nusabali

MUTIARA WEDA: Universalisme vs Lokalisme

yathā prakāsayaty ekah krtsnam lokam imam ravih, ksetram ksetri tathā krtsnam prakāsayati bhārata. (Bhagavad-gita, XIII. 34)

  • www.nusabali.com-mutiara-weda-universalisme-vs-lokalisme

Sebagaimana matahari menerangi seluruh jagat raya, seperti itu pula sang roh menerangi semua badan, wahai Arjuna.

KATANYA, saat ini ada sekitar seratus empat puluh empat ribu kelahiran orang terpilih. Mereka lahir di berbagai belahan dunia dari berbagai ras, suku, dan agama. Kehadirannya memang telah ditentukan untuk mengisi tugas tertentu yang bersifat Ilahi. Zaman membutuhkan mereka sehingga kehidupan dunia ke depan bisa berjalan sebagaimana alam kehendaki. Beberapa yang menjadi indikasi bahwa mereka kelahiran terpilih adalah memiliki pemahaman akan kehidupan yang bersifat integral, melampaui perbedaan-perbedaan. Mereka berasal dari bangsa yang berbeda, tetap kesadaran mereka berada pada kesadaran kemanusiaan yang lintas batas. Mereka berasal dari agama yang berbeda-beda tetapi kesadaran mereka telah melintasi batas-batasnya. Mereka melihat kebenaran Tunggal di mana-mana apapun kulit yang membungkusnya.

Di luar itu, beberapa dasawarsa sebelumnya hadir gerakan new age, yakni sebuah gerakan yang memandang bahwa segala pembatasan-pembatasan apakah bangsa, suku, ras, ideologi, dan agama akan melebur. Kesadaran manusia telah berkembang pesat seiring dengan hadirnya iptek. Mereka memprediksi bahwa bangsa-bangsa akan lebur ke dalam satu gugusan kebangsaan yang lebih besar yakni bangsa bumi. Siapa pun yang terlahir dibumi adalah satu keluarga. Sanatana Dharma bahkan telah memproklamirkannya ribuan tahun yang lalu dengan menyebut vasudaiva kutumbakam. Yang paling kentara dari gerakan new age ini adalah paham tentang ekletikisme, dengan menyebutkan bahwa manusia akan berada dalam satu gugusan spiritualitas yang bernama kasih sayang. Seluruh teks keagamaan akan menjadi referensi bersama yang bisa digunakan sebagai kajian untuk menggali potensi keilahian. Guna melakukan penyelidikan, referensi bersumber tidak saja dari satu agama, melainkan dari berbagai ajaran yang pernah eksis.

Bagi mereka, saatnya dunia tidak lagi terkotak-kotak oleh karena ras, suku, bangsa, dan agama. Seluruh tembok tersebut akan runtuh seiring dengan perkembangan kesadaran manusia. Pendidikan dan perkembangan iptek sangat mendukung kondisi ini. Semakin orang terpelajar, mereka semakin melihat Kebenaran Tunggal dari perbedaan-perbedaan. Tembok-tembok pembatasnya semakin memudar dan lebur ke dalam kesadaran tertinggi. Hal ini sangat dibenarkan oleh teks seperti di atas. Seperti halnya matahari menyinari banyak planet di gugusan tata surya, dengan cara yang sama sang atma menyinari semua makhluk yang ada. Seluruh makhluk tampak berbeda dalam rupa dan nama, tetapi secara hakiki, hal yang menjadi landasannya adalah kesadaran yang sama. Kesadaran akan hal inilah yang mampu meluruhkan tembok-tembok perbedaan.

Namun, jika dilihat di lapangan, tidak kah justru bertolak belakang? Bukannya peleburan tembok yang terjadi, melainkan tembok pembatas yang lebih kuat justru dibangun. Coba lihat kejadian di seluruh dunia, tentang fundamentalisme, radikalisme, terorisme, dan kekerasan lainnya yang mengatasnamakan agama. Mereka membangun paham yang sangat ekstrem, di mana hanya agamanya yang paling baik, sementara agama lain buruk dan sudah sepantasnya dilenyapkan. Mereka betul-betul menjaga tembok pembatasnya dan memperkokoh perbedaan itu terus-menerus. Bukankah hal ini berkebalikan dengan prinsip ekletisisme tersebut. Kondisi tersebut justru terjadi di era kontemporer, di tengah kemajuan teknologi yang sangat cepat.

Memang, ada sebagian yang telah berpaham universal, yang tidak lagi mempermasalahkan agamanya apa, dengan menjadikan kesadaran universal sebagai concern. Tetapi, sebagai kontra produktif, hal yang sebaliknya juga semakin keras. Ibarat teori pendulum, semakin keras momentum yang diciptakan pada sisi kanan, maka sebesar itu momentum yang muncul di sisi kiri. Sesaat paham universalisme muncul, maka pada saat yang sama paham tersebut menjadi momentum untuk memunculkan paham yang sebaliknya. Semakin ke kanan paham universalisme bergerak, maka semakin ke kiri paham radikalis bergerak. Ini mungkin sebuah ketetapan alam, sehingga menyadari kondisi ini sangat penting. Meskipun teks seperti di atas berupaya melampaui batasan-batasan, tetapi ketika paham yang melampaui batasan-batasan itu dipraktikkan, segera ia berada di dalam batasan, menjadi lokal. Universalisme pun segera berada di dalam batasan. Dan, inilah yang memunculkan paham yang berkebalikan. Itulah mengapa, di satu sisi Krishna mengajarkan universalisme, tetapi di sisi lain menganjurkan Arjuna untuk berperang, mendukung salah satu yang berada dalam batasan. *

I Gede Suwantana     

Komentar