingat jumlah pastinya. Subagia menuturkan, membuat kulkul merupakan geginan (pekerjaan) warisan dari ayahnya, I Wayan Roja (alm). “Bapan tiang (ayah saya) pembuat kulkul,” ungkap Subagia saat ditemui di kediamannya, Banjar Denjalan, Desa Batubulan, Sukawati, Gianyar, Sabtu (13/8). Selain membuat kulkul, almarhum ayahnya juga membuat rindik.  

Tamat SMA tahun 1996, Subagia diminta meneruskan pekerjaan membuat kulkul. Menurut dia, ayahnya menasehati agar tak kebingungan mencari pekerjaan. “Tak usah keluar cari kerja, lanjutkan jadi tukang kulkul,” ujar mantan Kelian Adat Banjar Denjalan ini mengenang saran ayahnya. Subagia akhirnya nyalukin atau menggantikan swagina ayahnya sebagai tukang kulkul. Suami Ni Wayan Sukanti ini sempat ‘istirahat’ membuat kulkul karena bekerja di proyek pembangunan vila di kawasan Jimbaran, Kecamatan Kuta Selatan, Badung antara tahun 1998-1999. Tugasnya mencatat material proyek yang masuk atau kiriman dari suplier. Bekerja di proyek vila selama 6 bulan dan memutuskan berhenti karena ayahnya sakit.

Selesai bekerja di proyek vila, Subagia kembali menekuni pekerjaan membuat kulkul, menyelesaikan pesanan yang diterima ayahnya. Ayah Ni Wayan Mela Trisna Dewi dan Ni Kadek Sista Kumala Dewi ini total bekerja sebagai tukang kulkul sejak tahun 2002. Subagia tidak sendiri, dia dibantu oleh I Wayan Suandi dari Banjar Mantring, Desa Petak Kaja, Kecamatan Gianyar. Kulkul buatan Subagia juga buatan ayahnya tersebar di berbagai tempat di Bali. Ada yang merupakan pesanan banjar, desa adat, pura, sekaa, maupun lainnya.

Tidak saja di Bali, pesanan kulkul juga datang dari luar Bali. Di antaranya dari Lampung, Jawa, Sulawesi, dan Papua. “Buat kulkul untuk pesanan warga di Papua sekitar 3 tahun lalu,” ungkap Subagia. Ceritanya, ada sameton (kerabat) krama Bali yang tinggal di Papua yang memesan kulkul untuk pura. “Warga yang di Bali memesan kulkul lalu dikirim ke Papua,” tutur Subagia. Membuat kulkul tidak sembarangan. Selain menggunakan sikut atau sukat (ukuran) kulkul, bahan yang terpilih, juga dewasa ayu. Wrespati Pon Wariga dan Sukra Kliwon Wariga merupakan hari baik untuk memulai membuat kulkul. Jika perhitungannya harian, ada unsur ‘karna sula’ pada dina atau hari dimaksud saat ngendag atau memulai. “Penentuan dewasa agar pembuatan kulkul lancar dan kulkul mataksu,” jelas Subagia.

Bahan kulkul antara lain kayu nangka, intaran, camplung, dan selaguwi. Hanya saja kayu selaguwi jarang karena mulai langka. Meski kulkul di Bali sangat banyak dan tersebar dimana-mana, Subagia mengaku bisa mengenali kulkul karyanya atau buatan I Wayan Roja, almarhum ayahnya. Penanda paling jelas adalah pahan berbentuk kuping pada kedua sisi lubang penggantungan. Kalau umpamanya ‘logo’, kuping itu ditiru, Subagia memastikan bisa mengenali yang asli dan tiruan. “Tebek lima (guratan khas orisinil) yang membedakannya,” jelas Subagia.

Subagia yakin kulkul masih tetap dibutuhkan krama Bali, juga krama luar Bali karena memiliki fungsi yang berkaitan erat dengan aktvitas sosial, adat, dan keagamaan. Contohnya membunyikan (suara) kulkul terkait upacara piodalan di pura. Karena itulah Subagia percaya kulkul tetap lestari walaupun sudah zaman digitalisasi. Dijelaskan ‘dewaning’ kulkul adalah Sanghyang Iswara. Manifestasinya disebut Kala Geger yang berstana pada kulkul lanang, Kala Genter pada kulkul wadon, dan Kala Gentur pada panepakan (pemukul) kulkul. *k17

Komentar