nusabali

MUTIARA WEDA : Pelayan

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-pelayan

Dia yang melayani dan menyokong orang-orang lainnya dihormati bagaikan Dewa

Yah prnati sa ha devesu gacchati

(Rg. Veda I.125.5)

Terkadang, apa yang disampaikan dan apa yang sebenarnya terjadi saling berlawanan satu dengan yang lainnya. Atau, apa yang disampaikan sebenarnya ingin mengutarakan kebalikannya, sebab realita yang sebenarnya jika disampaikan apa adanya akan tampak kasar dan tidak sopan. Seperti misalnya, dalam realita, siapakah dari mereka yang berprofesi sebagai pelayan yang memiliki kehormatan setara Dewa? Sebaliknya, mereka yang dilayanilah yang mendapat kehormatan seperti layaknya Dewa. Selamanya teori ini berlaku sepanjang kehidupan manusia sebagai concern.

Contoh kasus yang dapat kita lihat di lapangan seperti orang bekerja sebagai pembantu rumah tangga misalnya. Berapa juta orangkah saat ini yang memiliki profesi sebagai pembantu rumah tangga di seluruh dunia? Indonesia saja mengirim sejuta lebih ke luar negeri. Adakah dari mereka yang mendapat kemuliaan? Paling mereka disebut sebagai pahlawan devisa karena jumlahnya yang sedemikian banyak. Lebih banyak lagi mereka tersiar sampai ke seluruh dunia bukan karena kemuliannya, melainkan karena melakukan tindakan kriminal atau dikriminalisasi. Demikian juga profesi lainnya yang kerjanya melayani memiliki nasib yang sama. Uraian ini tidak bermaksud merendahkan, melainkan hanya menguraikan realita di lapangan, dimana paradoksnya kehidupan terjadi di depan mata kita sehari-hari.

Jika realitanya seperti itu, lalu, apakah pernyataan teks Rg Veda di atas tidak benar? Ada beberapa hal yang harus dipahami. Pertama, teks di atas tidak mengarah pada sebuah profesi tertentu, melainkan lebih pada sikap atau attitude atau landasan berpikir orang atas apa yang dilakukannya. Apapun profesi seseorang mestinya mereka melakukannya sebagai bentuk pelayanan. Jika seseorang berprofesi sebagai pimpinan pada sebuah organisasi atau lembaga tertentu, profesi itulah dijadikan alat untuk melakukan pelayanan. Jika seseorang menjadi seorang guru atau dosen, maka profesi itu pulalah yang dijadikan alat untuk melakukan pelayanan, demikian seterusnya. Jadi profesi adalah alat yang digunakan untuk melayani.

Kedua, sikap melayani itu dikatakan memiliki kemuliaan setara dewa, oleh karena mereka mampu menundukkan egonya sendiri. Hanya orang yang dirinya telah matang memiliki attitude untuk melayani, sementara mereka yang masih egois yang mengejar status kehidupan lebih tinggi belum bisa melayani. Di sini profesi tidak menjadi penentu apakah orang memiliki sikap atau attitude melayani, melainkan kedewasaannyalah yang menentukan. Boleh saja orang orang berprofesi sebagai gubernur atau bahkan presiden sekalipun, ia tetap memiliki sikap atau attitude melayani. Tentu yang dilayani adalah seluruh masyarakat. Tetapi tidak semua dari orang yang berprofesi sebagai ‘pelayan’ memiliki attitude melayani. Pelayanan yang mereka lakukan bukan muncul dari attitudenya, melainkan hanya karena profesinya. Oleh karena itu, bisa saja mereka yang berprofesi sebagai ‘pelayan’ yang tugasnya melayani, tetapi tidak memiliki attitude melayani, sebaliknya, mereka yang berprofesi sebagai pimpinan, yang kesehariannya dilayani, tetapi memiliki j

iwa pelayanan. Jiwa pelayanan inilah yang dimaksudkan oleh mantra Rg Veda di atas.

Ketiga, alasan mengapa sikap melayani, yang egonya telah ‘terkendali’ bisa disetarakan kemuliaannya dengan Dewa? Dari mantra di atas, bukan perilaku melayani yang disetarakan dengan dewa, melainkan ‘sesuatu yang menjadikan perilaku melayani’ itulah yang kemuliannya disetarakan dengan Dewa. Perilaku melayani hanyalah ekspresi dari sesuatu yang ada di dalam diri. Jika seseorang memiliki jiwa agung, yang mampu merasakan kesatuan dengan yang lainnya, yang bisa melihat bahwa sesuatu di luar tidak berbeda dengan dirinya sendiri, maka orang inilah yang memiliki jiwa melayani. Di dalam dirinya akan ada cinta kasih yang demikian besar, sehingga ekspresi tindakan yang muncul darinya hanyalah pelayanan, tidak ada di luar itu.

Rasa cin takasih yang demikian agung itulah yang kemuliaannya disetarakan dengan Dewa. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa siapa pun yang memiliki cinta kasih yang besar, dia akan memiliki jiwa pelayanan. Tetapi sebaliknya, siapa pun mereka yang di dalam dirinya dipenuhi rasa egois, walaupun profesinya setiap hari sebagai pelayan, ia tidak pernah memiliki jiwa pelayanan.

I Gede Suwantana
Direktur Indra Udayana Institute of Vedanta   
Dosen Fak. Brahma Widya, IHDN Denpasar

Komentar