nusabali

Wujud Syukur Usai Panen, Berharap Anugerah Kemakmuran

Desa Adat Apityeh, Kecamatan Manggis, Karangasem Gelar Perang Ketupat

  • www.nusabali.com-wujud-syukur-usai-panen-berharap-anugerah-kemakmuran

AMLAPURA, NusaBali
Desa Adat Apityeh, Desa Manggis, Kecamatan Manggis, Karangasem kembali menggelar ritual masantalan atau perang ketupat pada Wraspati Kliwon Warigadean, Kamis (19/5) sekitar pukul 15.00 Wita.

Ritual masantalan digelar setiap satu tahun sekali, tepatnya pada Kajeng Kliwon kedua Sasih Desta. Dua kelompok pemuda bentrok saling serang menggunakan ketupat di tikungan jalan Banjar Apit Yeh Kelod. Perang berakhir ketika ketupat yang dijadikan senjata utama hancur tak bisa digunakan lagi.

Bendesa Adat Apityeh, I Nengah Kuta, menjelaskan tradisi masantalan atau perang ketupat sebagai wujud syukur usai panen padi. Masantalan juga sebagai bentuk persembahan kepada Dewi Sri dan berharap kembali dianugerahi kemakmuran untuk kesejahteraan umat. Masantalan rutin digelar setiap tahun bertepatan Kajeng Kliwon kedua Sasih Desta atau saat menyelenggarakan upacara biukukung di sawah saat umur padi sekitar 4 minggu. Perang ketupat atau masantalan dilakukan oleh dua kelompok pemuda. Mereka saling berhadap-hadapan di tikungan desa. Dua kelompok pemuda ini hanya dibatasi tali.

Begitu Bendesa Adat Apityeh I Nengah Kuta meniupkan peluit, maka kedua kelompok pemuda yang macadeng atau berhadap-hadapan ini saling serang. Mereka begitu semangat mengenai lawan. Tabuh kulkul membangkitkan semangat untuk saling serang. Tak ada dendam di antara mereka walaupun tubuh mereka dihujam ketupat. Perang berhenti saat ketupat yang dijadikan senjata utama hancur dan tak bisa dipakai lagi. Usai perang ketupat, masing-masing krama menggelar upacara prani, ditandai makan bersama di setiap bale banjar. Ada empat banjar di Desa Adat Apityeh masing-masing Banjar Adat Apityeh Kaler, Banjar Adat Apityeh Kangin, Banjar Adat Apityeh Kawan, dan Banjar Adat Apityeh Kelod.

Sebelum perang ketupat, terlebih dahulu krama Desa Adat Apityeh melaksanakan upacara mapurwadaksina dengan mengelilingkan godel (anak sapi) keliling desa. Selanjutnya godel disembelih di Bale Banjar Adat Apityeh Kelod. Sisa daging godel yang digunakan untuk banten caru di Pura Dalem dibagikan kepada krama. Daging godel dibawa pulang. Prajuru desa membunyikan kentongan pertanda mengolah daging godel di tiap rumah tangga bisa dimulai. Prajuru Desa Adat Apityeh kemudian menggelar pacaruan di Pura Taman Beji dipuput Jro Mangku Nengah Sarjana, di Pura Bale Agung dipuput Jro Mangku Puja, dan Pura Dalem dipuput Jro Mangku Diarti.

Sebelum perang ketupat dimulai, krama t menggelar persembahyangan di batas desa, tepi sawah. Surudan (upakara yang telah dipersembahkan) berupa ketupat dibawa ke medan laga sebagai senjata perang. Begitu juga surudan ketupat di Pura Puseh, Pura Taman Beji, Pura Bale Agung, dan Pura Dalem dibawa ke tempat perang ketupat. Tiap krama membawa senjata ketupat satu kelan atau 6 biji. Pemuda Desa Adat Apityeh yang telah siaga bersenjatakan ketupat dibagi dua blok, dibatasi tali. Setelah peluit dibunyikan, kedua kelompok pemuda ini saling serang. Perang berlangsung sekitar 15 menit. “Ini upacara masantalan atau perang ketupat sebagai wujud rasa syukur usai panen raya,” jelas Nengah Kuta. Perang dilaksanakan setelah bhuta kala kasomya atau dinetralisir dengan upacara pacaruan di Pura Dalem. *k16

Komentar