nusabali

Muliakan Air, Pertarungan Gebug Ende Diperagakan di Ajang Jantra Tradisi Bali II

  • www.nusabali.com-muliakan-air-pertarungan-gebug-ende-diperagakan-di-ajang-jantra-tradisi-bali-ii

DENPASAR, NusaBali.com – Murtirtupa atau peragaan permainan tradisional Gebug Ende dilangsungkan di Lapangan Timur Bajra Sandhi Denpasar pada Sabtu (2/7/2022).

Kegiatan Jantra Tradisi Bali II tahun 2022 ini serangkaian Pesta Kesenian Bali yang  mengapresiasi permainan rakyat, olahraga tradisional, pengetahuan tradisional dan teknologi tradisional. 

Gedug Ende yang juga ditampilkan pada acara Jantra Tradisi Bali II ini juga sebagai bentuk apresiasi karena sudah diakui dunia sebagai Warisan Dunia Takbenda Indonesia sejak tahun 2016. 

“Kami sangat mengapresiasi atas hal tersebut, maka dari itu kami mengundang Sanggar Seni Tridatu dari Desa Seraya, Kabupaten Karangasem untuk ikut serta mendemonstrasikan Gebug Ende Ini,” kata Ida Bagus Alit sebagai Ketua Pelaksana.

Gebug Ende berasal dari kata Gebug dan Ende. Gebug berarti memukul dan Ende berati alat yang digunakan untuk menangkis (tameng). Alat yang digunakan untuk memukul adalah rotan yang digunakan dengan panjang 1,5 meter hingga 2 meter. Sedangkan Ende atau alat untuk menangkisnya terbuat dari kulit sapi yang dikeringkan dan dianyam berbentuk lingkaran dengan diamater kira-kira 2 kali panjang siku orang dewasa.

Dari penuturan I Gede Nala Antara, warga asli Desa Seraya, diungkapkan bahwa Gebug Ende adalah sebuah permainan tradisi secara turun-temurun yang biasa dilakukan oleh kaum laki-laki baik anak-anak hingga dewasa. 

“Tradisi ini dipercaya merupakan tradisi sakral masyarakat Desa Seraya untuk memohon hujan kepada Sang Pencipta. Biasanya dilakukan pada saat musim kemarau tiba, pada Sasih Kapat menurut perhitungan Bali, sekitar bulan Oktober-November,” ujar I Gede Nala yang juga curator PKB 2022.

I Gede Nala menyebutkan kepercayaan masyarakat bahwa Gebug Ende juga merupakan yadnya (pengorbanan yang tulus ikhlas) sehingga dipercaya bahwa semakin cepat darah menetes, maka akan semakin cepat turun hujan. 

Gebug Ende juga erat kaitannya dengan ketangkasan, kemahiran memainkan rotan, dan kekuatan masyarakat di Desa Seraya yang dikenal memiliki kekuatan fisik dan ketangkasan dibalik keadaan geografis daerahnya yang kering.

Kostum dari para pemain ini cukup sederhana. Cukup bertelanjang dada (tanpa baju), ikat kepala, kamben, dan saput hitam putih. Keunikannya lagi, pada saat melakukan Gebug Ende ini diiringi oleh musik yang disebut dengan Tabuh Bebondangan yang terdiri dari sepasang kendang, sepasang reong, ceng-ceng kecil dan seruling. 

“Total peserta dari penabuh itu ada 13 orang, pemain Gebug 20 orang dan 7 orang penari yang didominasi oleh laki-laki,” jelas Komang Nisman selaku Koordinator Seni Tridatu Seraya.

Dilihat dari antusias penonton yang memenuhi kerumunan pementasan di timur lapangan Bajra Sandhi, sorakan penonton dan tabuh juga membuat suasana semakin semarak. “Biasanya pertandingan dimulai dari kelompok anak-anak dan dilanjutkan dengan kelompok pria dewasa. Namun, tidak tampak ketakutan pada semua main,” papar Komang Nisman sambil tertawa. 

Pesan lelaki asli Desa Seraya tersebut berpesan dalam upaya pelestarian karya budaya Bali ini, tetap bisa dilaksanakan tanpa mengurangi rangkaian ataupun sarana yang dipergunakan. “Sesuai dengan tema PKB tahun ini yaitu memuliakan air sebagai sumber kehidupan sangat cocok menggambarkan makna dari Gebug Ende yang dipercaya untuk memohon hujan,” pungkas Komang Nisma.

Sebagaimana diketahui, PKB XLIV tahun 2022 mengusung tema Danu Kerthi: Huluning Amerta yang bermaknakan memuliakan air sebagai sumber kehidupan. *ris

Komentar