nusabali

Status Sosial Ekonomi Pengaruhi Capaian Vaksinasi Covid-19

Yang Tertinggal dari Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 di Kabupaten Buleleng

  • www.nusabali.com-status-sosial-ekonomi-pengaruhi-capaian-vaksinasi-covid-19
  • www.nusabali.com-status-sosial-ekonomi-pengaruhi-capaian-vaksinasi-covid-19

Kebijakan pemerintah mendorong produktivitas ekonomi melalui vaksinasi massal, cenderung lebih menyasar pegawai negeri, karyawan, masyarakat umum, kelompok usia produktif.

SINGARAJA, NusaBali

Perlambatan capaian vaksinasi Covid-19 memang tidak hanya dialami Kabupaten Buleleng saja. Kondisi yang sama terjadi hampir di seluruh Indonesia. Menurut hasil penelitian Pusat Inovasi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, dalam sebuah jurnal ilmiah yang disusun Prof dr Pande Putu Januraga dkk, ditemukan beberapa faktor penyebab masyarakat belum bersedia divaksinasi.

Penelitian itu melibatkan 2.674 responden dari penduduk Jakarta dan Bali, dilakukan secara online. Hasil pengumpulan data yang dilakukan dari Desember 2021-Januari 2022, sebanyak 1.169 orang responden dikategorikan sebagai non akseptor (belum mendapatkan booster), 1.102 orang responden sebagai akseptor (akan segera menerima booster) dan 403 orang responden masuk dalam penggolongan akseptor sebenarnya (sudah mendapatkan booster).

Dari hasil penelitian ditemukan status sosial ekonomi berpengaruh tinggi terhadap cakupan vaksinasi booster. Baik dari status pendidikan, pekerjaan hingga pendapatan. Jumlah responden dari kategori non akseptor sebanyak 1.169 orang. Jika dilihat dari status pendidikan, jumlah tertinggi dari lulusan SMA sebanyak 725 responden atau 62 persen. Sebanyak 11,9 persen atau 139 responden yang tidak tamat SMA dan hanya 26,1 persen atau 305 responden yang berstatus tamat kuliah.

Sedangkan dari status pekerjaan, 30 persen atau 351 orang responden adalah ibu rumah tangga. Selain ada 184 responden atau 15,7 persen menyatakan diri pengangguran dan 213 responden atau 18,2 persen pekerja paruh waktu. Sebanyak 434 orang responden atau 37,1 persen berpenghasilan di bawah Rp 1 juta, 330 orang atau 28,2 persen berpenghasilan Rp 1-3 juta. Hanya 405 orang atau 34,6 persen responden yang memiliki penghasilan di atas Rp 3 juta setiap bulannya.

“Orang dengan status sosial ekonomi yang lebih rendah dan bergantung pada pendapatan sehari-hari mungkin enggan untuk mengambil dosis booster. Mereka khawatir tentang kehilangan pendapatan potensial, akibat efek samping vaksin,” ucap Januraga yang juga seorang dokter ini.

Dia juga menambahkan dari hasil penelitiannya ditemukan fakta bahwa ibu yang tinggal di rumah dan tidak bekerja, ditemukan memiliki kemungkinan paling rendah untuk menerima dosis booster. Hal ini juga dapat menunjukkan peran ketidaksetaraan gender dalam pemanfaatan layanan kesehatan di kalangan wanita.

Menurutnya kebijakan pemerintah juga berperan dalam cakupan vaksinasi booster. Kebijakan pemerintah mendorong produktivitas ekonomi melalui vaksinasi massal, cenderung lebih menyasar pegawai negeri, karyawan, masyarakat umum, kelompok usia produktif. Sedangkan peraturan vaksin pada awalnya memprioritaskan kelompok rentan seperti lansia, masyarakat berkomorbid hingga disabilitas.

Pemerintah dalam persoalan ini diharapkan Januraga dapat melakukan mitigasi risiko gelombang di masa depan. Masyarakat dengan status sosial ekonomi rendah perlu mendapat perhatian khusus dalam percepatan cakupan booster. “Ini dapat dicapai dengan strategi tarik-dorong. Strategi ‘tarik’ dengan promosi kesehatan, meningkatkan literasi kesehatan di kalangan masyarakat status sosial ekonomi lebih rendah dan juga harus ditargetkan promosi keyakinan kesehatan untuk menerima booster. Promosi kesehatan paling efektif efisien bisa melalui media sosial,”  jelas Dosen yang juga praktisi kesehatan masyarakat ini.

Sementara itu, Strategi 'dorong' dapat dicapai dengan menerapkan persyaratan pendorong. Baik untuk bekerja atau mengakses tempat-tempat umum. Strategi ini juga ditujukan untuk mengurangi risiko infeksi simtomatik akibat penularan virus pada individu yang tidak divaksinasi.

Sementara itu data capaian vaksinasi juga ditemukan indikasi ketidakadilan vaksinasi pada kelompok masyarakat rentan dan lansia. Dia mencontohkan data Kemenkes capaian vaksin booster di Bali per Kamis (2/6/2022) pada masyarakat umum dan rentan di angka 52,48 persen. Lalu capaian vaksin lansia di angka 50,35 persen. Sedangkan capaian vaksin petugas kesehatan maupun petugas publik sudah di atas 100 persen.

Januraga tidak memungkiri capaian vaksinasi lansia dan kelompok rentan masih rendah, juga dipengaruhi banyak faktor. Salah satunya kemudahan dalam mengakses layanan vaksin. Baik dari akses transportasi, ketersediaan waktu dan kenyamanan layanan.

“Akses vaksin pada lansia dan disabilitas misalnya, mereka pasti lebih sulit dalam menggunakan alat transportasi baik pribadi maupun publik. Banyak yang bergantung pada anak atau keluarga. Kemudian anaknya sibuk, lebih mundur lagi kesempatan vaksin,” jelas Januraga. Dua tahun lebih menghadapi pandemi Covid-19, membuat masyarakat kelelahan. Kelelahan dan kejenuhan ini membuat sebagian masyarakat menjadi abai. Kondisi itupun diperburuk saat strategi mitigasi Covid-19 tidak terpenuhi berulang kali.

Kampanye vaksin lengkap sebelumnya hanya dua kali (dosis 1 dan 2). Promosi kesehatan pemerintah pun menyatakan Indonesia dapat normal kembali setelah semuanya mendapatkan vaksin. Hanya saja kemudian ada aturan baru dan diluncurkannya vaksin booster. Aturan yang berubah-ubah lainnya juga diberlakukan pada syarat penyeberangan penumpang melalui pelabuhan laut. Sebelumnya masyarakat yang ingin melakukan perjalanan antar pulau diwajibkan telah divaksin booster. Namun kebijakan terakhir sudah dilonggarkan kembali hanya dengan vaksinasi dosis 2. Hal itu disebut Januraga menyebabkan turunnya kepercayaan dan keengganan masyarakat, untuk mematuhi perilaku pencegahan baru yang direkomendasikan pemerintah.

Mengatasi persoalan tersebut, Januraga menyarankan solusi kepada pemerintah untuk memanfaatkan komunitas lokal untuk membantu mengatur kebijakan vaksinasi. Misalnya di Bali, unsur desa adat sebagai salah satu komunitas tradisional yang memiliki pengaruh sangat kuat, dapat digandeng untuk memaksimalkan capaian booster. “Di tingkat desa misalnya vaksinasi bisa bekerjasama dengan puskesmas dan pelaksanaannya saat ada pertemuan adat,” kata dia.

Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, pemerintah dapat menempuh cara-cara yang bersifat edukatif secara masif di beberapa media termasuk melibatkan influencer. Sedangkan cara out the box dalam memberikan layanan juga sangat penting. Seperti gebyar vaksin hingga sistem jemput bola tidak henti-hentinya dilakukan. Sementara itu, upaya menggerakkan masyarakat untuk mendapatkan vaksin melalui peran adat sudah dilakukan Desa Adat Buleleng. Melalui Satgas Gotong Royongnya, Desa Adat Buleleng secara rutin melakukan sosialisasi kepada krama di setiap kegiatan adat.

Kelian Desa Adat Buleleng, Nyoman Sutrisna dihubungi Kamis (2/6) lalu mengatakan sejak awal pandemi masuk ke Bali, Pemerintah Provinsi Bali mewajibkan Desa Adat membentuk Satgas Gotong Royong. Petugas Satgas berkewajiban melakukan langkah pencegahan Covid-19 sesuai dengan kearifan lokal. Anggaran yang digunakan dalam proses pencegahan itu diambil dari APBD Semesta Berencana bantuan Provinsi Bali.

Terkini kegiatan pencegahan yang dilakukan Satgas Gotong Royong Desa Adat Buleleng, mendorong krama mendapatkan vaksinasi Covid-19. “Informasi dan sosialisasi mengajak krama untuk melaksanakan vaksin kami selalu lakukan setiap paruman (rapat) desa. Kemudian di Banjar Adat melalui perkumpulan, suka duka juga rutin mengajak krama divaksin,” kata tokoh adat asal Kelurahan Kendran, Kecamatan/Kabupaten Buleleng ini. *k23

Komentar