nusabali

Krama Tak Lagi Repot Bermasker

Mayadnya Dalam Reda Gering Agung Covid-19

  • www.nusabali.com-krama-tak-lagi-repot-bermasker

Boleh tidak memakai masker di tempat terbuka, Ida Pandhita Mpu Giri Nata meminta agar krama tetap waspada.

SEMPAT mengalami pembatasan-pembatasan akibat pangrabeda gering agung (penyakit berup wabah besar) Covid-19, kini krama Bali rupanya bisa kembali menjalankan kegiatan keagamaan dengan leluasa. Kekhawatiran bakal mendapat teguran karena engsap mecamok (lupa memakai masker) tidak akan lagi menghantui. Karena sudah pituduh guru wisesa (pesan dari pemerintah) sesuai keputusan Presiden Joko Widodo yang membolehkan warga tidak mengenakan masker di tempat terbuka.

Kalangan tokoh yang bertalian dengan keagamaan dan adat pun  menyatakan lega dengan kebijakan presiden tersebut. "Kebijakan ini tentu melegakan, " sebut Ketua PHDI Kabupaten Bangli I Nyoman Sukra, Sabtu (21/5).

Memang sampai saat ini, belum ada petunjuk lebih jauh, apakah dalam bentuk surat edaran (SE), instruksi dan lainnya, dari lembaga maupun pihak terkait. "Namun secara umum krama sudah tahu," ujar tokoh asal Banjar Belumbang, Kelurahan Kawan, Kecamatan Bangli ini.

Dikatakan Sukra, secara psikologis kebijakan ‘boleh tak memakai masker’ tentu positif. "Rasa waswas juga berkurang, sehingga menjadi lebih tenang dan saya yakin lebih khusuk dalam kegiatan berupakara," kata Sukra.

Secara kelembagaan, jelas Sukra, PHDI (Bangli) juga merasa lebih plong. Karena tentunya kegiatan-kegiatan PHDI yang sifatnya teknis koordinatif dengan pihak lain terkait kepatuhan menerapkan protokol kesehatan (prokes) untuk penanggulangan Covid-19 tentunya berkurang. "Tidak lagi ditodong-todong, mohon boleh begini ndak, bisa lakukan ini apa tidak," ujarnya sambil berseloroh tentang peliknya persoalan yang dihadapi krama ketika melaksanakan kegiatan sosial  adat dan keagamaan dalam masa pandemi.

Secara formal PHDI, kata Sukra, tentu masih berpegang ketentuan maupun aturan sebelumnya. Namun realitas di lapangan krama atau masyarakat juga sudah paham dengan perkembangan yang ada. Khususnya kelonggaran-kelonggaran atau relaksasi dalam berkegiatan di lapangan, seiring sudah mulai meredanya pandemi Covid-19."Ada yang tetap mengenakan masker, karena memakai masker sudah menjadi kebiasaan. Ada juga yang sudah mulai melepas masker, " ungkapnya.

Pada prinsipnya, kata Sukra, pelonggaran boleh tidak memakai masker berdampak positif bagi krama Bali dalam berupacara khususnya. "Karena tidak mesti harus mecamok muka atau naik turun masker lagi misalnya saat sembahyang ".ujarnya.

Walau demikian, Sukra mengimbau krama tidak euporia berlebihan dengan kebijakan pelonggaran pemakaian masker dari Pemerintah. "Kalau memang merasa belum yakin dan kurang fit, sebaiknya tetap memakai masker, " sarannya.

Terpisah Ida Pandhita Mpu Giri Nata dari Griya Gede Penida, Bangli, menyatakan kebijakan pemerintah yang membolehkan warga tidak memakai masker, memungkinkan krama melakoni kegiatan, dalam hal ini menyelenggarakan yadnya atau upakara sebagaimana sebelum pandemi."Artinya kembali sebagaimana sane sampun-sampun memargi, " ujar Ida Pandhita Mpu Giri Nata.

Secara pribadi, Ida Pandhita berpandangan dengan kelonggaran (boleh tidak memakai masker, Red) ini akan menambah semangat krama untuk mayadnya maupun berupakara. "Dulu (saat puncak pandemi) ada pembatasan-pembatasan. Sekarang lebih longgar, " kata sulinggih yang juga Dharma Upatiti PHDI Kabupaten Bangli ini.

Karena akan beda suasananya, yadnya yang dilaksanakan dengan ketentuan pembatasan akibat pandemi, dengan yadnya yang dilaksanakan dalam suasana yang lebih leluasa. "Pasti beda nuansanya. Karena salah satu dasar yadnya adalah ketulusikhlasan dan penuh rasa kebahagiaan, " ujar Ida Pandhita.

Di dalamnya berkaitan dengan aspek sosiologis, seperti ikatan kekeluargaan, kekerabatan, pasukadukaan (ikatan suka duka) dan hubungan sosial lainnya.

Sebelumnya pembatasan-pembatasan dalam penyelenggaraan yadnya terkait pandemi juga disebutkan dalam sastra agama. "Malah jika gering agung, yadnya tidak digelar sama sekali," ujar Ida Pandhita merinci klasifikasi pandemi dalam istilah lontar yang mulai dari tingkatan gering, gerubug, dan gerubug agung.

Status gering, gerubug hingga gerubug agung ini berpatokan pada tingkat kematian dalam suatu komunitas. "Jika kematiannya beruntun, maka itulah disebut gerubug agung, " jelasnya.

Secara sastra, tingkat gering ini yang menentukan jenis pecaruan yang digelar. "Tak serta merta Macaru pakai kurban Kerbau yang menyelesaikan, Macaru pakai kurban Ayam bukan berarti tidak, " jelas Ida Pandhita Mpu. Ibarat obat, tidak bisa ditakar dan diberikan serampangan. Namun berdasarkan diagnosa yang pasti.

Sejatinya kearifan lokal Bali, yang tertulis dalam teks-teks kuna atau lontar, menurut Ida Pandhita Mpu Giri Nata, sudah mengatur dan memberi solusi, khususnya dalam kaitan gering (pandemi) dengan kegiatan mayadnya. "Karena sumber yang ada tentu ditulis dari pengalaman yang pernah terjadi atau traumatik di masa lalu, " ucapnya.

Dalam lontar juga diatur hal-hal darurat. Contohnya, gerubug agung ditandai kematian beruntun, ketentuan kekeran (batasan) mengubur tidak berlaku. Namun boleh ngruwak setra. Maksudnya boleh mengubur, walau bukan dalam hitungan kekeran (pantangan). "Jadi, sangat akomodatif kearifan lokal kita, " jelas Ida Pandhita. Kembali pada pelonggaran, boleh tidak memakai masker di tempat terbuka, Ida Pandhita Mpu Giri Nata meminta agar krama tetap waspada. *k17

Komentar