nusabali

Disebut 'Jero Gede', Sapi Liar sebagai Wawalungan

  • www.nusabali.com-disebut-jero-gede-sapi-liar-sebagai-wawalungan

Sapi duwe desa dipelihara ketika masih godel yang dilepasliarkan di wewidangan Mengani. Godel ini tidak ditelusuk, juga tidak dikebiri (sapi cula).

Warga Pakraman Mengani Gelar Upacara Pangwangan  


BANGLI, NusaBali
Berbarengan dengan Penampahan Kuningan pada Sukra Wage Kuningan, Jumat (14/4), krama Desa/Pakraman Mengani, Kecamatan Kintamani, menggelar puncak Karya Pangwangan. Puncak karya dilaksanakan di Pura Bale Agung dipimpin Dane Jero Kubayan bersama para paduluan (prajuru).

Bendesa Pakraman Mengani I Made Diarta, didampingi I Made Sarjana, salah seorang prajuru menjelaskan, Upacara Pangwangan merupakan yadnya atau persembahan krama Mengani kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa dan Ida Bethara-Bethari atas waranugraha kepada krama, dalam bentuk kesuburan tanah dan keberhasilan budidaya pertanian. Hasil pertanian dan juga perkebunan merupakan salah satu andalan perekonomian warga Mengani.

“Sejak dulu sudah menjadi tradisi ritual setiap Sasih Kadasa digelar Upacara Pangwangan ini,” jelas Made Diarta. Untuk tahun ini, puncaknya digelar pada Penampahan Kuningan.

Ditambahkan Made Sarjana, penentuan hari H upacara Ngusaba Nini diputuskan dalam rapat paduluan. “Kebetulan untuk kali ini pelaksanaan mepet dengan Hari Raya Kuningan,” ujarnya.

Puncak Upacara Pangwangan didahului dengan beberapa upacara lainnya. Di antaranya Metaur, Ngliwon, dan Ngusaba Klod di Pura Dalem Pingit dan Ngusaba Kaja di Pura Puseh. Untuk Upacara Pangwangan hari ini (Jumat kemarin) diawali Karya Ngusaba Kaja pada Minggu (9/4). Selanjutnya  mulai pelaksanaan Karya Pangwangan di Pura Bale Agung, pada Senin (10/4). Karya Nunas/Ngejuk (menangkap) wadak pada Rabu (12/4).

Salah satu sisi unik Karya Pangwangan di Desa Pakraman Mengani, adalah hewan yang digunakan sebagai wawalungan atau ulama yadnya. Hewan tersebut berupa sapi duwe desa. Sapi ini merupakan sapi liar milik desa pakraman. Warga setempat menyebutnya sebagai wadak (badak) atau juga ‘Jero Gede’, sebagai penghormatan.  

Untuk diketahui  sapi duwe ini memang istimewa. Selain ukuran maupun bobot tubuhnya yang bisa mencapai lebih dari setengah ton (500 kilogram), juga karena proses pemeliharaannya. Sapi ini memang tidak dipelihara khusus di kandang. Melainkan tetap dilepas di alam liar di wewidangan  Desa Pakraman Mengani, ketika masih godel (anak sapi). Godel ini juga tidak ditelusuk (dilubangi hidungnya), juga tidak dikebiri atau sering disebut sapi cula. “Setelah dibeli desa (krama) kemudian dilepasliarkan,” papar  Diarta. Sehingga sapi tersebut benar-benar hidup lepas di wewidangan Mengani yang masih banyak hutannnya. Setelah untuk  kepentingan upacara barulah ‘wadak’ ini ditunas untuk bakti atau banten.

Upacara pemotongan ‘sapi duwe’ ini juga diawali dengan beberapa rangkaian ritual, seperti mapepada dan rentetan aci lainnya disertai dengan tari sakral atau tari wali. Salah satunya Tari Rejang Dewa yang dibawakan krama istri dan lanang. Usai itu barulah sapi dipotong untuk diolah dijadikan wawalungan. “Di sini lumrah disebut ngerempah,” lanjut Sarjana.

Puncak upacara ditandai dengan persembahyangan seluruh krama di Pura Bale Agung, Jumat malam dipimpin Dane Jro Kubayan. * k17

Komentar