nusabali

Pura Unik yang Berdiri di Atas Batu Besar, Dijaga Ancangan Macan

Pura Kahyangan Ulun Danu Pagubugan di kawasan Hutan Benel, Desa Berangbang, Jembrana

  • www.nusabali.com-pura-unik-yang-berdiri-di-atas-batu-besar-dijaga-ancangan-macan

Sejarah dibangunnya pura ini bermula dari adanya peristiwa gagal panen berkepanjangan yang sempat dialami para petani di wilayah Desa Kaliakah, Kecamatan Negara, dan sekitarnya.

NEGARA, NusaBali

Pura Kahyangan Ulun Danu Pagubugan di kawasan Hutan Benel wilayah Desa Berangbang, Kecamatan Negara, Jembrana, yang menjadi lokasi perayaan Tumpek Wariga dengan upacara Wana Kerthi oleh Pemprov Bali bersama Pemkab Jembrana pada Saniscara Kliwon Wariga, Sabtu (14/5) merupakan salah satu pura unik. Selain berada di tengah alas wayah (hutan belantara), salah satu Pura Kahyangan Ulun Danu ini berdiri di atas sebuah batu besar yang tepat berada di titik pertemuan sungai (pecampuhan) yang juga menjadi hulu sumber mata air ke Bendungan Benel. Dari kepercayaan masyarakat sekitar, di pura ini terdapat ancangan berupa macan (harimau) yang juga dipercaya menjaga kawasan hutan setempat.

Untuk mencari Pura Kahyangan Ulun Danu Pagubugan ini, ikuti jalan lurus yang berada di utara Bendungan Benel, wilayah Desa Manistutu, Kecamatan Melaya. Akses jalan lurus ke utara itu, sebagian merupakan jalan rabat beton dan jalan tanah. Setelah mengikuti jalan lurus dengan jarak kurang lebih sekitar 1,5 kilometer, akan sampai di ujung jalan yang terputus sungai. Di ujung jalan ini terdapat kawasan basecamp Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Manistutu Camping Ground (Mantu Cager).

Nah, dari ujung jalan itu, harus menyeberangi sungai untuk melanjutkan perjalanan menuju jalan tanah yang ada di seberang. Karena harus menyeberangi sungai dan akses jalan tanah yang ada di seberang medannya tergolong ekstrim, jika tidak membawa kendaraan off-road bisa melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Setelah mengikuti jalan tanah sepanjang hampir 1,2 kilometer yang mengarah ke utara itu, maka sampai ke areal Pura Kahyangan Ulun Danu Pagubugan.

Salah satu tokoh krama Pangempon Pura Kahyangan Ulun Danu Pagubugan, I Ketut Riasna,56, kepada NusaBali mengatakan Pura Kahyangan Ulun Danu Pagubugan ini sudah ada setelah zaman penjajahan Jepang sekitar tahun 1945 lalu. Sejarah dibangunnya pura ini bermula dari adanya peristiwa gagal panen berkepanjangan yang sempat dialami para petani di wilayah Desa Kaliakah, Kecamatan Negara, dan sekitarnya.

Saat terjadi gagal panen berkepanjangan itu, ada petunjuk dari sesosok orang tua berpakaian serba putih yang mencari petani saat bekerja di sawah. Saat itu, sosok orang tua berpakaian serba putih yang percaya sebagai Ida Bhatara di Pura Kahyangan Ulun Danu Pagubugan itu mengatakan jika ingin tidak selalu gagal panen agar mencari genah Ida Bhatara di tengah hutan. "Pada nganika (bersabda, Red), Ida juga memberi petunjuk kalau genah Ida di atas batu di pecampuhan (pertemuan sungai). Di atas batu itu, ada dua pohon jepun dan dua pohon durian," ucap Riasna.

Adanya petunjuk itu lalu dilaporkan ke Puri Gede Jembrana. Mendapat laporan itu, dari pihak Puri mengirim sejumlah utusan mencari tempat yang dimaksud. Namun saat berusaha dicari sampai berbulan-bulan, utusan yang dikirim ke tengah hutan tidak menemukan genah Ida Bhatara. "Karena lama tidak ketemu, utusan yang sudah berusaha mencari sampai tembus ke Buleleng, akhirnya sembahyang di Pura Agung Pulaki, Buleleng. Dari sana ada petunjuk agar mengikuti bunyi gong siyem. Tetapi sebenarnya bunyi gong siyem itu adalah suara macan (harimau)," ujar Riasna.

Mendapat petunjuk itu, utusan pun kembali berusaha mencari genah Ida Bhatara ke tengah hutan wilayah Jembrana. Dalam pencarian itu, setiap kebingungan mencari lokasi yang dimaksud, mendapat petunjuk suara auman macan. Setelah terus mengikuti suara auman macan itu, akhirnya ditemukan tempat yang dimaksud.

"Memang benar ketemu ada sebuah batu besar di campuhan (pertemuan aliran sungai) yang di atasnya ada 2 pohon jepun dan 2 pohon durian. Dari sana akhirnya diwujudkan membuatkan palinggih tumpang tiga. Setelah leluhur kita berdoa di pura ini, padi yang sempat berulang-berulang gagal panen, akhirnya bisa panen," ucap Riasna yang juga Pelaksana Kewilayahan (Kelian Dinas) Pangkung Liplip, Desa Kaliakah, Kecamatan Negara ini.

Macan yang memberikan petunjuk tempat Pura Kahyangan Ulun Danu Pagubugan ini diyakini merupakan ancangan Ida Bhatara di pura setempat. Ancangan macan yang juga dipercaya sebagai pelindung kawasan hutan sekitar ini, tidak hanya satu ekor.

Di antaranya ada macan berwarna putih, selem (hitam), serta poleng (hitam dan putih). "Duwen Ida Bhatara ini juga sempat ada yang melihat. Tetapi yang bisa dikatakan paling sering tedun (menampakkan diri) yang poleng. Untuk besarnya juga bermacam. Kadang besarnya hanya seukuran kucing dan kadang sampai seukuran kuda," ujar Riasna.

Hingga saat ini, kata Riasna, sudah banyak krama Bali yang tangkil ke Pura Kahyangan Ulun Danu Pagubugan ini. Adapun pangempon utama pura ini adalah para krama subak dari beberapa desa. Di antaranya para krama subak dari Desa Kaliakah, Kecamatan Negara, Desa Baluk, Kecamatan Negara, dan Desa Manistutu, Kecamatan Melaya. "Kalau jumlah subak yang jadi pangempon pamucuk (pengempon utama) di pura ini ada 15 subak. Di antaranya 12 subak (8 subak sawah dan 4 subak abian) se-Desa Kaliakah, 2 subak di Baluk, dan 1 subak di Manistutu," ucapnya.

Seiring banyaknya krama yang tangkil ke Pura Pagubugan ini, sambung Riasna, sebelumya pangempon berinisiatif membangun penataran pura di dekat pura luhur. Dibuatkannya penataran pura itu pun bertujuan untuk menyucikan areal pura luhur atau pura yang aslinya. "Biar tidak carub (kotor). Di samping itu, karena di luhur terlalu sempit, kita buatkan penataran. Penataran kita bangun mulai tahun 2013 sampai tahun 2018 lalu. Untuk membuat penataran itu, kita banyak dibantu sama Pak Bupati (I Nengah Tamba) waktu masih menjadi anggota Dewan di Provinsi," ujar Riasna yang sebelumnya juga menjadi Ketua Panitia Pembangunan Pura Penataran Kahyangan Ulun Danu Pagubugan.

Terkait rahina odalan di Pura Luhur ataupun Pura Penataran Kahyangan Ulun Danu Pagubugan ini, tetap dijadikan satu yakni pada Anggara Kasih Perangbakat. Namun karena pertimbangan akses ke lokasi, untuk karya piodalan hanya diambil setahun sekali. Kemudian setelah pelaksanan karya piodalan, untuk odalan 6 bulan berikutnya hanya ngerahinin (dengan upacara lebih sederhana).

"Jadi berganti. Setelah karya piodalan, berikutnya ngerahinin. Kemudian enam bulan lagi piodalan. Kalau pas odalan setelah dilaksanakan penyucian Ida Bhatara dari pura luhur, kita bawa ke penataran. Setelah nyejer, Ida Bhatara kasineb ke pura luhur," pungkas Riasna. *ode

Komentar