nusabali

MUTIARA WEDA: Wana-nirwana

Kāma krodha vimuktānām yatinām yata-cetasām, Abhito brahma-nirvānam vartate viditātmanām. (Bhagavad-gita, V.26)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-wana-nirwana

Orang yang terbebas dari nafsu dan amarah, yang pikirannya terkendali dan merealisasikan kebenaran sejati, mencapai nirvana baik saat hidup maupun setelah meninggal.

BUKTI dari kedewasaan seseorang bisa dilihat dari praktik atau laku kehidupannya sehari-hari. Seperti apa? Teks di atas menyebut dia yang terbebas dari nafsu dan amarah, yang pikirannya terkendali, yang telah menyatu dengan kebenaran. Bagaimana hal ini bisa diraih? Tentu melalui sebuah proses yang panjang dan berliku. Berbagai jenis medan telah sukses dilaluinya. Nafsu dan amarah tidak gampang dikuasai tentunya. Pikiran hampir mustahil dijinakkan. Bahkan orang yang tampaknya tenang seperti permukaan air danau yang tak tersentuh angin pun bisa memendam nafsu dan amarah yang besar. Seperti Patanjali nyatakan, meskipun orang tampaknya telah mencapai Samadhi pun, masih memiliki kemungkinan besar benih-benih untuk lahir ke dunia. Membebaskan diri dari nafsu dan amarah serta upaya mengendalikan pikiran itu susahnya seperti menggenggam angin.

Bagaimana mendewasakan diri agar nafsu dan kemarahan bisa dikendalikan? Kita mesti melewati berbagai hal, baik yang menyenangkan maupun yang tidak. Hidup itu seperti benih yang bertumbuh. Ia memerlukan waktu, melewati berbagai musim, melalui berbagai situasi yang terjadi di sekitarnya sebelum akhirnya berbunga dan menghasilkan buah, melahirkan benih yang bisa tumbuh menjadi tanaman baru. Seperti halnya pohon tersebut, orang mesti terus berkembang sehingga akhirnya mencapai kondisinya yang sempurna. Seperti apa kondisi orang dengan kedewasaan tersebut? Orang yang telah mencapai nirvana. Dia yang telah terbebas dari hutan belantara kehidupan. Apa itu hutan belantara kehidupan? Tentu nafsu, amarah, dan pikiran yang tak terkendali. Orang yang telah mencapai kesempurnaan adalah dia yang telah lapang. Tidak sekadar lapang, sebab benih bisa saja masih tersembunyi. Dia telah benar-benar mencapai sebuah situasi di mana tidak ada apapun yang tersisa. Hanya keheningan.

Bagaimana kehidupan seseorang jika masih berada dalam lebatnya hutan nafsu dan kemarahan serta pikiran yang tak terkendali? Dia akan terjebak di dalam drama kehidupan, begitu senang bukan kepalang melonjaknya, demikian juga saat duka, kesengsaraan menghampirinya. Dia tidak mampu membedakan mana drama dan mana realitas. Dia tidak mampu membedakan mana yang nyata dan mana yang palsu. Bahkan derita yang dirasakannya disebabkan oleh rasa lupanya akan kebahagiaan. Tapi memang, no other way. Orang harus melewati itu semua. Hanya saja, ada yang lebih cepat dewasa dan ada yang lambat. Dan ini sangat ditentukan oleh bekal kelahirannya. Orang yang memahami akan selalu merasa bahagia, sementara orang yang belum sadar akan selalu merasa menderita. Dia bisa menderita terhadap apapun yang ada di depannya.

Orang yang sadar hanya mampu memberikan gambaran seperti apa kebahagiaan itu, mampu memberikan console untuk sementara. Namun, orang yang tak sadar, meskipun telah berulang kali dijelaskan, dia tetap tidak menemukannya. Bahkan tidak tertutup kemungkinan penjelasan tentang kebahagiaan itu justru menjadi alasan untuk derita yang baru. Orang yang penuh dengan nafsu dan amarah, yang pikirannya tidak terkendali akan menderita ketika melihat orang bahagia, sakit hati melihat orang lain sukses, selalu iri dengan milik orang lain, dan yang lainnya. Apapun yang dipersepsinya akan selalu menjadi jenis penderitaan yang baru.

Bahkan, yang paling menyedihkan dari jenis orang yang masih dipenuhi oleh hutan nafsu dan amarah ini adalah selalu merasa dirinya sebagai objek orang lain. Dia merasa bahwa penderitaan yang dialami itu sepenuhnya disebabkan oleh orang lain, oleh tetangganya, temannya, keluarganya, dan bahkan oleh bayangannya sendiri. Dia selalu merasa waswas, selalu merasa ada musuh di mana-mana, tidak nyaman dengan siapa dan apa saja. Bahkan dalam konteks bernegara, kondisi ini tetap terbawa, sehingga atas dasar pertahanan diri, mereka merasa penting untuk membuat senjata. Teknologi mutakhir selalu bergandengan dengan hadirnya senjata canggih. Perang yang terjadi selama ini bisa dikatakan sebagai bentuk kulminasi dari nafsu dan amarah kolektif. Ketika masing-masing dari mereka merasa terancam oleh mereka sendiri, maka perang adalah bentuk ekspresinya. *

I Gede Suwantana

Komentar