nusabali

MUTIARA WEDA: Lihatlah Payudara, Namun…..

Abhinesvapi kāryesu bhidyate manasah kriyā, Anyetaiva stanam putrascintayatyanyathā patih. (Sarasamucchaya, 91)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-lihatlah-payudara-namun

Meskipun tindakan tidak berbeda, pikiran membuat perbedaan. Bayi dan suami sama-sama menghisap payudara, tetapi pikiran mereka berbeda.

KITA sering mendengar; ‘lihatlah segala sesuatu apa adanya; hiduplah dalam realitas; perhatikan semua as it is tanpa penilaian, dan lain-lain’, itu sepertinya selaras dengan pengandaian teks di atas. Payudara yang dilihat sama, tetapi antara bayi dan seorang suami berbeda cara pandangnya. Bayi menganggapnya ‘feeding’, sementara suami ‘enjoying’. Bahkan Adi Sankaracharya secara sarkas menyatakan; ‘perhatikan secara seksama payudara perempuan yang montok, namun tidakkah itu terbuat dari darah dan daging?’ Kalau dokter kecantikan mungkin melihatnya in term of business; ‘itu payudara sudah kendor, ayo kencangkan biar montok, cukup 10 juta saja’. Bahkan filsuf mungkin juga melihatnya berbeda; ‘Lihatlah susu montok itu, tidakkah itu simbol atas kebaikan alam semesta yang mengasihi kita dengan makanan yang melimpah?’

Kita dikaruniai dengan memori dan imajinasi yang luar biasa sebagai wujud dari permutasi psikis (budhi, ahamakara, manah). Melalui memori dan imajinasi itulah kita memproduksi nilai-nilai. Hampir setiap objek yang dipersepsi tidak pernah lepas dari penilaian. Setiap saat nilai itu muncul dari objek yang dipersepsi. Ketika kita melihat emas, pikiran kita segera bilang: ‘wah indah dan mewah banget’. Saat melihat kotoran, pikiran bilang: ‘ihh itu menjijikkan’. Saat pacaran kita bilang: ‘engkau bunga mawarku, indah mempesona’. Setelah menikah dengan orang yang sama kita bilang: ‘engkau neraka dunia’. Dengan benda atau orang yang sama, nilai kita bisa berbeda apalagi benda yang sama dinilai oleh orang yang berbeda.

Namun, harus diakui bahwa sebagian besar kehidupan kita tergantung pada nilai. Jeratannya terlalu kuat. Kita berjuang dan bekerja keras tidak saja untuk memenuhi kebutuhan, tetapi nilai. Kita melakukan kegiatan kemanusiaan dan yang sejenisnya untuk sebuah nilai. Hidup bersosialita sepenuhnya untuk sebuah nilai. Bahkan tidak sedikit kebahagiaan dan penderitaan seseorang ditentukan oleh penilaian orang. Saat si A menghadiri undangan spesial, dan kemudian ada undangan lain yang membawa tas lebih mewah darinya, seketika kebahagiaannya menghilang. Hanya gara-gara bawaan orang lain dia menderita. Ketika orang menilai bagus, kita bahagia, saat orang menilai buruk, kita menderita. Sering kita merasa kerja keras kita sia-sia hanya karena merasa tidak dihargai. Seperti misalnya orangtua merasa kerja kerasnya sia-sia karena anaknya tidak menghargai itu, demikian sebaliknya. Tanpa menafikan nilai-nilai kemuliaan yang ada di masyarakat, di satu sisi nilai ini mampu meninggikan posisi orang atau masyarakat bahkan bangsa, t
api di sisi lain bisa melahirkan derita.

Ketika melihat objek, kita tidak lepas dari penilaian, demikian juga orang lain. Objek yang sama ketika dilihat oleh seribu orang, nilai yang diberikan bisa sejumlah itu. Saat melihat orang lain, mereka tidak bisa lepas dari penilaian kita. Demikian juga ketika menjadi objek, kita tidak bisa lepas dari penilaian orang lain. Saling menilai adalah sebuah kepastian. Jika demikian, pesan apa yang hendak disampaikan teks di atas? Pertama, by nature kita telah terjebak dengan penilaian, saling menilai. Kedua, kita bisa memberikan penilaian apapun pada objek atau orang lain tanpa merasa ada kekeliruan. Pusat kebenaran atas penilaian kita adalah diri kita sendiri. Ketiga, oleh karena kita memiliki kebenaran sendiri, maka kita tidak bisa menerima penilaian jelek dari orang lain. Untuk mempertahankan penilaian orang lain, kita bahkan sering hidup berpura-pura. Atau, ketika penilaian buruk telah dilontarkan, kita sering menyerang balik terhadap orang yang menilai kita. Inilah sesungguhnya penderitaan. Keempat, oleh karena setiap orang pada prinsipnya punya penilaian sendiri, maka kita tidak perlu terpengaruh oleh penilaian orang lain. Hidup kita ditentukan oleh diri sendiri tidak ditentukan oleh penilaian orang lain. Kelima, pesan yang paling penting adalah lihatlah objek itu terbebas dari penilaian sehingga objek itu dapat memberikan pengetahuan yang komprehensif kepada kita. Sering penilaian atau persepsi kita menutupi pengetahuan yang ada pada objek itu. *

I Gede Suwantana

Komentar