nusabali

Anak Gantung Diri, Suami Meninggal, dan Mondok

  • www.nusabali.com-anak-gantung-diri-suami-meninggal-dan-mondok

I Made Gandra,10, kini hanya tinggal bersama ibunya, Ni Made Gendis,60, setelah ayahnya I Wayan Rumpyuk dan kakaknya, I Wayan Jindra, meninggal.

Kemiskinan Warga Kerta, Payangan, Ni Gendis


GIANYAR, NusaBali
Gandra tinggal pada pondokan lahan pertanian warga di Banjar Pilan, Desa Kerta Kecamatan Payangan, Gianyar. Kemiskianan yang menimpa membuat mereka tinggal di pondok lapuk dan beratap bocor itu.

Ditemui NusaBali, Kami (23/3), Gandra dan Ni Made Gendis, sedang  membersihkan rumah. Gandra mencabuti rumput liar di pondok itu. Setelah ditinggal suaminya sekitar 10 tahun lalu, Gendis bekerja seorang diri sebagai buruh serabutan. Antara lain, buruh cangkul tegalan atau sawah dan terkadang buruh panggul. Penghasilannya tidak menentu karena tidak setiap hari ada pekerjaan. "Upah dicukup-cukupkan, untuk makan dan bekal Gandra ke sekolah," ujarnya. Gendis pun tidak sanggup memperbaiki pondokanya. Saat hujan, Gendis dan Gandra tidak bisa tidur. Karena air hujan pasti masuk ke dalam pondok.

Ia pun memasangi terpal di atas atap agar atap tak bocor. "Saya yang pasang terpal, pas hujan air tidak masuk," ujar Gendis sembari menunjukan terpal yang dipasang. Di pondok itu, satu bangunan dibagi jadi dua kamar, satu untuk dapur dan tempat tidur. Ia memasak menggunakan kayu bakar.

Mereka tidur tanpa beralaskan tikar. "Karena saya tidak punya kasur," ungkapnya.  Gendis memanfaatkan air sungai untuk memasak, cuci, dan keperluan lain.   Namun harus melintasi jalan setepak sepanjang 1 km agar sampai di sumber air. Ia dapat bantuan penerangan listrik dari kerabat. Untuk sampai di pondokan Gendis, NusaBali harus melintasi jalan setapak ke tengah lahan pertanian warga, sekitar 500 meter dari jalan raya. Saat malam hari, jalan ini gelap gulita. "Tidak ada jalan lain, kecuali ini," jelas ibu berbadan kurus ini menunjukkan jalan itu.

Gandra duduk di bangku kelas IV SDN 2 Kerta, berjarak sekitar 2 km dari pondoknya. Ia ke sekolah berjalan kaki pukul 07.00 Wita. Ia sangat berharap bisa punya sepeda gayung agar cepat tiba di sekolah. Gendis mengaku tetap bersyukur karena anaknya mengerti dengan kemiskinannya. Anaknya tak pernah minta sesuatu secara berlebihan.

Gendis menuturkan, suaminya meninggal karena sakit. Sedangkan anak sulung mengakhiri hidup dengan cara gantung diri. Gendis mengaku trauma dengan rumah sebelumnya yang pernah dihuni keluarganya, lebih layak huni dan tajuh dari tempat tinggal saat ini. Karena baru 15 hari tinggal di rumah tersebut, ia malah mendapati anak sulungnya gantung diri di pojok rumah dimaksud. "Maka rumah itu tidak kami tempati. Kata orang pintar, rumah itu sudah cacat. Makanya kami tinggal disini lagi," kenangnya.

Gendis sudah memiliki KIS (Kartu Indonesia Sehat) dan Gandra punya Kartu Indonesia Pintar (KIS), dan Kartu Indonesia Sejahtera. "Tapi, kartu-kartu ini belum pernah kami pakai," ujarnya sembari menunjukan kartu dimaksud. *e

Komentar