nusabali

Bawakan Ikon Tari Legong Keraton

Sanggar Seni Nrtyagrha Siwanataraja

  • www.nusabali.com-bawakan-ikon-tari-legong-keraton

Diolah baru, garapan Tari Palawakya sarat pesan cinta Tanah Air.

DENPASAR, NusaBali
Tampil berpartisipasi di Pesta Kesenian Bali (PKB) XLIV Tahun 2022, Sanggar Seni Nrtyagrha Siwanataraja, Banjar Babakan, Desa Sukawati, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, menampilkan Tari Legong Keraton dan Tari Kebyar yang menjadi ikon-ikon tari Bali dalam 100 tahun terakhir. Selain tari-tari yang menjadi ikonik, ada dua tari kreasi yang juga dipersembahkan pada pentas di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar (Art Center), Selasa (28/6) malam. Pertama, tari tentang kebesaran Tuhan dalam manifestasi sebagai Tri Murti. Kedua, tari yang sarat akan pesan cinta tanah air.

Penampilan Sanggar Seni Nrtyagrha Siwanataraja disaksikan langsung oleh Ketua TP PKK Provinsi Bali yang juga Ketua Dekranasda Provinsi Bali, Putri Suastini Koster, didampingi Kabid Kesenian Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, Ni Wayan Sulastriani. Istri orang nomor satu di Bali itu terlihat begitu menikmati sajian tari-tari yang sangat familiar bagi masyarakat Bali itu. Pembina sanggar, Kadek Suartaya menjelaskan, pemilihan Tari Legong Keraton dan Tari Kebyar sebagai materi pementasan didasarkan pada perkembangan tari-tari Bali dalam 100 tahun terakhir.

“Selain menyesuaikan dengan tema air, kami tetap mengangkat nilai-nilai tradisi tari Bali yang ada. Di Bali dalam 100 tahun terakhir ini adalah Legong Keraton dan tari-tari kebyar. Inilah yang kita gabungkan. Kita pilih tarian-tarian yang menjadi ikon-ikon, yang menarik untuk dipentaskan, agar masyarakat betah dan tidak bergeming,” ungkapnya.

Adapun beberapa tarian yang menjadi ikon-ikon tari Bali, seperti Tari Selat Segara yang menggambarkan kiprah tari Bali yang ajeg lestari di Pulau Dewata dan juga melanglang mancanegara. Tari ini diciptakan tahun 1992 di Amerika Serikat oleh Gusti Ayu Srinatih (koreografer) dan I Wayan Rai (komposer). Selanjutnya, Tari Legong Keraton Lasem yang bertutur tentang cinta asmara yang berakhir tragis Prabu Lasem dan Langkesari. Tari Legong yang dibawakan tiga penari ini, telah dikenal masyarakat Bali sejak abad ke-19 di Desa Sukawati.

Tari ikonik selanjutnya yakni Tari Kebyar Duduk. Tari ini menggambarkan seorang penari yang menunjukkan kemampuannya menari yang mengeksplorasi gerakannya meliuk lincah dan tangkas, gemulai, dan indah dengan dominasi posisi berjinjit, berjongkok, berputar, dan duduk sembari mengibaskan kipas. Tari ini diciptakan I Ketut Maria (Mario) pada tahun 1925. Disambung dengan Tari Legong Raja Cina yang berkisah tentang cinta asmara raja Bali Kuno Jayapangus dengan putri dari Negeri Tiongkok, Kang Cing Wie. Tari ini dikembangkan pada awal abad ke-20 di Puri Taman, Desa Saba, Blahbatuh, Gianyar. Serta Tari Tarunajaya adalah jenis tari Kebyar karya I Gede Manik dari Desa Jagaraga, Buleleng. Nama Trunajaya diberikan oleh Bung Karno pada tahun 1950 melukiskan generasi muda patriot cinta tanah air.

Sementara dua tari kreasi merupakan garapan Sanggar Seni Nrtyagrha Siwanataraja. Tari kreasi pertama berjudul Tari Kreasi Topeng Tri Murti yang menggambarkan Ida Sang Hyang Widi Wasa sebagai pencipta, pemelihara, dan pemralina dalam manifestasinya sebagai Brahma, Wisnu, Siwa (Tri Murti).

Dalam penampilannya, sang penari dengan lihai mengganti warna topengnya secara bergantian merah, hijau, dan putih. “Tari kreasi ini memang murni ide kami. Tari topeng ini tarinya tetap tetap klasik, tapi klasik yang kita olah. Belum pernah ada tari topeng seperti itu. Kita menggunakan simbol-simbol Tri Murti itu seperti warna merah, hijau, dan putih,” jelas dosen seni pertunjukan pascasarjana ISI Denpasar ini.

Kemudian tari kreasi kedua, pihaknya memilih Tari Palawakya yang diolah baru. Tari Palawakya ini bertema cinta tanah air Indonesia. Berdasarkan sejarah, Tari Palawakya sudah ada sejak tahun 1930an dengan mengangkat cerita Ramayana Mahabharata. Tari Palawakya kemudia digali lagi tahun 1970-an dan diaktualisasikan di PKB tahun 2007. Mengenai pemilihan tema cinta tanah air Indonesia, menurut Suartaya agar nyambung dengan konteks kehidupan masa kini.

“Tari Palawakya ini kita sengaja kontekstualkan. Pertama dengan air, kedua dengan nilai-nilai kebangsaan dan cinta tanah air. Sebab seni itu perlu kontekstualisasi dengan kehidupan kita yang sekarang. Agar ada komunikasi dengan penonton milenial zaman sekarang. Ada pesan moral, nilai-nilai filosofis kebangsaan,” imbuhnya.

Suartaya melanjutkan, untuk tampil di PKB Sanggar Seni Nrtyagrha Siwanataraja melibatkan sebanyak 51 orang seniman, baik penari maupun penabuh. Disinggung terkait kendala latihan, kata dia, sesungguhnya tidak menemui kendala berarti. Sebab proses latihan mengambil waktu luang para seniman, dan hal tersebut tidaklah terlalu sulit. Hanya saja diakui, kendala utama ada pada pendanaan. *cr78

Komentar